Bersama jajaran Manajemen dan Karyawan yang dibawahinya.

Liburan bersama keluarga

Bersama istri tercinta "Laniati Dewi".

Hidup hanya sekali...Hiduplah dengan Luar Biasa !!

Bersama manajer pelumas "Sutoyo Wijaya" salah satu divisi yang dibawahinya

Senin, 29 September 2014

Toilet di Pom Bensin


Perkiraanku tidak selalu tepat, seperti ketika memperhitungkan perjalanan untuk berhenti istirahat, makan malam sekalian ke toilet pada sebuah restoran yang sudah seperti jadi tempat persinggahan tetap setiap kali pergi ke Semarang. Sebelum sampai ke sana ternyata keinginan ke toilet tidak dapat lagi diajak kompromi. Beruntung tak jauh dari situ ada pom bensin, agak lega rasanya. Tapi akhirnya berujung kecewa saat melihat pom bensin itu sangat kumuh dan tak terawat.

Mencari toilet bersih di perjalanan rupanya masih menjadi persoalan di negeri ini. Pom bensin yang seharusnya mempunyai standar kebersihan yang baik, ternyata masih banyak yang mengecewakan.  Restoran yang tampilannya tampak bagus dan bersih, tapi tidak demikian dengan toiletnya. Masih ada saja orang yang berani kencing tapi tidak berani menyiram kencingnya sendiri.

Bahkan di lingkungan kantorku sendiri, masih ada karyawan yang tega mengencingi tembok kantor meskipun hanya satu dua langkah dari kamar mandi. Ini bukan soal tradisi pria yang suka kencing sembarangan, tapi lebih kepada soal kelakuan yang membuat rusak seluruh tatanan kita hampir di semua lini. Penyakit boleh dalam berbagai versi tapi sumbernya cuma satu, ‘diri sendiri’.

Kalau di wc-wc umum ada anjuran ‘ habis kencing harap disiram’ yang sebetulnya merendahkan martabat kita, masih bisa kumaklumi karena dipakai oleh siapa saja. Tapi ketika di bengkelku yang penggunanya terbatas cuma pelanggan dan karyawan, juga ada anjuran seperti itu di toilet, pasti akibat dari banyaknya orang yang punya hobi mengotori tanpa sanggup membersihkan.

Itulah kenapa bus kota selalu cepat bobroknya, kendaraan inventaris selalu tak terurus keadaannya.  Itulah kenapa banyak terjadi kebocoran dalam setiap jenis usaha, pemborosan yang tak perlu karena kurangnya mental menghargai kepentingan bersama. Apalagi yang bisa diharapkan dari masyarakat yang hanya bisa memakai tanpa bisa merawat. Masyarakat seperti ini pasti merosot mutunya.

Itulah kenapa saya prihatin dan curiga jika Indonesia lambat sekali menjadi negara yang bersih dan sehat. Karena kesehatan dan kebersihan baru bisa terjadi apabila kita mampu menjaga dengan baik kepentingan bersama. Padahal yang kita lihat adalah penghancuran kepentingan bersama tengah berlangsung di mana-mana.

Soal-soal yang menyangkut kebutuhan umum, kesejahteraan umum dan ketentraman bersama sedang berada di titik terendahnya. Sementara yang menyangkut kebutuhan pribadi, kesejahteraan pribadi dan ketentraman pribadi berada pada titik tertingginya. Prioritas kita terhadap diri sendiri, ternyata masih luar biasa. Hanya mementingkan diri sambil mengabaikan kepentingan sekitarnya.

Jika kita membentuk kesebelasan sepak bola pasti akan menjadi kesebelasan yang lemah. Yang kuat cuma supporternya. Kuat dalam berbuat onar dan membuat kerusakan, seperti yang sering kita lihat setiap kali antar kesebelasan bertanding. Organisasinya akan lemah dan penuh berebut kepentingan, pengurus cuma sibuk mengurusi para pengurusnya bukan atlitnya. Bagaimana bisa berprestasi ?

Kembali ke soal toilet, saat saya mengatakan pom bensin yang buruk kebersihannya, jangan-jangan salah satunya adalah pom bensinku sendiri.  Soalnya, aku juga belum sepenuhnya yakin akan mutu kebersihan toilet setiap pom bensinku. Memang selalu lebih mudah mencari kekurangan pihak lain, ketimbang melihat kekurangan diri kita sendiri. 

Pernah, ketika sedang berada di rumah, istriku mendadak bertanya kepadaku,” Lupa nyiram ya ?” Padahal, sehabis kupakai lebih dari sekadar kencing, owalaah....


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Sabtu, 27 September 2014

Secangkir Kopi di Pagi Hari


Kalau saya harus memilih antara bepergian ke luar negeri atau di rumah, saya lebih suka berada di rumah. Jika bepergian ke luar negeri, yang terberat adalah terputusnya siklus kebiasaan saya. Dari mulai soal kebiasaan makan nasi dan lauknya, sampai soal sulitnya merokok. Ada negara yang susah cari nasi, apalagi lauk-lauk yang kusuka. Ada pula negara yang ketat membatasi kebebasan merokok. 

Bahkan ada negara yang melarang keras membawa rokok sama sekali seperti Singapura, sedangkan beli rokok di sana mahalnya setengah mati, jelas cuma menambah penderitaan saja. Tapi terpaksa saya sering pergi ke sana, karena ada anak cucuku yang tinggal di sana, berobat pun langganan di sana. Jadi, kalau cuma menderita sedikit, masih setara dengan kegembiraan yang bakal kudapatkan.

Terlepas dari suka atau tidak suka bepergian, baru terasa manfaatnya ketika kita pulang. Banyak pengalaman yang justru didapat saat berada di luar rumah. Banyak ijasah hidup yang dibentuk oleh bepergian. Setelah pulang, manusia mendapatkan arti-arti baru, bobot hidup yang baru. Jadi, sekali waktu ada jenis kebiasaan yang harus dikorbankan demi itu.

Memang kebiasaan ini adalah soal yang sangat bersifat personal atau tergantung pribadi masing-masing. Seperti setiap pagi saya bangun tidur, yang pertama harus tersedia adalah secangkir kopi panas merek kapal api, bukan sembarang merek kopi. Sudah harus merek tertentu, jenisnya juga harus tertentu yaitu kapal api yang special. 

Menyeruput kopi masih panas di pagi hari, wah...luar biasa nikmatnya. Seruputan yang sedikit saja mampu langsung membakar syarafku, apalagi ditemani sebatang rokok kegemaranku. Sudah semacam ritual terpenting yang harus kulakukan setiap pagi hari. Ada puluhan seruputan dalam satu cangkir, satu seruputan diselingi kepulan asap berarti satu imajinasi. Seruputan demi seruputan itu menyebabkan lahirnya ide-ide, lamunan dan rencana kerja, sekujur tubuh jadi segar dan bangkitlah semangatku.

Mungkin terasa berlebihan bagi orang lain jika aku merasa segar dan bersemangat cuma gara-gara secangkir kopi panas di pagi hari. Tapi karena kebiasaan ini sifatnya pribadi maka, bisa jadi aku saja yang mengerti betapa sulitnya mengabaikannya. Jika terpenuhi, seakan-akan siap tempur jiwa raga menuju kerja selanjutnya. Jika kebiasaan ini tidak dilakukan, langsung bisa menjadi pihak yang lesu, loyo dan tak berdaya serta rawan terhadap gangguan.

Gangguan kecil dapat menyulut api kemarahan, mungkin karena sudah seperti kecanduan. Layaknya pecandu narkoba yang kehabisan pasokan. Pengaruhnya dapat menjadi biang kekacauan sepanjang hari. Ada yang keliru sedikit, rasanya seperti sebukit. Ketergantungan terhadap secangkir kopi amat nyata, sehingga pergi kemana pun saya selalu siap sedia kopi special di dalam tas bepergian. 

Jadi, ada jenis kebiasaan yang dapat dilanggar demi bepergian, seperti soal makan dan yang lainnya, tapi ada juga jenis kebiasaan yang harus dijalankan yaitu secangkir kopi panas di pagi hari. Secangkir kopi terasa begitu pentingnya, sehingga saya lebih menghargainya ketimbang makan yang jelas-jelas lebih penting karena menopang tubuh dan hidup manusia. 

