Bersama jajaran Manajemen dan Karyawan yang dibawahinya.

Liburan bersama keluarga

Bersama istri tercinta "Laniati Dewi".

Hidup hanya sekali...Hiduplah dengan Luar Biasa !!

Bersama manajer pelumas "Sutoyo Wijaya" salah satu divisi yang dibawahinya

Rabu, 31 Desember 2014

Hujan Itu ....


Hampir setiap hari kotaku diguyur hujan. Boleh mendung, boleh gerimis sepanjang hari, boleh hujan lebat asal tidak keterlaluan, batinku. Sepanjang hujan masih dalam batas kewajaran, pertanda alam sedang memberi kebaikan. Jika hujan sudah keterlaluan dan berlebihan, barulah diwaspadai sebagai bencana. Maka, ketika sedang memandang hujan, boleh juga kita pandang sebagai kesedihan atau kegembiraan.


Hujan bisa mengingatkan pada kegembiraan masa kecil, saat berlari-lari mengejar bola sambil basah kuyup hujan-hujanan. Yang ditendang bukan hanya bola, tapi sengaja menendang genangan air agar muncrat ke wajah lawan main kita. Betapa gembiranya, tak peduli pada kerikil menghadang dan kaki tergenang, usia kecil pun tidak jadi penghalang. Berhujan-hujanan adalah sumber kegembiraan.

Tapi hujan di usia remaja memiliki arti lain lagi. Di sini mulai ada sendu dan kesedihan, karena mulai belajar jatuh cinta dan patah hati. Menulis surat cinta dia tak membalas, bahkan selalu menghindar seperti takut kepadaku. Aku menyerah ketika memergokinya bersama pria lain, kejadiannya tepat saat hujan dan berteduh di sebuah rumah kosong. Ternyata ia sudah punya pacar, pantesan.

Di usiaku kini, hujan kupandang sebagai musuh yang kutakuti karena berhubungan dengan penyakit. Menyadari usia yang bertolak belakang dengan tingkat kebugaran, aku lebih suka menghindarinya. Tidak akan pernah kubiarkan air hujan membasahi kepalaku, karena pasti langsung pusing kepala. Padahal, bagi manusia yang sedang pusing, di dalam dirinya seperti ada bara dalam sekam.

Karena gampang meledak, ketika disulut soal-soal sepele. Godaan kejengkelan dapat merubah apa saja dalam sekejap. Gara-gara kucing kesayangan lepas karena pembantu lupa tidak menutup pintu, membuat keruh wajahku dan mengepul uap sampai ke ubun-ubun. Andai sedang tertawa gembira pun bisa berubah seketika, sungguh perubahan cuaca yang mencemaskan.

Beda lagi jika saatnya bangun pagi, hari sedang hujan, rasanya malas untuk bergerak apalagi bangun. Justru enaknya untuk tidur, sehingga menggoda untuk menarik selimut dan memejamkan mata lagi. Sambil mendengarkan gemericik hujan, menuruti rasa malas terasa nikmatnya asal tidak kebablasan jadi malas sungguhan.

Jika hujan tak juga mereda dan terus menerus sampai berhari-hari lamanya, perasaanku mulai sedih karena yang terdengar dan terlihat adalah bencana belaka. Media televisi cuma berisi pemandangan yang mengenaskan tentang ratusan orang hilang ketika tanah longsor jadi bencana. Tentang banjir di mana-mana yang jadi penderitaan bagi saudara-saudara kita dalam pengungsian.

Melihat para relawan dari berbagai kalangan bahu membahu tak kenal lelah menolong saat bencana terjadi, sungguh mengundang ketakjuban. Karena mereka adalah orang-orang yang memperlihatkan derma kebaikan secara nyata dengan peduli terhadap penderitaan sesama. Sungguh kehidupan yang bermakna. Sementara hidup yang bermakna bagiku masih berupa cita-cita dan wacana.

Banyak pribadi yang menakjubkan justru datang dari orang-orang biasa yang menjalani kehidupan sesuai dengan panggilan hidupnya. Hidup bermakna tidak harus menjadi relawan seperti mereka, tetapi kita bisa memposisikan diri sesuai dengan kemampuan dan bakat kita. Seorang kyai cukup berderma dengan dakwahnya, seorang penulis dengan tulisannya, orang kaya dengan hartanya untuk kebaikan sesama.

Hujan itu ternyata juga mengingatkan tentang hidup bermakna yang belum benar-benar kukerjakan.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 29 Desember 2014

Film Serial Drama TV


Saya bukan penggemar film serial drama di tv, karena itulah saya heran ketika melihat istri pada jam-jam tertentu sudah melotot di depan tv sambil memegangi remote tv seolah-olah takut channelnya bergeser. Celakanya, film seri harus ditonton berurutan tidak bisa sepotong-sepotong jika ingin utuh mengikuti ceritanya. Maka, kegemaran ini pasti akan menyita waktu kita cukup lama.  