Kita adalah orang-orang yang terancam lupa dengan soal yang begitu pentingnya. Padahal semakin penting sesuatu, semakin dekat dengan kita. Dan semakin dekat dengan kita, maka semakin mudah kita melupakannya. Itulah kenapa ada suami istri tidak perlu lagi saling memuji karena merasa telah begitu akrabnya. Itulah kenapa kepada anak-anak, kita suka lupa memeluknya karena merasa sudah mencintainya. Itulah kenapa secangkir kopi lebih penting dari sepiring nasi.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Kamis, 25 September 2014

Rasa Iri


Ada yang mengatakan bahwa ‘rasa iri’ berakar dari masa lalu kita pada jaman purba. Ketika manusia purba di gua sebelah mendapatkan bagian daging gajah dalam porsi yang lebih besar, berarti yang lain mendapatkan lebih sedikit. Yang satu berpesta, yang lain menderita. Namun, rasa iri pada masa sekarang berbeda. Jika tetangga saya membeli Lamborghini, itu tidak  berarti mengambil milik saya.

Rasa iri sering menimbulkan kejengkelan, tapi anehnya mengarah kepada orang yang paling serupa atau punya kemiripan dengan kita. Kita tidak iri terhadap hewan atau tumbuhan. Kita juga tidak iri terhadap orang kaya di belahan dunia lain, hanya mereka yang se kota dengan kita. Sebagai seorang pengusaha, saya tidak iri terhadap musisi, pengacara, politikus, namun terhadap pengusaha lain, iya.

Sumber keirian bisa datang dari mana-mana. Salah satunya adalah soal gaji. Jika ada tiga skenario, manakah yang paling membuat Anda kesal, A) Gaji teman-teman Anda naik, gaji Anda masih sama, B) Gaji mereka tetap sama, demikian juga gaji Anda, C) Gaji mereka rata-rata dipangkas, gaji Anda juga. Jika Anda menjawab A, jangan cemas karena itu sepenuhnya normal, hanya korban monster bermata hijau atau perasaan iri.

Kemudahan pun kadang kita irikan seperti seorang teman yang mengeluhkan segolongan orang yang menurutnya amat enak hidupnya. Pekerjaannya cuma begitu, gajinya sebesar itu. Sudah gaji sebesar itu, masih mendapat sabetan ini itu. Sudah begitu, masih pula punya kesempatan untuk me-mark up anggaran. “ Sementara aku, harus bekerja keras banting tulang dan memeras keringat sepanjang hidupku,” katanya.

Saya pun pernah merasakan hal seperti itu saat masih berstatus pegawai, sehingga saya memahami kejengkelannya. Soal yang mudah baginya itu adalah soal yang harus saya capai dengan susah payah. Iri kepada kemudahan orang lain dan marah kepada kemalangan diri sendiri. Lebih-lebih, ketika kita menilai kemudahan yang dimilikinya, didapat dengan cara yang salah di mata kita. 

Maka, iri dapat berubah menjadi amarah, melihat bagaimana mungkin orang yang salah bisa hidup mewah, sementara yang benar malah hidupnya susah. Begitu sengitnya kemarahanku, sampai keliru menyamakan bahwa mudah itu selalu berarti gembira, sedangkan susah itu selalu berarti sengsara. Padahal, seharusnya tidak sama karena faktanya ada pihak yang digembirakan dengan kesusahannya dan ada orang yang disengsarakan oleh kemudahannya.

Ada orang yang karena mudahnya, mudah berbuat apa saja termasuk mudah berbuat salah sampai masuk ke penjara. Sebaliknya, di dalam kesusahan, manusia juga susah berbuat apa saja termasuk susah berbuat salah. Sulit berbuat salah karena kesempatannya tidak ada. Bagaimana mau korupsi jika lahannya pun tidak ada ? Bagaimana mau membuat mark up anggaran, jika jabatan ia tidak punya ?

Jadi, yang sedang susah seharusnya gembira karena selalu makan dari uang hasil kerja kerasnya yang pasti halal. Namun, jika kita iri pada kemudahan yang salah, begitu ada kesempatan kita pun pasti tergoda untuk korupsi. Hidup dalam sebuah keadaan yang tidak memungkinkan korupsi, memang rawan jadi iri. Keadaan inilah yang saya lihat sedang menjengkelkan teman saya, bukan karena dia miskin, cuma rejekinya diperoleh dari hasil kerja keras.

Dan ketika saya mendapati diri saya sedang terbakar rasa iri sesaat, saya ingatkan diri sendiri, “ Sah-sah saja menjadi iri tetapi hanya kepada mereka yang telah berhasil menjadi orang yang seperti saya cita-citakan.” 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Rabu, 24 September 2014

Tentang Seorang Penipu


Pada suatu pagi, turun dari pesawat di Halim, aku naik taksi di depan pintu keluar kedatangan, lalu engkau mengatakan baru hari ini datang dari Bandung menjadi sopir taksi dan belum tahu jalan. Aku tahu engkau berniat menipuku dan mudah saja bagiku untuk turun dan ganti taksi lain. Tapi, tak ada salahnya kita saling memberi manfaat, engkau punya taksi dan aku penumpangmu. Kedengarannya mulia sekali.

Sekali waktu memang manusia suka tergerak untuk berbaik hati walaupun betapa remehnya. Engkau pura-pura tidak tahu jalan tentu akan memperlama dan memperjauh jarak ke tujuan, sepantasnya aku kecewa juga. Tapi saat itu aku rela memberimu tarikan karena aku punya GPS di hapeku yang tidak bisa ditipu. Hapeku akan memberi perintah suara untuk kau ikuti sampai ke tujuan.

Penipuan itu sebenarnya cuma mengingatkan kekuranganku. Kebaikan tanpa ujian adalah sebuah kekurangan. Kebaikan yang telah melewati ujian adalah kesempurnaan. Tipuan itu kumaklumi karena aku sendiri juga pasti pernah menjadi seorang penipu. Mungkin bukan penipu besar, tapi pasti pernah menipu kecil-kecilan. Menipu teman, tetangga, istri dan bahkan anak-anakku sendiri. Kalau toh bukan mereka, pasti aku pernah menipu diriku sendiri.

Aku pasti pernah mengatakan ya untuk soal yang mestinya ingin kukatakan tidak, dan sebaliknya. Aku juga pasti pernah melakukan satu hal yang aku sendiri tidak setuju. Aku pasti pernah menyetujui satu hal yang tak kusukai. Aku tentu pernah berbaik hati karena terpaksa ketimbang rela melakukannya. Semua ini apa namanya, jika bukan menipu ?

Kalau yang menipu orang yang asing bagi kita, tentu mudah buat kita memakluminya. Beda lagi jika yang menipu kita adalah orang yang kita kenal dengan baik. Seorang teman pernah mengeluhkan tentang sahabat baiknya, “ Siapa yang menipu itulah yang amat menyakitkan,” katanya. Semakin dekat seseorang dengan kita, semakin banyak syarat yang kita tetapkan kepadanya. Harus selalu baik dan dapat dipercaya, itulah harapan kita terhadapnya.

Itulah kenapa ditipu teman dekat akan berlipat kesakitannya. Tertipu dan kehilangan memang suatu jenis penderitaan, tetapi ketika ternyata teman baik itu penipunya maka seperti ditambahkan menu ekstra terhadap penderitaan itu. Kalau boleh diibaratkan sambal yang sudah pedas, menjadi sambal super pedas. Itu semua gara-gara ada banyak syarat yang kita tetapkan terhadap sesuatu, termasuk kepada para teman baik, teman dekat dan kepada para penipu itu.

Kepada teman dekat itu misalnya, kita tetapkan syarat bahwa yang dekat itu harus baik, terpercaya dan tidak boleh menipu. Padahal kedekatan dan kepercayaan itu, soal yang sama sekali berbeda. Bagaimana mungkin soal yang berbeda bisa dianggap sama dan satu, sungguh merupakan bias anggapan. Anggapan itulah yang kemudian menjadi berbagai macam persoalan dalam hidup. 

Jika rumus anggapannya diubah, teman dekat juga boleh menipu, teman baik juga boleh menjadi jahat, dan kebaikan juga boleh dibalas dengan keburukan, pasti akan berbeda pula perasaan kita kepadanya. Karena ternyata, semua itu juga bisa terjadi sesuai dengan hukum kemungkinan yang berlaku. Kepada sesuatu yang mungkin, manusia hanya diberi ruang untuk kompromi, tergantung pilihan selera dan kemampuan kita.

Kita boleh menderita sambil mengutuk kanan-kiri, boleh pula sambil mengobrol seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sesuatu yang mungkin terjadi, tetap akan terjadi jika memang harus terjadi.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Selasa, 23 September 2014

Jalanan Macet


Seperti yang kuduga, aku harus membolos menulis hari kamis lalu karena lelahku tidak mengijinkan. Bayangkan perjalanan jauh yang harus kutempuh, berangkat jam sebelas siang dan jam lima pagi baru sampai rumah lagi . Kusebut perjalanan jauh, karena untuk suatu ukuran rapat selama dua jam saja butuh enam belas jam pulang pergi naik mobil dari Cilacap ke Semarang.

Perjalanan itu dulu normalnya cuma butuh empat jam, jadi delapan jam pulang pergi. Tapi sekarang tidak bisa lagi, karena semakin hari jalanan semakin macet. Kemacetan sudah menjadi soal yang biasa. Mungkin karena jalanan yang tidak ditambah lebar, sedangkan jumlah kendaraan yang terus meningkat. Kepadatan kian memuncak belakangan ini dengan rusaknya jembatan Comal sehingga truk-truk besar berbondong-bondong dialihkan lewat jalur tengah dan selatan.

Bagaimana jembatan tidak cepat rusak ? Yang pertama, kemungkinan proyek jembatan itu dikenai biaya siluman, sehingga pemborong jembatan harus menurunkan mutu agar masih mendapatkan untung. Yang kedua perusak jalan dan jembatan adalah truk khas Indonesia, yang selalu kelebihan muatan karena mereka diperbolehkan lewat asal membayar pungli ke petugas jembatan timbang.

Alasan sopir truk adalah mengejar setoran yang ditetapkan oleh juragan. Tapi juragan juga modal usahanya tinggi. Jadi kalau aturan ditegakkan, juragan tidak mau menjalankan usahanya karena rugi kecuali ongkos angkutnya dinaikkan yang akan berdampak kenaikan harga barang-barang. Lingkaran setan seperti ini yang sulit dipecahkan. Aturan dijalankan tanpa kenaikan ongkos muat, mereka pasti mogok.

Kemacetan di jalan yang sudah dianggap biasa itu mungkin sekarang menjadi penyumbang stress tertinggi di negaraku. Dari sebuah jalan yang padat dan melelahkan, seorang pegawai yang pulang kerja setiba di rumah butuh waktu sejenak untuk menenangkan hati dan jangan buru-buru diajak berdiskusi apalagi disodori berbagai persoalan. Sedikit saja bara disodorkan, akan segera berubah jadi api.

Jika di depan kita adalah iring-iringan truk yang lebih tepat disebut merangkak saking lambatnya dan susah disalip pula saking besarnya, satu-satunya jalan cuma bersabar dan mau mengerti. Bagaimana tidak merangkak, karena selain truk itu sudah tua umurnya, super berat pula muatannya. Untungnya ada hiburan tersendiri dengan mengantri di belakang truk-truk itu.

Aneka truk datang dengan gambar dan tulisan grafiti di bak-bak mereka. Sopir dan kernet truk dapat menjadi satrawan dan melahirkan satra truk-nya sendiri. Ada truk bergambar Che Guevara, tanpa kita yakin apakah si penggambar paham tokoh yang digambarnya. Ada truk bergambar perempuan super montok dengan payudara lebih besar dari tubuhnya ditambah tulisan ‘wis nyicipi’ yang artinya sudah mencicipi.

Tapi ada pula yang kebalikan dari itu, yakni gambar ulama bertasbih dengan pesan mulia yang cuma lazim dijumpai di tempat ibadah seperti ‘urip mung mampir ngombe’ (hidup hanya mampir minum). Jadi, betapa singkatnya hidup ini. Mulai dari fantasi seks, humor dan sampai masuk dunia spiritual seperti dioplos berbagai suasana. Jadi, jika hidup begitu singkat kenapa harus dibikin murka oleh jalanan yang macet ini, kenapa harus tersandera oleh watak kita yang selalu ingin buru-buru. 

Salah-salah, hidup yang singkat akan semakin bertambah singkat belaka oleh buruknya perilaku kita sendiri.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 22 September 2014

Ketika Hujan Gerimis


Siang itu hujan gerimis, ketika saya memasuki sebuah restoran taman untuk makan siang. Sengaja aku mengambil tempat duduk yang menghadap keluar, aku menunggu hidangan disiapkan. Di sudut sana kulihat sebuah keluarga yang baru saja selesai makan, sepasang orang tua dengan tiga orang anak. Dua orang anaknya asyik bermain gadget di tangan mereka masing-masing. Sedangkan yang seorang lagi menarik perhatianku, karena dia diam berlama-lama memandang ke luar ke arah hujan.

Menurut tebakanku, anak itu pasti sedang berimajinasi, menikmati kesendirian pikiran dan hatinya. Mudah saja menebaknya, karena saya pernah mengalami perasaan yang sama ketika memandang lama kejauhan, menikmati kesendirian pikiranku. Dan saat sedang menikmati situasi itu, saya tidak mau digoda ataupun diganggu oleh siapa pun.

Memandang kejauhan memang mengasyikan, apalagi dari balik jendela kaca kereta api yang melaju. Seluruh tulisan yang berkelebat kubaca dalam hati, seluruh gambar yang melintas kurekam dalam ingatan dan kusemayamkan dalam-dalam. Keindahan yang terekam ketika itu sulit dibandingkan, karena jiwa terasa melayang-layang di awan, menyatu dengan alam semesta yang tak berujung. 

Mungkin pada periode seperti itu, manusia dapat menemukan ide-ide yang membawa perubahan peradaban. Itulah periode ketika imajinasi menjelajah dengan bebas merdeka. Periode saat Newton memandang apel jatuh dan menemukan gravitasi. Hampir tidak ada penemuan pengetahuan yang lahir tanpa imajinasi. Dari sains hingga ketuhanan. Hingga akhirnya saya mengerti kenapa Einstein berani berucap imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan.

Ceramah presiden Sukarno juga mengatakan pentingnya imajinasi. “ Bangsa yang tidak mempunyai ‘imagination’ tidak mempunyai konsepsi-konsepsi besar ! Tidak mempunyai keberanian – padahal yang kita lihat di negara—negara lain itu, Saudara-saudara, bangsa-bangsa yang mempunyai ‘imagination’, mempunyai fantasi-fantasi besar, mempunyai keberanian, mempunyai kesediaan menghadapi resiko....”

Bagaimana dongeng seorang ibu guru tua di pinggiran hutan Amazon tentang dunia luar yang belum pernah diinjaknya menggerakkan para muridnya mampu membangun mimpi dan imajinasi luar biasa untuk keluar dari desa mereka mencari apa yang diceritakan oleh gurunya, seperti anak burung yang mampu menembus hutan gunung dan lautan menuju tempat impian.

Imajinasi anak yang berkembang dan diberi ruang itulah yang dibutuhkan untuk memperbaiki masa depan bangsa ini. Namun proses pendidikan kita ternyata miskin dengan imajinasi. Guru yang kuyu berdiri di depan kelas dengan pikiran terganggu oleh kredit motor atau cicilan hutang koperasi akan kehabisan energi untuk mengembangkan imajinasi anak. 

Imajinasi juga selalu melahirkan keindahan yang nyaris tak terhingga. Maka, ada orang-orang yang keliru menghadirkan imajinasi tapi dengan paksaan. Memakai obat-obat terlarang atau perangsang yang dianggapnya mampu memberi mabuk keindahan hingga mendongkrak keberanian seseorang. Tapi hal itu sesungguhnya tidak diperlukan jika tujuannya hanya untuk menghadirkan kegembiraan.

Keindahan atau kegembiraan adalah hal yang sederhana. Untuk mengundangnya, ia cukup kita beri ruang dan kebebasan. Maka, ketika kita dapat membantu, mulai dari anak-anak, tetangga, anggota keluarga atau siapa saja yang membutuhkan ruang-ruang itu, lakukanlah. Pasti akan banyak jiwa yang akan menjadi sehat dan gembira.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Sabtu, 20 September 2014

Liburan Yang Salah


Setiap libur lebaran, kami pasti merencanakan ikut liburan. Pertama, karena di rumah tidak ada sopir dan tidak ada pembantu. Tidak ada pembantu juga tidak ada yang masak, apalagi warung makan dan pasar sebagian besar tutup. Jadi, jika di rumah selama libur itu, judulnya cuma penderitaan semata. Sekarang tinggal pilihannya, mau pergi ke mana. 