Bagaimana tidak lama, satu seri bisa sampai ratusan episode. Lebih menyita waktu lagi jika menyukai film sinetron Indonesia yang entah kapan tamatnya. Sudah aktingnya kurang, jalan ceritanya mudah ditebak dan bertele-tele, kata seorang teman. Saya tidak bermaksud menghina karya bangsa sendiri, tapi itulah komentar pada umumnya atau yang sudah dibikin umum oleh kita.

Memang istri belum sampai kecanduan sedemikian rupa, tapi yang pasti selalu ada rasa ingin tahu lanjutannya setiap kali satu episode selesai. Penasaran saja maunya. Itu yang saya rasakan saat usia SD kecanduan buku cerita silat bersambung. Padahal, membaca buku silat sangat dilarang oleh ibu. Jika sampai ketahuan, berat hukumannya. Tapi namanya sudah kecanduan, melanggar saja maunya.

Kesenangan yang melanggar, jelas tindakan berbahaya. Waktu itu saya tidak pernah menyadari jika  kecanduan buku silat pun ternyata ada resiko dan ongkosnya. Resikonya dihukum karena pelajaran sekolah terganggu, sedang ongkosnya adalah membayar sewa buku setiap hari. Itu baru soal sepele, apalagi soal narkoba. Mendekam di penjara resikonya dan terkuras harta ongkosnya, sungguh amat berbahaya. 

Tapi soal kegemaran istri nonton film seri ini tidak berani saya kategorikan berbahaya karena sebagai seorang istri belum sampai merosot mutunya. Malah mungkin kegemaran saya membaca buku dan menulis yang nyaris setiap malam saya lakukan telah menurunkan mutu saya sebagai seorang suami. Oleh karena itu, sudah sepantasnya saya hormati kegemarannya itu, supaya kegemaran saya juga dihormati. 

Yang menggemari film serial drama asing ternyata bukan cuma istri saya saja tapi cukup banyak di negeri ini. Itulah kenapa banyak saluran tv kita yang berebut memutarnya. Karena ternyata banyak orang kita yang haus akan film bermutu tapi kecewa dengan mutu film bangsanya sendiri. Jadilah film-film seperti drama Korea menghiasi acara tv kita.

Bahkan gara-gara film seri korea, banyak orang Indonesia berbondong-bondong pergi berwisata ke Korea. Demikian hebat pengaruhnya terhadap kita para penontonnya sehingga sampai mau keluar biaya menghamburkan devisa. Maka, ketika film-film serial asing itu sedang ditayangkan di tv kita, saya hanya bisa berfantasi, mestinya film sinetron kita juga ditayangkan di seluruh dunia.

Saya pikir karena betapa banyak dari kita ini yang berkonsentrasi pada prestasi orang lain dan suka menjadi penonton. Orang lain yang balapan, kita yang teriak-teriak di pinggir jalan. Orang lain yang lomba nyanyi, kita yang menghabiskan pulsa mengirimkan sms. Sudah harus rugi waktu, tenaga dan biaya, masih harus berduka ketika orang lain itu kalah. Ketika ia menang, kita ikut gembira padahal tidak ikut dapat apa-apa.

Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari, jika kita hanya sibuk menjadi penonton maka kita tidak memperoleh apa-apa. Ketika orang lain sibuk balapan, mestinya kita juga ngebut dengan pekerjaan kita sendiri. Ketika orang lain sedang lomba, mestinya kita juga berusaha memenangkan target kita. Jadi, sekali waktu kita bisa menyoraki diri sendiri dan bergembira karena prestasi kita sendiri.
  
Pasti tidak keliru jika kita turuti nasihat pakar sukses, “ Jadilah pemain, jangan cuma jadi penonton.”


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Jumat, 26 Desember 2014

Sms Natal



Suasana Natal masih kental terasa, tampak dari banyaknya sms ucapan teman, sahabat dari berbagai kalangan terhadap umat nasrani yang merayakannya, termasuk saya. Hampir semua orang, baik tua muda dan anak-anak sekarang memiliki hp, sehingga komunikasi jarak jauh begitu murah dan begitu mudahnya hanya butuh sekian pencetan. Tidak peduli di mana pun kita berada, sekali pencet sudah menjangkau ke seluruh dunia. 

Di sini belum malam Natal, balas seorang teman di Amerika dalam hitungan menit. Saya lupa kalau waktu di sini dengan California selisihnya hampir 14 jam. Selamat Natal ya, kami sedang berlibur bersama keluarga di Korea, balas teman yang lain. Saya tahu bilamana dia hanya bercanda dengan guyonannya yang khas, karena kampung halamannya memang di Korea, Kroya tepatnya.