Waktu itu kami janjian dengan adik yang tinggal di Bandung untuk naik mobil beriringan dua hari di Jakarta dan dua hari di Puncak. Pilihan ini sengaja kami tentukan dengan pertimbangan, saya harus menyetir sendiri karena tidak ada sopir, maka melawan arus mudik tentu pilihan yang cerdas. Sesuai dengan dugaan, kami dapat melenggang dengan santai ke Jakarta.

Setelah dua hari di Jakarta, baru terpikirkan persoalan bagaimana menuju Puncak. Pada hari libur seperti ini, bisa dibayangkan bagaimana macetnya jalan ke sana. Pikir punya pikir, kami akhirnya memutuskan jalan memutar keluar Jakarta, lalu masuk ke Puncak melalui Cianjur. Apalagi sudah lama sekali tidak pernah lewat Cianjur, yang terkenal dengan manisannya.

Kami pun berhenti di salah satu toko manisan di tengah perkotaan yang tampak ramai pengunjung. Wah, pasti mutu manisannya baik, itu sudah rumus tidak tertulis seperti setiap kali kita akan memilih restoran untuk berhenti makan ataupun pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Restoran yang laris, pasti akan semakin berjubel disinggahi pelancong, sedangkan yang sepi hanya dilalui. Demikian pula pom bensin, semakin ramai antrian, menandakan takaran yang tepat, tidak dicurangi.

Setelah cukup puas berbelanja manisan, kami pun melanjutkan perjalanan. Jalanan di tengah kota yang satu arah dengan pembatas jalan tampak amat ramai sore itu, sehingga kendaraan tidak dapat melaju cepat. Lalu tampak seorang anak perempuan usia sepuluh tahunan yang kebingungan sedang berdiri di tengah-tengah pembatas jalan seperti mau mengurungkan niatnya menyebrang.

Namun, tiba-tiba ketika mobilku melintas, ia berlari menyebrang dan tak terelakkan, tubuh kecilnya terpental dihantam mobilku, meskipun aku sudah sekuat tenaga menginjak rem dan membanting setir ke kiri. Seketika, jantungku berhenti berdetak, dicekam kepanikan, yang terlintas di benakku saat itu hanya jeruji penjara. Bagaimana kalau adik kecil itu tidak tertolong dan tewas ? 

Kendaraan segera kupinggirkan, dan seorang bapak yang cekatan memondongnya kusuruh masuk ke mobil. “ Mana rumah sakit,” tanyaku pada bapak itu. Untung tidak terlalu jauh, kami hanya perlu memutar arah balik. Sungguh liburan yang salah, semua ikut terpanggang kepanikan,tulang belulang seperti  dilolosi dan semakin menjadi-jadi saat melihat kondisi anak itu yang masih tak sadarkan diri.

Apalagi, ketika serombongan orang datang tergopoh-gopoh, orang tua serta orang sekampungnya. Jangan-jangan akan mengeroyok, membakar kendaraan kami seperti yang banyak terjadi di negara ini. Bayangan keburukan yang bakal terjadi sungguh-sungguh mencekam. Hanya dengan nyali yang kupaksakan sambil berdoa dalam hati, kutemui mereka untuk meminta maaf.

Paling tidak aku menunjukkan niat untuk bertanggung jawab. Banyak kasus tabrak lari karena takut bertanggung jawab, tapi ada lain kasus lari karena takut diamuk massa. Mutu manusia kadang diuji pada saat yang sulit. Dan saya memilih untuk bertanggung jawab apa pun resikonya, meskipun takut. Niat baik akan membawa kebaikan dan itu yang terjadi. Keluarganya yang semula kusangka akan mengamuk, malah meminta maaf karena ternyata anak itu agak terbelakang dan seharusnya dikawal.  

Tak ada pilihan lain, ketika dokter di rumah sakit itu angkat tangan, kami harus melupakan liburan, ikut ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung, ke mana anak itu dipindahkan. Punahlah kegembiraan, batal sudah semua rencana dan yang tersisa cuma kepasrahan, menunggu hidup dan mati  anak itu yang sama sekali belum begitu jelas.  

Setelah semalam menginap di Bandung, kami sekeluarga memilih pulang ke Cilacap, sambil terus memantau perkembangan anak itu. Empat hari kemudian, saya menjenguknya ke rumah sakit, tepat saat anak itu siuman dan ketika kutanya siapa namanya, dia dapat menjawab dengan benar. Dokter tersenyum lebar, orang tuanya tersenyum bahagia, saya pun ikut tersenyum bersyukur. 

Mensyukuri anak itu ternyata bisa lebih berarti daripada liburan ke seluruh dunia, karena sejujurnya saya tengah mensyukuri diri saya sendiri. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Jumat, 19 September 2014

Sate Sapi Pak Kempleng


Walaupun sudah tancap gas, tapi rupanya jalan tidak memungkinkan kami datang lebih awal. Masuk Ungaran sudah jam tujuh petang, padahal mau rapat jam setengah delapan di daerah kota Semarang jadi harus masuk tol.  Tapi, perut sudah tak tahan, keroncongan, maka saya sarankan untuk berhenti makan dulu kepada sopir dan satu orang teman seperjalanan. Saya tawarkan makan sate sapi pak Kempleng yang kelewatan sebelum masuk tol Ungaran. 

Rupanya, mereka belum pernah makan sate sapi, sehingga mereka serempak menyetujuinya. Saya sendiri pernah diajak seorang teman makan di tempat ini, tapi lupa dengan ukuran porsinya. Maka, ketika penjualnya bertanya, saya jawab tiga porsi, pakai nasi. Namun begitu sajian keluar, kami agak pucat, merasa kenyang sebelum makan. Setiap porsinya terdiri dari sepuluh tusuk daging sapi yang ukurannya raksasa. Kalau dua porsi untuk bertiga, mungkin baru ideal.

Apa boleh buat, kami masing-masing membulatkan tekad untuk berjuang menghabiskannya. Jadi, nasi yang saya kalahkan, karena nasi di rumah banyak sedangkan sate sapi hanya di sini. Tapi si sopir kelihatannya lebih suka nasi ketimbang dagingnya sehingga nasi diembat duluan. Sambil terengah-engah dan menggelengkan kepala, dia menyerah, padahal masih tersisa tiga tusuk lagi. Mubazir, kata orang.

Hati-hati kalau melakukan hal mubazir di Jerman. Pengalaman orang Indonesia ketika berlibur di sana, malah berbuntut malu. Seperti kita ketahui, bahwa Jerman adalah sebuah negara industri terkemuka. Sebagai negara maju, banyak orang mengira bahwa warga yang tinggal di sana hidupnya mewah dan suka berfoya-foya.  Tapi ternyata tidak demikian, cara makan mereka sangat terukur, tidak membuang sisa makanan. 

Suatu ketika, rombongan orang kita masuk ke sebuah restoran hendak makan bersama. Meja kursi restoran itu banyak yang kosong, hanya tampak sepasang anak muda yang sedang makan di sudut dan sekelompok wanita tua di meja lainnya. Di hadapan pasangan anak muda itu cuma ada dua piring makanan dan dua gelas bir. Begitu simpel hidangan yang mereka santap.

Sedangkan di meja yang lain, tampak para wanita tua sedang menghabiskan makanan pesanannya sampai bersih, tak tersisa. Rombongan pemuda Indonesia pun segera mengambil tempat di sebelah meja mereka lalu memesan makanan cukup banyak. Karena tidak menduga dengan ukuran porsi makanan, mereka benar-benar tak sanggup menghabiskannya, sehingga masih tersisa sepertiga.

Diam-diam para wanita tua itu memperhatikan, dan berbicara sesama mereka dalam bahasa Inggris, kelihatan tidak senang karena ada orang memubazirkan makanan. Kalau di Indonesia tentu tidak ada yang mempersoalkan hal itu. Maka, salah satu pemuda itu merasa tidak terima, kemudian berkata, “ Kami yang bayar kok, bukan urusan kalian berapa banyak makanan kami tersisa.”

Wanita tua itu meradang, salah seorang segera mengeluarkan handphone dan menelpon seseorang. Tak lama kemudian, datang seorang lelaki berseragam sosial sekurity. Setelah mendengar sumber persoalannya, maka ia menerbitkan surat denda kepada pemuda tadi sebesar 50 euro, kurang lebih 750 ribu uang kita. Bukan soal uang, tapi soal dipermalukan di negeri orang.

Bahkan petugas itu berpesan dengan suara galak,” Pesanlah hanya yang sanggup Anda makan, uang itu milikmu, tapi sumber daya alam ini milik bersama. Ada banyak orang lain yang kekurangan. Kalian tidak punya alasan untuk mensia-siakan sumber daya alam tersebut.” Padahal, kita sering memesan makanan lebih banyak dari kebutuhan hanya untuk menyelamatkan muka.

Tiga tusuk sate sapi yang kukira akan mubazir, ternyata tidak, karena akhirnya diselesaikan dengan baik oleh sopirku. Bukan karena mendengar kisah tadi, tapi karena tahu bahwa satu tusuk harganya empat ribu rupiah. "Eman-eman", katanya sambil garuk-garuk kepala.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Rabu, 17 September 2014

Menjaga Perasaan Orang Lain


Karena bengkel mobilku yang semakin ramai waktu itu, maka kutambahkan ruang tunggu yang ber ac untuk para pelanggan. Ada cafe kecil yang menyediakan makanan dan minuman, tersedia pula mesin karaoke dan tv berlangganan sebagai pelengkap hiburan. Namun, sebagai ruang publik serta untuk kenyamanan tidak diperbolehkan merokok di dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu.

Tapi, ternyata masih ada orang yang mengabaikan tulisan ‘no smoking’ yang terpampang jelas di pintu masuk. Mereka merokok dengan santainya. Bisa dibayangkan betapa tersiksanya orang yang bukan perokok di dalam ruangan akibat gangguan asap rokok itu. Kebetulan saya juga perokok berat, jadi larangan itu bukan karena saya anti rokok, tetapi lebih karena menjaga perasaan orang lain saja.

Semua jenis tindakan yang tidak menjaga perasaan orang lain, sering memancing kejengkelan saya. Kadang saya jengkel dalam diam, karena untuk langsung menegur saya tidak berani, apalagi jika tidak berhubungan langsung dengan kepentingan saya. Banyak di antara kita malah mengajak berkelahi kalau ditegur kesalahannya. Padahal, bukan pertengkaran semacam itu yang saya cari, sehingga paling banter saya menulis semacam ini.

Menulis pun belum tentu dibaca sama orang yang ingin saya tegur. Yang membaca justru mungkin malah orang yang sangat menghargai perasaan orang lain. Maka, semakin tidak jelas kalau jengkel tapi diam seperti ini. Akhirnya, sebatas kemampuan saya untuk menyuarakan tentang pentingnya menjaga perasaan orang lain lewat tulisan ini. Mudah-mudahan akan mengingatkan kita semua.

Padahal, sumber-sumber yang mengabaikan perasaan orang lain itu banyak sekali. Sudah tahu jalan setapak sempitnya minta ampun, e naik motor kencang sekali seperti di sirkuit. Sudah tahu itu jalan keluar masuk rumah orang, malah sengaja memarkir mobilnya melintang menutup jalan. Sudah tahu kalau tinggal berdesakan di kompleks perumahan, mengasapi tetangganya dengan membakar sampah seenak wudelnya.

Soal asap mengasap memang kita ahlinya. Sampai presiden pun ikut bicara, karena kebiasaan kita mengasapi negara tetangga. Entah salah siapa, tidak ada yang mengaku bertanggung jawab, itulah hebatnya. Hutan-hutan itu sengaja dibakar atau terbakar juga tak jelas juntrungannya. Menyikapi soal kabut asap malah jadi soal yang lebih serius ketimbang kabut asap itu sendiri. Yang pasti, kerugian semata akibatnya. 

Begitu mudahnya manusia dibiarkan membuat kekacauan tanpa pengawasan, apalagi teguran. Tidak kurang-kurang kita mendengar anak-anak yang cedera karena bermain mercon atau kembang api, tanpa pengawasan orang tua. Tidak satu dua kali, kita melihat anak kecil yang mainan kesukaannya adalah api. Anak-anak semacam itu sungguh berada dalam bahaya yang nyata, tapi kita para orang tua mendiamkannya saja.

Jadi, bahaya yang sesungguhnya adalah kelalaian orang tua yang membiarkan anaknya bermain hal yang berbahaya. Anak itu sama sekali tidak berbahaya. Maka, saya percaya hanya dengan tegur sapa mulai dari rumahlah, yang dapat menjadi pendidikan terbaik untuk mengembangkan sikap menjaga perasaan orang lain. Pasti lebih mudah menegur anak sendiri, ketimbang menegur orang lain yang mungkin malah menantang kita berkelahi.

Itulah kenapa saya lebih suka menulis begini ketimbang menegur orang lain. Bukan karena takut atau tidak mampu, melainkan lebih karena penantang itu ada dimana-mana.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Selasa, 16 September 2014

Rasa Penat Itu ...


Semua orang tahu, untuk memperoleh sesuatu pasti ada harga yang dibayar. Harga yang dimaksud di sini tentu bukan hanya dalam bentuk uang, tetapi adalah pengorbanan, perjuangan dan kegigihan kita dalam meraihnya. Seluruh perolehan kita sekarang adalah sesuatu yang sudah kita bayar. Maka, barang siapa memperoleh tanpa membayar, ia adalah pihak yang berhutang. 

Teori ini mengajari saya untuk mempertanyakan baik setiap penerimaan maupun setiap kehilangan yang saya alami. Sehingga saya jadi cenderung lebih mudah berdamai dengan keadaan. Perdamaian ini penting karena tidak setiap kenyataan selalu soal-soal yang menyenangkan atau soal yang kita inginkan. Bahkan kadang-kadang justru soal-soal yang ingin kita hindari.

Seperti misalnya, seorang pegawai pompa bensin pulang bekerja dalam keadaan penat berat dengan hati yang jengkel. Penat karena kebetulan pomnya ramai orang mengantri tiada henti sehingga tak memberinya waktu sedikitpun untuk sekadar mengendorkan uratnya. Sedangkan jengkel menerpa karena hari itu ia harus nombok akibat uang hasil penjualan tidak sesuai dengan jumlah yang harus dibayarkan ke kantor.

Kelebihan dan kekurangan uang hasil penjualan adalah kejadian sehari-hari. Kelebihan bisa diperoleh karena banyak pembeli yang berbaik hati memberikan uang lebih, sedangkan kekurangan mungkin karena kesalahan memberikan uang kembalian atau ada sesama teman yang mengambil sebagian uang itu. Bekerja di pom bensin memang harus bekerja saling percaya, untung rugi juga ditanggung bersama.

Jadi, hari itu ia menderita dua kehilangan, kalau rasa penat juga boleh dianggap sebagai kehilangan. Kehilangan yang pertama adalah soal uang yang kurang. Jika sering terjadi, ini tentu soal yang serius sehingga harus dicari solusinya. Jangan cuma mengeluh habis-habisan sampai aku bisa membacanya di  facebook. Tapi saat mendapat rejeki kelebihan, kita anggap hal biasa dan aku tidak membacanya. 

Memang penat itu tak akan hilang, tapi pasti akan jauh berkurang jika kita bisa memaknai pekerjaan. Saya pernah menyimpan pengalaman dahsyat dengan penat dan kemiskinan, menanggung hidup ibu dan tiga orang adik yang masih kecil ketika jadi nelayan. Mencari nafkah di laut sangat tak menentu hasilnya, kadang berhasil dapat tangkapan, tapi kadang nihil sama sekali.

Untuk makan kami sehari-hari yang mengandalkan hasil tangkapan, tentu tidak mudah, kerap harus menanggung lapar. Bagi orang yang dewasa mungkin paham dan bisa maklum sulitnya hidup seperti itu. Penat dan laparku melaut jadi sama sekali tak berharga, ketika melihat sorot mata adik-adik yang menunggu kepulanganku. Ada suatu saat mereka amat menantikanku karena mereka semua belum makan. Melihat mereka bisa makan saja, rasa penatku berubah menjadi amat bermakna.

Kalau rasa penat itu terasa berat, coba bayangkan penerimaan sebagai imbalannya. Ada yang hilang, tapi ada yang diterima. Bekerja memang berat, tapi dengan bekerja kita bisa menyekolahkan anak dan membangun keluarga. Rasa penat jadi remeh, tidak terasa, jika dibandingkan dengan manfaat dan perasaan berharga bagi keluarga.