Karena begitu murah dan mudahnya cara ini, sehingga kita menjadi sering melakukannya. Karena sering maka akhirnya menyita sebagian besar waktu kita. Sebentar-sebentar sms, bahkan di dalam rumah antar ruangan juga kadang malas bangun dan saling bertegur sapa, karena masing-masing sibuk dengan keasyikannya. Tidak aneh kalau kita sering melihat dalam satu keluarga, suami mencet, istri mencet, anak mencet bahkan pembantu sibuk mencetin hp.

Lupa sudah kita, pada orang atau saudara yang berada di depan mata, maka ada istilah bahwa hp itu mendekatkan yang jauh tapi menjauhkan yang dekat. Jadi, meskipun kita saling berhadapan, belum tentu kita saling berkomunikasi dengan baik. Susah-susah bertemu muka, tapi hanya menghabiskan waktu untuk saling pencet bagi seseorang yang jauh dan tidak berada di hadapan kita.

Pada dasarnya, sms ucapan ada dua jenis. Yang pertama adalah personal atau pribadi, yang benar-benar khusus ditujukan bagi kita dengan menyebut nama kita sebagai penerima, sedangkan jenis yang kedua adalah sms general, hasil duplikat, copy paste atau malah broadcast belaka. Untuk yang jenis pertama, tentu dengan senang hati saya juga membalasnya dengan mengetikkan satu per satu kalimatnya.

Karena pasti mereka sedang mengingatku ketika mengirimkannya. Maka, sudah menjadi kewajiban kita untuk menghargai kebaikan hati mereka. Kita merasa tersanjung karenanya. mereka mencintai kita dan kita pun harus mencintai mereka. Jika ucapan yang saya terima adalah ucapan yang dikirim ke banyak orang tanpa menyebut nama, cintanya jadi kurang berarti, karena tak ada lagi kekhususan pada siapa. Sekali pencet ke semua kontak di hp kita.

Maka, menghadapi jenis yang kedua kadang saya biarkan beberapa lama tak langsung meresponnya dan ketika ada waktu senggang baru menjawabnya. Meskipun begitu tidak ada rasa bersalah ketika lupa tidak menjawabnya. Unsur ‘saya’ telah menjadi tidak penting lagi, karena ucapan sms itu dapat ditujukan kepada siapa saja, ke semua pihak. Sms yang saya terima itu bisa juga sampai kepada Anda sama persis karena berupa terusan atau copy paste tanpa harus menulisnya.

Itulah kenapa bahagia sekali rasanya jika diantara banyaknya sms ucapan yang masuk terselip nama kita di dalamnya. Ada sms yang khusus untuk kita, kenal baik dengan kita, ia dekat dan penuh cinta. Itulah sms yang selalu menggoda kita untuk segera membalasnya, sesibuk apapun diri kita. Dengan hanya menambahkan nama yang tak seberapa, silaturahmi jarak jauh kita dengan saudara, sahabat dan teman-teman akan selalu penuh dengan cinta.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 22 Desember 2014

Kedatangan Cucu di Rumahku


Cucuku ada dua orang, tapi keduanya belum pernah datang ke rumahku karena keduanya masih kecil dan belum pernah diajak bepergian ke luar kota. Selama ini, aku yang mengalah ke sana jika kangen terhadap mereka. Maka, mendengar berita salah satu cucu akan datang membuat hatiku gembira setengah mati, lebih gembira daripada didatangi seorang presiden.


Perabotan di rumah ditata lebih rapi dari biasanya. Rumah pun dibersihkan. Barang-barang, buku-buku, dokumen yang biasanya berada di meja tanpa seorangpun berani memindahkannya, kali ini terpaksa kurelakan diungsikan ke lemari. Istriku sibuk mempersiapkan semuanya, dari mulai beres-beres kamar sampai menyediakan tempat plastik besar untuk mandi bayi.

Maklum, sudah terlalu lama rumah ini sepi dari kehadiran seorang bayi sehingga kedatangan cucuku  menjadi peristiwa yang istimewa. Semua acara dibatalkan, tidak ada yang lebih penting dari soal ini. Berbagai jenis jajanan disiapkan memenuhi meja. Kami lupa jika cucu ini baru berusia lima bulan dan belum boleh makan sama orang tuanya kecuali minum susu saja. Tapi, meskipun cuma minum susu, sehat, gendut, dan lucunya luar biasa.

Usianya baru lima bulan, tapi beratnya hampir sembilan kilo. Tanganku terasa pegal belaka setelah mencoba menggendongnya, padahal belum sampai bilangan jam lamanya. Baru sebentar saja aku sudah mengeluh, padahal ini pasti bukan pekerjaan sulit, hanya kurang terbiasa. Otot-ototku pasti kurang aktif terlatih sehingga terkejut terhadap beban karena tak pernah berlatih olah raga.

Begitu juga dengan pikiran dan hati. Semua tergantung pada pelatihan. Jika semakin sering dilatih, pikiran dan hati pun akan semakin aktif. Rasa iri misalnya, adalah jenis perasaan yang sangat sering mendapat pelatihan, maka hasilnya pun dapat ditebak.  Ketika mendengar keberhasilan anak orang lain melebihi anak sendiri, keirian adalah perasaan yang muncul sebagai awal permulaan.

Asalkan keirian yang timbul bukan berawal dari niat jahat kita, tentu masih bisa dikendalikan, karena hanya berupa spontanitas sebagai dampak dari kebiasaan. Kalau cuma karena kebiasaan, berarti kita juga dapat melatih spontanitas tandingan. Semuanya bisa dibangun dengan melakukan latihan agar menjadi kebiasaan baru yang berlawanan. Dari iri dengki menjadi gembira.

Melatih kebiasaan baru pasti sulit. Cobalah berlatih menikmati minum kopi tanpa gula sedikitpun. Kita yang terbiasa minum kopi dengan gula mungkin akan merasa ketidakenakan dan pahit, bahkan mungkin sulit menelannya. Tapi bersabarlah, tunggu beberapa pekan sampai kita terbiasa melawan ketidakenakan itu. Kita akan tertegun mendapat kebiasaan baru, minum kopi pahit tanpa gula.

Maka, cobalah bergembira saat mendengar keberhasilan orang lain atau melihat kegembiraan orang lain. Awalnya pasti sulit, tapi dengan memaksa diri pasti bisa. Paksa supaya kegembiraan itu muncul kalau perlu dengan segala cara. Kalau perlu dengan menyanyi-nyanyi, menari-nari, atau apapun yang perlu dilakukan sampai benar-benar gembira. 

Sayang sekali cucuku cuma sebentar di rumahku jika tidak, tentu aku akan terbiasa dengan beratnya dan tanganku tidak akan pegal lagi saat menggendongnya. Seperti kini aku tidak pernah iri lagi ketika mendengar keberhasilan orang lain berkat latihan yang terus menerus kuupayakan. Gembira melihat keberhasilan orang lain ternyata bisa membuatku bergembira karena sudah terbiasa.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Kamis, 18 Desember 2014

Listrik Padam


Ketergantungan saya sama listrik luar biasa, terutama setelah menjelang malam ketika listrik benar-benar sangat dibutuhkan. Maka, ketika tiba-tiba listrik di rumah padam, saya kebingungan setengah mati. Reaksi pertama saya adalah menghubungi pihak gangguan PLN, mau padam berapa lama. Tapi, biasanya tidak terlalu mudah dihubungi, sering cuma nada sibuk belaka.

Jadi, kalau mati listrik yang mendadak seperti malam ini tanpa kepastian berapa lamanya, cuma bisa kesal saja. Mau bertanya tak ada yang menjawab, mau menunggu entah sampai jam berapa. Bahkan mau mandi juga tidak bisa, karena air tak mengalir melalui sistim yang ada di rumah saya. Sistim ini bagus, pancaran air merata di setiap titik selama ada listrik. Tanpa listrik, air pun tiada.

Gelapnya malam tak jadi soal, masih ada lampu led pakai batere yang tahan berjam-jam. Sayangnya, kalau gelap nyamuk semakin meraja lela. Padahal, saya paling anti nyamuk. Sudah gelap, belum bisa mandi, gatal karena nyamuk, lengkap sudah penderitaan saya. O, masih ada yang terlupa, tidak bisa juga buat kopi, karena kompor gas tidak berfungsi jika tanpa listrik.

Jika sudah begini baru ingat genset yang tidak terpasang lagi sejak rumah saya direnovasi tiga tahun lalu. Karena menambah daya listrik, kapasitas genset yang lalu terlampau kecil sehingga harus ganti yang  lebih besar. Karena dianggap tidak penting, maka terabaikan. Persis seperti ingat ke dokter gigi hanya ketika gigi terasa sakit. Begitu sakitnya hilang, lenyap pula keinginan mencabut gigi.

Jelas sekali watak saya yang suka meremehkan soal penting. Jelas pula kelakuan saya yang suka kesal dan tidak sabaran karena soal remeh. Pekerjaan menunggu memang menguji kesabaran, apalagi jika menunggu tanpa kepastian. Kita harus bisa berdamai dengan keadaan, sebab di situ mutu watak kita diuji. Itulah mengapa saya kagum dengan orang-orang yang sabar menunggu. 