Maka, ada jenis penat yang indah, penat yang bergairah sebagai gantinya. Penat pulang kerja, tapi bahagia seolah mengguyur seluruh tubuh karena perasaan berharga. Penat yang setara dengan kebahagiaan. Kebahagiaan bagi seluruh penghuni rumah kita. Jadi, sesungguhnya rasa penat itu tidak pernah sia-sia. Sesuai dengan teori di atas, kita harus membayar untuk memperoleh segala sesuatunya, termasuk kebahagiaan itu sendiri.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 15 September 2014

Sebuah Mata Pelajaran


Ada yang bilang bahwa derita itu bisa diibaratkan seperti makhluk. Ia bisa disapa, diajak berdialog dan dijinakkan. Penjinakkannya bukan meniadakan, tapi hanya menyembunyikan agar orang lain tidak melihat atau merasakan penderitaan kita. Ini yang sedang kucoba untuk mempelajarinya, tentang bagaimana berperan jadi orang yang matang dan bijaksana meskipun sedang menderita.

Saya termasuk jenis orang yang sulit menyembunyikan perasaan. Sedih atau senang akan tampak jelas terlihat. Setiap ada persoalan yang memerlukan perhatian, selalu menyita seluruh kehidupan. Suasana hati langsung terusik, kening berkerut dan tanggallah senyum dari wajahku, hingga orang mudah membacanya. Apalagi kalau persoalan yang cukup penting.

Ketika aku sedang diburu-buru untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan agar bisa selesai tepat waktu, biasanya malah menjadi persoalan. Ketegangan dan kekhawatiran membayangiku hingga penyakit pun ikut mengganggu. Sikapku jadi sangat serius tampak tak mau diganggu sehingga tidak ada yang berani menyapaku, kecuali kucingku yang tak tahu kalau yang empunya sedang dihinggapi persoalan.

Membiarkan suasana terbaca secara terbuka sebenarnya hanyalah kemanjaan, sikap yang kekanak-kanakan. Mana mungkin aku mengumumkan, “ Hai, hari ini aku sedang tidak enak hati, jadi jangan nyalakan tv keras-keras, jangan bicarakan soal remeh, jangan memancing kemarahan.” Permintaan yang enggan kuucapkan, tapi aku menuntut orang lain tahu keinginanku, bukankah ini kekonyolan ? Orang lain dituntut mengerti tanpa pemberitahuan.

Tapi memendam persoalan sesungguhnya juga merupakan derita tersendiri. Banyak orang gagal menyimpan deritanya, bahkan tak sedikit yang mengumbar deritanya pada orang lain, sehingga orang lain ikut menderita karenanya. Cara ini betul-betul berbahaya, karena orang semacam ini akan menimbulkan masalah bagi orang di sekitarnya. Kedatangannya bisa dianggap sumber persoalan, sehingga akan dijauhi dan disingkiri.

Maka, aku benar-benar kagum pada orang yang pembawaanya dewasa, tenang, kuat dan terjaga. Menunjukkan kematangan jiwanya. Kita tak pernah bisa menebak apakah ia sedang bersedih atau bahagia. Jika tengah bersedih, wajahnya tak pernah berubah kusut atau muram. Jika tengah bergembira tampak wajar, kegembiraannya tidak meluap-luap. Kegemparan tidak membuatnya kaget, kekacauan juga tidak pernah membuatnya panik.

Orang semacam ini bukan berarti lebih bahagia dari kita, tapi lebih karena ia telah berusaha keras untuk menjinakkan makhluk derita. Ia sama seperti kita penuh persoalan, hanya ia tidak sibuk untuk mengurusnya, sehingga persoalan itu menjauh darinya. Karena tidak diurusi, persoalan itu akhirnya pergi sia-sia. Itulah kenapa aku sangat kagum bahkan iri kepada kemampuannya.

Sama seperti saat aku iri melihat temanku selalu dapat nilai sempurna di sekolah, mengungguliku. Kepadanyalah orang-orang takjub dan terpana. Padahal ia sama seperti kita, hanya mungkin saja ia telah bekerja keras untuk itu. Jadi, pujian dan kekaguman selalu jadi miliknya. Aku cuma bisa malu pada diriku sendiri, dan berjanji untuk memperbaiki nilaiku.

Tapi janji memang janji. Janji yang jarang bisa kupenuhi. Bayangkan, jika para anggota DPR saja selalu berjanji tapi jarang menepati, apalagi diriku. Demikian pula ketika aku belum bisa menjadi orang yang matang dan bijaksana. Dalam mata pelajaran yang satu ini, aku malu karena nilainya pasti merah dalam rapor kehidupan. Dan khawatirnya aku juga cuma bisa berjanji. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Sabtu, 13 September 2014

Keharusan Yang Kutetapkan


Pernah seorang pemuda pengangguran yang mengecat hijau rambutnya meminta pekerjaan kepada saya. Bekerja apa saja, katanya. Ketika kulihat surat lamarannya ternyata cuma tamatan smp, segera aku menolaknya. Sebetulnya bukan soal tamatannya yang membuatku enggan menerimanya. Terus terang karena aku tidak suka dengan warna rambutnya. 

Pegawaiku yang lulusan smp juga ada beberapa dan mereka baik-baik saja dalam bekerja. Bahkan ada yang karirnya cukup baik. Memang tidak serta merta mendapatkan posisi yang nyaman. Harus mengawali pekerjaan dengan yang paling sederhana, misalkan petugas kebersihan. Tapi jika bekerja baik, tekun dan mau belajar, tidak tertutup kemungkinan untuk naik jabatan. Jadi, yang membuatku menolak, lebih karena prasangkaku tentang kelakuan pemuda itu.

Rambut warna hijau seperti pohon yang saya ketahui adalah meniru tokoh zetsu pada anime naruto cerita Jepang. Menurut saya lebih cocok untuk anak orang kaya, mungkin seorang mahasiswa atau orang-orang yang bergerak di dunia seni, bukan pemuda luntang lantung. Apalagi cuma lulusan smp, yang pasti tidak bermutu dan cuma bergaya ikut-ikutan.

Seperti terhadap pembantu rumah tangga, jika engkau seorang perempuan, sebaiknya jangan terlalu bersih dan cantik. Bisa membuat orang keliru mengenali, mana pembantu mana majikan. Pembantu cantik bisa merupakan kesalahan. Engkau bisa jadi rebutan antara sopir dan majikan. Kecantikan itu seolah tak layak kau sandang, sebab seorang pembantu seharusnya bodoh dan buruk rupa.

Terhadap orang lain, ternyata saya menetapkan banyak keharusan. Jika engkau hendak berhutang, lagakmu juga harus sopan sempurna. Jangan mengajak berdebat, jangan membuat gara-gara. Kalau aku sedikit menceramahimu, terimalah dan kalau aku sedikit mengomelimu, sabarlah. Daripada aku menjadi orang yang tega kepadamu.

Kalau bisa jangan memakai perhiasan, karena aku akan berpikir kenapa engkau lebih suka berhutang ketimbang menjual perhiasanmu. Jadi, jangan sekali-kali pamer harta, sama sekali tak sesuai dengan keperluanmu. Wajahmu harus tampak murung bukan gembira, karena bisa membuatku salah sangka kalau engkau cuma sekadar bergurau. 

Rambut hijaunya menurutku cuma sebuah kekeliruan, karena seorang pengangguran seharusnya mampu menarik simpati orang yang akan memberinya pekerjaan. Bukan malah membuat khawatir menerimanya. Paling tidak, rambut harus rapi, penampilan baik dan sopan agar mudah dipercaya. Pokoknya, harus tahu diri dan menyadari kedudukannya sebagai pihak yang butuh pekerjaan.

Maka, ketika ada seorang pemuda lulusan smp yang lain tapi sangat sopan, setiap kali papasan selalu membungkukkan badan, aku terpikat. Aku memberinya pekerjaan karena sesuai dengan keharusan yang kutetapkan. Apalagi ayahnya juga sudah bekerja sebagai petugas kebersihan di tempatku dan yang jelas rambutnya tidak berwarna hijau. Tidak hanya boleh bekerja, bahkan kupercayai untuk ikut tinggal bersamaku.