Saya pernah kagum pada seorang tukang tambal ban. Ketika dia tidak ada kerjaan, kegiatannya tak ada selain memandang kejauhan, pikirannya kosong dan menerawang. Mungkin banyak yang sedang dia pikirkan, tapi satu yang pasti, datangnya ban bocor adalah soal yang paling dibayangkan. Kalau faktanya orang ini sudah bertahun-tahun menjalani profesinya, berarti setiap hari selalu ada ban yang dibocorkan keadaan hanya untuk memberi rejeki padanya.

Tapi kalau dalam menunggu, tukang tambal ini menabur-naburkan paku di jalan untuk mendapatkan rejeki, lain lagi persoalannya. Sama dengan kaum pedagang yang sambil menunggu dagangannya laku menjatuhkan saingannya atau bahkan menyabotase usahanya. Atau seorang calon kandidat yang melakukan kampanye hitam terhadap pesaingnya. Mereka adalah orang-orang yang rendah mutunya.

Demikian pula saya, tak ubahnya dengan mereka jika dalam menunggu listrik nyala kembali, rendah dalam berperilaku. Sebaiknya situasi listrik padam ini saya sambut dengan gembira, karena ternyata saya jadi dapat menerawang kegelapan dalam menunggu. Kegelapan yang seringkali saya butuhkan ketika berdialog secara merdeka antara manusia dengan keterbatasannya.

Ternyata, dalam listrik padam pun tersedia ujian bagi mutu kita sebagai manusia.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.


Selasa, 16 Desember 2014

Musibah Paku Itu (2)


Judul tulisan ini sebenarnya tidak kurencanakan sama sekali karena kupikir episode musibah paku itu sudah selesai setelah pertolongan dokter rumah sakit waktu itu. Namun, setelah dua minggu kakiku ternyata masih bengkak tak kunjung sembuh juga, maka aku mulai menaruh curiga. Curiga kalau luka luarnya bagus, tapi di dalamnya terjadi infeksi. 

Maka, ketika keluhanku ditanggapi oleh dokter itu dengan mengatakan tidak apa-apa, aku pun tetap curiga. Karena curigaku sudah menjelma menjadi rasa takut. Takut membayangkan akibat infeksi jika diabaikan. Soal keahlianku membayangkan sudah tidak perlu diragukan, mulai bayangan yang paling sepele, sampai yang paling mengerikan. Dari mulai amputasi pergelangan kaki hingga infeksi sampai ke jantung.

Karena itulah aku menurut saja ketika dokter lain yang kudatangi, menganjurkan sebaiknya telapak kakiku dioperasi saja untuk memastikan lukanya benar-benar bersih. Sesungguhnya pilihan ini sama sekali tidak kuinginkan, karena nyaliku juga tak seberapa. Membayangkan tiga lubang di kaki dibelek kemudian dikurek, sakitnya sudah sampai ke ubun-ubunku. 

Selain sakit yang harus kuhadapi, aku pun harus mau menginap di rumah sakit, tempat yang sedari dulu ingin kuhindari. Baunya rumah sakit saja sudah memualkanku, apalagi harus terkapar di kamar itu. Jadi, meskipun sudah memilih ruangan yang terbaik di situ tidak melenyapkan kemualanku. Tidur di kamar hotel paling mewah pun tidak senyaman tidur di kamar rumah sendiri.

Memandang rumah sendiri, seperti memandang diri sendiri. Sebagaimana diriku, lengkap dengan kelebihan dan kekuranganku. Ia menggambarkan betul bagaimana watakku. Rumahku yang tidak pernah rapi, barang-barang yang letaknya serba sembarangan. Itu baru barang-barangku padahal di rumah ini tidak cuma barang pribadi, ada pula barang istri dan anakku.

Tidak usah melihat ke seluruh penjuru rumahku, di mejaku saja sudah berantakan sedemikian rupa. Ada puluhan tumpukan buku, karena buku yang satu belum rampung kubaca, sudah kubeli buku-buku yang baru. Baru soal buku saja sudah jadi barang yang mengganggu pemandangan. Saat ada tamu datang tiba-tiba, harus kalang kabut merapikannya.

Padahal tidak cuma tata letak, ada dinding tembok yang berpanu karena jamur. Ada pula kaca yang setiap hujan juga bocor melulu. Persis seperti dokter yang pertama mengobati lukaku, pemborong rumahku juga mungkin kurang ilmu sehingga hasilnya seperti itu. Sudah kupanggilkan beberapa ahli tetap tidak teratasi. Daripada senewen memikirkannya, kunikmati saja kenyataan itu.

Begitulah kenyataan hidupku. Kuhadapi kenyataan ini dengan gembira, karena konon katanya hidup yang sempurna adalah hidup yang lengkap dengan kesalahan. Di situ, tak hanya kesalahan-kesalahan hidupku saja, tetapi juga ada anak-istriku. Di dalam rumah yang tidak sempurna itulah, aku bersama mereka menjalani hidup ini dengan tentram dan gembira.

Itulah kenapa semalam di rumah sakit rasanya begitu lama. Ingin segera pulang ke rumah, melihat tembok yang berpanu, barang yang berserakan, bocoran ketika hujan deras dan wc yang tak cukup digontor sekali karena kurang lancar. Tempat yang paling menentramkan buatku, selain di surga.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Jumat, 12 Desember 2014

Oseng Kangkung


Mungkin kurang bermutu, kalau saya mengatakan bahwa setiap kali melihat oseng kangkung selalu terbersit perasaan tertentu. Tapi itulah kenyataan yang saya hadapi. Padahal, paling tidak seminggu sekali atau dua kali oseng ini juga tersedia di meja makan. Maka, sebanyak itu pula saya mengalami perasaan itu. Walau pun kejadiannya sudah puluhan tahun yang lalu, namun kisah soal oseng tetap menjadi kenangan tersendiri.

Saya pernah merantau jauh dari rumah, tak punya uang dan pekerjaan waktu itu, dan hanya bisa makan nasi ditemani oseng kangkung. Itupun berkat kebaikan seorang sahabat yang bersedia menampung dan memberi makan selama beberapa waktu. Namun sayang, orang itu telah pergi sebelum saya sempat membalas budi kebaikannya. 

Teman saya tidak kaya, kerjanya cuma sopir, tinggal di rumah kontrakan yang kecil sehingga wajar saja jika setiap hari hanya menyediakan oseng kangkung sebagai lauk. Namun oseng buatan istrinya bukan sembarang oseng. Selain enak sekali karena lengkap dengan petai dan tempe bosok, juga ada ketulusan pertemanan di dalamnya. 

Baginya, perbuatan seperti itu mungkin tak pernah diingatnya. Apalah artinya memberi makan satu orang dan tempat bernaung sekadarnya, tapi tidak bagi seseorang yang sedang terpuruk. Tidak mudah melupakan peristiwa itu. Maka, memandang oseng itu selalu membawa sensasi tertentu.  Ada kepahitan dan penderitaan di situ tapi ada rasa bersyukur karena saya telah bisa melewatinya.

Kita pasti sepakat soal makan akan lebih nikmat ketika lapar atau minum akan terasa melegakan saat kita haus. Maka, bagi orang yang tidak pernah menderita, sebenarnya bagaikan orang yang telah kehilangan separuh kebahagiaannya. Mari kita percayai bahwa segala kepahitan dan penderitaan hidup adalah awal dari sebuah kebahagiaan. Ini pendapat saya bukan mengada-ada, tetapi sesuai dengan pepatah, berakit-rakit dahulu berenang ke tepian. 

Ternyata seluruh penderitaan itu cuma modal bagi saya agar bisa membeli makanan apa saja yang saya inginkan. Karena punya uang, maka saya bisa membeli dengan bebas kapan saja. Perasaan bebas itu luar biasa. Dan bebas itu baru terasa berharga di dalam benak orang yang pernah terjajah hidupnya. Itu baru soal makan, belum soal-soal yang lain. 

Dulu tinggal di rumah kontrakan, sekarang punya rumah sendiri. Di rumah kita sendiri tentu bebas mau berbuat apa saja. Dulu cuma bisa nebeng atau naik angkot, kini punya kendaraan sendiri. Kita bebas pergi kapan dan kemana saja. Jadi, pengalaman yang pernah saya alami ternyata hanya bekal untuk menatap kepahitan hidup secara berbeda. 

Karena itulah syarat yang dibutuhkan untuk dapat menikmati kebahagiaan secara lengkap bila kelak tiba waktunya. Tak perlu merisaukan apakah bayangan yang di sana akan sampai ke pada kita atau tidak. Selama bayangan itu ada, pasti menghadirkan harapan. Maka, jika kita selalu berpengharapan dalam hidup, kita tidak akan keliru.

Dulu saya pernah keliru, memandang oseng kangkung sebagai salah satu musibah terbesar dalam kehidupan saya. Berpuluh tahun kemudian, pandangan saya berubah. Ternyata, musibah itu tidak lebih cuma kebahagiaan yang tertunda.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.


Rabu, 10 Desember 2014

Anak-anak Saya


Melihat prestasi gemilang pecatur-pecatur Junior Jawa Tengah akhir-akhir ini kebahagiaan saya sulit diungkapkan kalau cuma dengan kata-kata. Walaupun mereka semua bukan anak kandung tapi saya tetap merasa bangga seperti anak-anak saya sendiri. Prestasi anak pasti selalu membanggakan orang tua. Sesama orang tua tentu saya mampu membayangkan bagaimana perasaan mereka yang benar-benar menjadi orang tua kandungnya.