Diam-diam aku sering memuji dan membanggakan pemuda ini,  karena kerajinan dan kesopanannya. Sempat pula kutawari supaya melanjutkan sekolahnya, paling tidak punya ijasah sma. Berapa bulan kemudian, tiba-tiba pemuda ini menghilang, pergi tanpa pamit sambil membawa kabur uang kantor. Penilaianku ternyata keliru dan aku merasa bersalah dengan keharusan yang kutetapkan sendiri. Jadi, ‘keharusan yang kutetapkan’ terhadap orang lain sebenarnya cuma karena sudut pandangku, sama sekali tidak menjamin kelakuan, apalagi mutu hidup manusia. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Jumat, 12 September 2014

Tamu di Rumahku

Beberapa minggu lalu saya kedatangan seorang tamu. Bukan sekadar tamu biasa, karena sudah melebihi saudara. Tamu ini sengaja datang dari benua Amerika memenuhi undanganku untuk ikut merayakan ulang tahun perusahaanku. Ia akan tinggal di rumahku selama sebulan. Biar sepadan capainya menempuh perjalanan, seperti kalau saya berkunjung ke sana juga minimal tiga minggu.

Ia seorang laki-laki tua dan berkulit hitam, yang sangat baik dan santun. Saya katakan tua dan hitam karena memang dia lebih tua dan lebih hitam dariku. Sering saya perkenalkan sebagai saudara tua dari Obama, tapi dia hanya tersenyum karena tidak tahu apa yang saya katakan. Maklum, jika dia belum bisa bahasa kita, karena kita pun selalu kesulitan belajar bahasanya.

Suatu pagi setelah beberapa hari di rumahku, ia datang menemuiku dan minta diberi kesibukan  apa saja yang dapat meringankan pekerjaanku. Rupanya, tamuku jenis orang yang langka, tidak sekadar numpang berlibur, tapi juga ingin berbuat sesuatu pada yang memberinya tumpangan. Orang seperti ini pasti sedikit jumlahnya, tidak seperti umumnya tamu lain yang suka menguji tuan rumah seperti apakah diriku.

Singkat cerita, saya meminta tenaganya untuk membantu mengerjakan inventory di bengkel variasi atau membantu membereskan gudang yang tak pernah beres selama ini. Mumpung ada orang asing mau jadi sukarelawan, tidak ada ruginya mendapat bantuan sekaligus belajar darinya. Kalau cocok akan kugunakan jika tidak sesuai tidak perlu kuikuti, karena mungkin kurang tepat untuk orang kita.

Baru sehari bekerja bersamanya, ternyata sudah mendapat pelajaran. Dia heran melihat gudangku ternyata berfungsi ganda, yaitu untuk menyimpan barang-barang berguna, sekaligus juga sampah atau barang yang tak jelas kegunaannya. Tengoklah rumah kita, banyak barang yang kita miliki tapi tidak jelas manfaatnya. Almari yang penuh berjejalan, ternyata hanya berisi pakaian yang jarang dikeluarkan. Demikian pula gudangku, jelas banyak sampah yang harus disingkirkan keluar.

Hari berikutnya semakin banyak pelajaran yang kupetik, mengenai kebiasaan bekerja yang baik dan produktif. Kebiasaan memakai sepatu kerja dengan baik, bukan seperti yang sering kita lakukan. Ada orang-orang yang memakai sepatu layaknya pakai sandal, ujung kaki saja yang masuk lalu tumitnya kelihatan. Memakai sarung tangan dan  masker saat bekerja demi keselamatan dan kesehatan kerja. 

Menata barang-barang juga diletakkan sesuai dengan postur tubuh, sehingga memudahkan, tidak membuat cepat lelah dan bisa kerja lebih cepat. Orang itu juga sangat disiplin, jam istirahat kurang lima menit tetap tidak menurunkan produktivitasnya. Layak sekali jika kita selalu kalah dalam hal produktivitas. Bukan soal tidak mampu, tapi lebih karena kebiasaan kita suka mencuri waktu. 

Di negara ini mencuri waktu adalah sesuatu yang hal yang lumrah bahkan ada yang menganggap jadi haknya, karena keteladanan kita atau bahan bandingan kita adalah para koruptor yang menurut kita lebih berdosa. Apa artinya mencuri waktu, jika dibandingkan mencuri kekayaan negara atau rakyat ? Padahal, cuma itu yang bisa kita lakukan selagi tidak di posisi yang memungkinkan.

Kehadirannya sebagai tamu di rumahku tak hanya memberiku pelajaran tapi juga manfaat karena pekerjaanku menjadi lebih ringan. Sementara itu, kalau aku bertamu cuma sebagai turis yang butuh panduan, hanya kerepotan yang kuberikan. Minta diantar ke sana kemari adalah permintaanku yang sungguh melelahkan. Apalagi soal makanku, pasti selalu mengundang kerepotan, karena selera lidah diutamakan. Ternyata, menjadi tamu yang baik pun sulit kulakukan, apalagi menjadi tamu yang bermanfaat.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Kamis, 11 September 2014

Menerima Kekalahan


Menerima kekalahan itu tidak mudah bagiku. Bukan perkara besar, tetapi soal kalah main catur di perusahaan. Pada awal kerja di Pertamina, belum ada orang yang tahu kalau saya termasuk pemain catur yang cukup kuat. Pertama kali saya ikut lomba catur adalah lomba catur antar karyawan yang diadakan setiap tahun dalam rangka memeriahkan perayaan ulang tahun perusahaan. 

Babak-babak awal saya melaju dengan kemenangan mudah, sehingga saya hampir sepenuhnya yakin akan memenangkan lomba itu. Menjelang babak akhir, saya ketemu lawan yang menyebalkan sebab berpikirnya lama dan tidak mau melangkahkan buahnya, padahal saat itu belum lazim menggunakan jam catur. Kalau sekarang setiap pemain wajib menggunakan jam catur, agar tidak merugikan waktu lawan.

Singka kata, permainan belum selesai sampai waktu yang ditentukan itu habis, sehingga permainan harus dilanjutkan dengan sistim gong atau aba-aba dari wasit dengan ketentuan waku berpikir hanya sepuluh detik untuk setiap langkahnya. Karena emosi, saya tidak dengar aba-aba untuk melangkah sehingga akhirnya malah saya dinyatakan kalah. 

Saya pulang dengan marah dan kecewa, rasanya langit seperti mau runtuh. Karena catur merupakan bagian penting dalam hidup saya, bahkan boleh dibilang nomor satu saat itu. Tidak ada kebanggaan lain yang saya punya selain unggul dalam bermain catur. Maka, kekalahan dari seorang pemain abal-abal, benar-benar sangat memukul. Hampir membuat saya menggantungkan papan catur.

Saya sempat mogok main catur. Menyalahkan orang itu, keadaan itu, merasa tercurangi karena cara mainnya tidak fair dan lain-lain. Butuh waktu setahun, untuk menghapus sakit hati dan melupakan kekalahan pahit itu. Sementara saya mengeluh dan menyalahkan, ternyata dunia baik-baik saja. Tak peduli saya menangis atau tertawa, bakul-bakul di pasar tetap berjualan seperti biasa. Mereka sama sekali tidak tahu kekalahan saya.

Sebetulnya, tak ada yang peduli dengan urusan kita, termasuk kekalahan, kemarahan, kekecewaan, kedengkian kecuali diri kita sendiri. Ketika kita merasa langit kita runtuh, ternyata langit aslinya juga masih utuh. Coba kalau langit aslinya ikut runtuh, pasti seluruh penduduk dunia ikut membela mati-matian dan berharap dengan sangat saya tidak menelan kekalahan itu.

Saya saja yang merasa orang-orang menertawakan kekalahan saya. Padahal tidak, siapa yang punya waktu untuk mengurusi hal remeh orang lain. Kalau pun ada tentu bisa dihitung dengan jari, apalagi saat itu saya belum dikenal sebagai pemain catur nomor satu di perusahaan. Jadi, menyangka orang lain sibuk dengan urusanku adalah suatu kekeliruan. Justru yang sibuk dengan kekalahan itu, cuma diriku sendiri.

Ketika sebuah partai atau caleg kalah kemudian mengobrak-abrik kantor KPU, menyalahkan daftar pemilih atau kecurangan-kecurangan lainnya, lebih karena mereka tidak mau mengakui kemenangan lawan. Mirip dengan kekalahan yang saya alami saat itu, yang tidak dapat saya terima dengan ikhlas dan besar hati. Alih-alih menyalahkan diri sendiri, malahan menyalahkan orang lain atau menuding kemana-mana.