Sepanjang bicara soal anak, tentu kita memiliki keinginan yang sama, yaitu ingin anak kita sukses dan bahagia melebihi kita. Soal sekolah misalnya, anak-anak saya harus sekolah setinggi-tingginya, tidak boleh bodoh seperti bapaknya yang cuma lulus sma. Kalau ada yang melihat embel-embel gelar MP di belakang nama saya, itu cuma gelar catur singkatan dari master percasi, sama sekali bukan karena kepandaian di sekolah.

Dalam soal beribadah, anak-anak juga harus mendapatkan pelajaran agama sedari kecil agar rajin dan taat beribadah. Orang tuanya sudah kepalang rusak dan nakal selagi muda, anak jangan sampai mengikuti jejaknya. Jika kita bicara masa depan, cukup bapaknya saja yang boleh hidup miskin dan sengsara, sedangkan anak-anak harus terjamin masa depannya.

Membayangkan anak harus menderita seperti yang kita alami dahulu adalah bayangan mengerikan. Membiarkan anak mengalami kebodohan yang sama dengan kebodohan yang menimpa kita adalah tindakan jahat. Pendek kata, generasi penerus harus jadi generasi yang baru, bebas dari semua penderitaan yang pernah kita alami. Bahkan, kalau bisa meneruskan cita-cita bapaknya yang belum tercapai. Termasuk soal kegemaran atau hobi orang tuanya.

Maka tidak heran jika seorang bapak yang gemar main bola menginginkan anaknya dapat menjadi pemain bola yang sukses dan terkenal. Saya sendiri juga tertulari keinginan yang sama. Karena saya mencintai olah raga catur, maka ketika anak sulung saya berusia tiga tahun, sudah mulai saya ajari main catur. Namun, ternyata saya kurang berhasil membuatnya meminati bidang itu.

Mendidik anak sendiri ternyata tidaklah mudah. Berapa banyak guru yang sehari-hari mengajar anak orang menjadi berbudi pekerti, tetapi anak sendiri malah bandel. Menjadikan murid pandai, tetapi anak sendiri tetap bodoh. Jawabannya bisa bermacam-macam, tapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini. Hanya soal kegagalan saya membuat anak menyukai hobi bapaknya.

Bukannya saya membuat anak suka, malah membuatnya tertekan dan terpaksa mengikuti kemauan bapaknya main catur. Maka, akalnya seperti tertatih-tatih bekerja sama dengan mentalnya setiap kali melakukannya. Pas giliran melangkah hanya berdiam diri, dan ketika saya ajari untuk memakan kudanya, tampak dia melirik mengerti dan saya tersenyum mengangguk. 

Lalu dia mengambil kuda saya dari papan dan astaga, ternyata dimasukkan ke mulutnya yang mungil. Benar-benar dimakan, bukan dimakan dalam artian permainan catur. Rupanya anak saya menderita dan menjadi korban tekanan kehendak bapaknya sehingga tak lagi bisa berpikir jernih. Sejak itu saya berhenti mengajarinya main catur, walaupun bertentangan dengan keinginan saya soal anak. 

Saya tidak tahu apakah keinginan itu sudah menjadi doa. Karena sekarang, dua puluh delapan tahun kemudian, saya diberi amanah membina dan mengarahkan anak-anak main catur dengan menjadi Ketua Percasi Jawa Tengah. Tuhan memberi saya banyak, bukan cuma seorang anak, tapi anak-anak se provinsi Jawa Tengah ! Mari kita setuju, jika keinginan itu bisa menjadi doa. Maka, berhati-hatilah dengan keinginan kita, utamakan kebaikan karena Tuhan Maha Memberi. 

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.


Senin, 08 Desember 2014

Musibah Paku Itu


Bukan kepalang sakitnya telapak kakiku ketika tiba-tiba menginjak paku hingga tembus cukup dalam meski telah beralaskan sandal tebal. Seketika tubuhku tumbang ke tanah, dunia serasa berputar dan terasa gelap dan hanya bisa mengaduh kesakitan. Tak mampu kubayangkan jika aku tidak bersandal. Bisa-bisa tembus dari telapak sampai ke atas seperti disate karena pakunya panjang sekali. 

Namun, sebelum tumbang aku sempat melihat tiga buah paku yang melubangi kakiku benar-benar berwarna hitam dan berkarat sempurna. Jadi, selain sakit yang harus kutanggung, cemas dan takut juga menjadi tanggungan tersendiri. Bahkan, sempat kubayangkan tubuhku kejang-kejang karena tetanus, kalau tidak segera diobati dengan benar.

Maka, segera kurelakan diriku menjadi orang yang tak berdaya ketika diangkut ke rumah sakit dan telapak kakiku entah diapakan oleh perawat itu. Ketika perawat itu mengatakan harus disuntik dua kali, yang satu untuk anti tetanus dan satunya lagi untuk penghilang rasa sakit, kusetujui tanpa basa basi. Demi tidak mati konyol karena tetanus, puluhan kali disuntik pun aku bersedia, batinku.