Menjadi pihak yang kalah akan jadi lebih mudah bila kita bisa menghentikan sumber kekalahan pada satu soal saja. Jika partai saya kalah atau saya caleg yang kalah adalah karena memang saya kurang disukai oleh massa. Jika pertandingan saya kalah, karena memang saya belum punya mental juara atau sedang bermain buruk. Karena menerima kekalahan, sejatinya adalah menerima diri kita sendiri.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Rabu, 10 September 2014

Iklan Pinggir Jalan


Pinggiran jalan memang menjadi tempat yang amat strategis untuk memasang iklan, karena semakin banyaknya kendaraan yang lewat. Seperti yang kulihat di sepanjang jalan ke luar kota, ada iklan yang menawarkan menu-menu masakan yang menarik agar para pelancong mau mampir ke restonya. Tidak hanya menu, tapi juga kelebihan-kelebihan apa yang mereka sediakan, saling bersaing antar rumah makan yang semakin marak.

Pemasangan iklan tersebut juga terbilang banyak dan teratur bak panduan, mirip petunjuk arah ke lokasi mereka, karena dipasang setiap jarak tertentu. Tapi ada jenis iklan yang menarik perhatian saya karena memuat hal-hal negatif seperti ayam tiren (mati kemaren) dan lalat. Mungkin tujuan si pembuat iklan adalah mengedukasi pelancong untuk berhati-hati dalam memilih makanan.

Dengan mengingatkan ayam tiren, sama saja mereka mengatakan di tempatku bukan ayam tiren, di tempat lain belum tentu. Dengan mengatakan awas lalat, juga sama dengan mengatakan makanan kami bersih dari lalat, entah di tempat lain. Penyerangan tidak langsung terhadap pesaing lain yang notabene masih bangsanya sendiri. Kalau yang membaca iklan itu adalah orang asing, sama dengan memperlihatkan boroknya negeri ini.

Tapi itu sah-sah saja, setiap orang boleh berpendapat. Mungkin ada benarnya juga kalau perilaku sebagian dari kita masih seperti itu, namun tidak perlu dibesar-besarkan. Memang masih banyak warung-warung yang membiarkan makanannya tanpa penutup sehingga para lalat bebas merdeka menjarahnya. Memang ada pihak yang tega memakai ayam tiren ketimbang ayam segar demi meraup untung lebih banyak.

Makanan-makanan itu mungkin saja tidak sehat dan jadi sumber penyakit apabila dibiarkan masuk ke perut pelanggan. Dan mereka sama sekali tidak memikirkan akibat dari perilakunya, apalagi peduli dengan para pelanggannya. Tapi, ini bukan soal peduli atau tidak peduli terhadap pelanggannya, tapi juga soal orang yang gagal menghargai dirinya sendiri. Pedagang yang suka meremehkan dagangannya sendiri.

Kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang membuat bangsa ini semakin tertinggal dalam persaingan global. Betapa jamaknya, sopir bus yang mengencingi pintu busnya sendiri. Betapa lazimnya, teknisi yang tidak mau merawat peralatannya sendiri atau pegawai yang enggan merawat kendaraan dinasnya. Ternyata masih banyak orang yang mencari nafkah lewat sesuatu tapi tidak pernah mau menjadikan sesuatu itu sebagai hal yang dicintainya. Tak mau menghargai sesuatu yang menghidupinya.

Jumlah orang-orang yang semacam ini di negara kita bisa jadi banyak sekali. Orang-orang yang gagal memberikan rasa hormat terhadap tanggung jawab dan miliknya sendiri. Sehingga dapat dipastikan tidak akan menghormati milik orang lain. Jika terhadap nasibnya sendiri saja ceroboh, bagaimana bisa menghargai nasib orang lain. Jika mengurus dirinya sendiri saja gagal, bagaimana mau mengurus orang lain.

Terlepas dari rasa suka dan tidak suka saya terhadap iklan tiren dan lalat, iklan itu mengingatkan kita masih banyak orang yang belum siap mengurus dirinya sendiri. Iklan itu tidak akan berarti apa-apa, kalau memang sudah tidak banyak lagi orang yang berperilaku seperti itu. Dengan cerminan mental seperti itu, sangat layak kalau kita menjadi bangsa yang kurang mampu bersaing.

Mental tiren dan lalat ternyata sudah menyebar kemana-mana, bukan tidak mungkin telah menyebar pula ke tubuh kita.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Selasa, 09 September 2014

Kucingku


Sejak di rumahku ada kucing bertambah kegembiraanku walaupun aslinya saya bukan penggemar binatang. Seperti punya suatu mainan baru, apalagi saya hanya tinggal bertiga di rumah sebesar ini. Tinggal hanya bersama istri dan seorang anak yang sudah dewasa dan mau menikah tahun depan. Setelah menikah rencananya juga akan pindah ke rumahnya sendiri, sehingga bakalan tambah sepi.

Kucing ini entah jenis apa, anggora atau persia saya sendiri tidak terlalu memikirkannya. Yang saya tahu kucing ini jantan, sangat gagah, berwarna putih dan tidak mau sembarang makanan. Makannya beda sama kucing kampung yang apa saja dimakan. Bahkan makanan kesukaannya harus dibawakan dari Amerika. Maka, adik ipar yang pulang dari sana setiap tiga bulan sekali, punya kewajiban bawa makanan itu.

Dengan adanya kucing ini maka saya punya kegiatan baru, dan tanggung jawab baru. Melepaskannya keluar kandang pada jam tertentu, memberi makan dan mengajaknya bermain. Awalnya memang sulit memahami kucing, tapi dia menangkap dengan seksama persahabatan yang kuulurkan dengan setulus hati. Makin lama semakin penurut, kemana saya berjalan ia selalu ingin mengikuti.

Bukankah kami berada di bawah langit yang sama ? Dia sebatangkara di sini, sedangkan aku memiliki keluarga. Pendek kata, dengan komunikasi dari hati itulah maka kucing itu akhirnya menjadi anggota keluargaku. Setiap aku makan, dia akan sabar menunggu di bawah kakiku. Setelah makan, gantian aku yang memberinya makan. Saat aku tidur sore, dia ikut tidur di kolong bawah tempat tidurku.

Setiap kali melihat kelebat bayanganku dia akan mengeong menyapaku kecuali kalau aku memakai sepatu akan ke kantor. Seolah dia mengerti dengan kesibukanku. Saat aku berada di rumah sering kubiarkan bebas di halaman asalkan pintu-pintu yang punya akses ke jalan ditutup. Maka dia pun hanya berkeliaran di sekitar itu tidak kemana-mana sehingga membuat hatiku tenang.

Tapi kebiasaan melepaskannya bebas di halaman ternyata tidak selalu menenangkan. Suatu ketika ada kucing kampung liar yang masuk dan kepergok dengan kucingku. Keduanya diam berhadapan kemudian saling menggeram. Aku sendiri tidak mengerti kenapa mereka bertengkar, apakah karena jenis mereka berbeda atau mungkin naluri kucingku sebagai pemilik wilayah ?

Yang pasti, ketika kucing-kucing bertengkar kita akan kerepotan dibuatnya. Jangankan dipisahkan dengan hardikan, disiram air pun tidak akan peduli apabila mereka sudah dibalut oleh kemurkaan. Mungkin perlu sedikit tendangan keras, atau sebuah batu untuk membubarkannya. Tapi aku sedikit bangga karena kucing liar itu dibuatnya tunggang langgang. Kucingku selalu jadi pemenangnya.

Sejak itu, aku lebih memasang mata bila ada kucing liar yang memasuki halaman rumahku, agar kejadian itu tidak terulang. Tapi dasar kucing, sudah kuawasi sedemikian rupa suatu hari kudapati kucing itu sedang mendekapi seekor burung gereja yang sudah sekarat karena digigitnya. Kucing itu ternyata mampu menangkap burung-burung itu ketika mereka lengah di tanah mencari makan.

Meskipun kucing itu sudah memakai kalung kliningan yang sengaja kupasang agar mudah kupantau gerakannya, sama sekali tidak menghalangi kehebatannya dalam menangkap mangsa. Bahkan, aku sudah memergoki kucing itu menangkap burung gereja sebanyak tiga kali. Sama sekali bukan untuk dimakan, seolah hanya untuk menunjukkan kepadaku bahwa dirinya adalah seekor pemenang walau dengan hambatan kliningan di lehernya.

Jadi, sejatinya tak ada pihak yang benar-benar lemah kalau ada umpan melintas di depan mata. Jika kucing saja mampu mengeluarkan potensi terbaiknya ketika umpan tiba, apalagi manusia. Tapi, ada manusia yang justru hanya berdiam diri saja walaupun disodori umpan setiap kali di depan hidung mereka. Termasuk diriku, pada suatu ketika ada sebuah keadaan dimana kedudukanku lebih rendah daripada kucing.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.