Bahkan, saking sakit dan kacaunya pikiranku, menangis keras di depan orang tidak malu kulakukan. Tapi, sambil menangis dan terbaring di ruang UGD, aku tetap berusaha mengendalikan pikiranku. Sempat terlintas, kesialan ini kuperoleh akibat suatu perbuatan buruk yang telah kulakukan. Naluriku untuk membuat kalkulasi semacam itu entah kenapa sering muncul sebagai godaan. 

Ketika aku tiba-tiba mendapat kejutan rejeki, aku pun mulai menimbang-nimbang perbuatan baik yang pernah kulakukan. Barangkali karena aku jarang berbuat jahat kepada tetangga. Barangkali karena aku selalu menyisihkan penghasilan untuk kegiatan sosial, membantu saudara-saudara yang kesulitan. Terus menduga-duga perbuatan-perbuatan mulia yang kutengarai kenapa Tuhan begitu menyayangiku.

Pendapat teman juga berbeda-beda ketika kuceritakan kalkulasiku tentang musibah paku sialan itu. Sebagian mengatakan kalau aku ceroboh, tidak hati-hati atau kurang tidur karena kejadiannya juga ketika matahari belum menampakkan sinarnya. Bahkan ada yang cuma bercanda, kalau tidak keliru baca mantra pasti pakunya yang bengkok semua. Tapi ada pula yang serius, kalau itu urusan yang di atas, katanya.

Jika dipikir-pikir memang benar, jelas hanya yang di atas yang memiliki kewenangan penuh untuk menimbang salah benar, baik buruk, dosa atau pahala, bukan kewenangan kita, manusia. Tidak hanya soal itu, kita pun tidak punya kemampuan untuk menyingkap rahasia alam semesta yang serba misterius. Tapi, ketiadaan wewenang atau kemampuan itu, tak membuat manusia berhenti berkalkulasi.

Karena ternyata watak dasar manusia adalah memang berpikir seperti itu. Kita senang melakukan identifikasi, bandingan-bandingan dan selalu bercermin pada fenomena yang terjadi di sekitar kita. Tulisan-tulisan ini juga dibuat untuk tujuan bercermin tentang siapa diri kita dan siapa diri orang lain, sebagai pelajaran sehingga kita bisa meningkatkan mutu kita sebagai manusia. 

Pelajaran yang tak pernah ada habisnya, termasuk belajar dari musibah paku itu. Mari kita sepakat dengan segenap kebodohan kita sebagai manusia bahwa itu adalah benar-benar murni kecelakaan.  Maka, paling tidak aku belajar untuk mensyukuri apapun yang terjadi. Untung sandalnya tebal !

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Kamis, 04 Desember 2014

Barang Pinjaman


Manusia memang sering salah menganggap barang pinjaman sebagai miliknya. Ketika pinjaman itu diambil kembali oleh pemiliknya, yang tersisa hanyalah rasa kehilangan. Yang sering membuat luka di hati kita, bahkan di jiwa kita. Kita acap kali lupa bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah barang titipan atau barang pinjaman dan semuanya itu milik Sang Maha Pencipta belaka.


Demikian pula ketika adik kandung saya dipanggil olehNya hari Senin yang lalu, ada rasa marah, rasa sesal bahkan luka yang mendalam karena merasa kehilangan. Perasaan kehilangan saya sebagai kakak saja telah sedemikian hebatnya, apalagi perasaan ibu saya yang terluka kehilangan putranya. Mungkin, kalau saja boleh, bertukar nyawa pun pasti akan dilakukannya.

Mungkin terlalu serius jika yang kita bicara soal nyawa. Dalam soal barang lain, begitu kita dipinjami dalam jangka waktu yang lama maka barang itu rasanya telah menjadi milik kita. Contoh, ketika kita membiarkan orang lain menempati lahan kita tanpa menyewa karena iba, akan jadi persoalan yang rumit setelah mereka lama menempati. Karena untuk mengusirnya, pemilik tanah harus membayar ganti rugi, atau malah berseteru sebagai musuh melalui pengacara.

Dalam kasus pinjam meminjam, betapa banyak yang berakhir dengan luka. Seorang teman penulis yang biasa mengisi suatu kolom di sebuah media selama bertahun-tahun, kepalanya mengepulkan uap kejengkelan ketika tiba-tiba kolom itu diisi oleh tulisan orang lain. Kalau sudah tak memakaiku lagi, bukan begini caranya, keluhnya sambil bersungut-sungut. Kolom itu seakan-akan sudah menjadi miliknya.

Mungkin media itu mulai bosan dan menginginkan perubahan tetapi lebih memilih cara itu daripada terang-terangan memecatnya. Demikian juga dalam dunia kerja, betapa beratnya menggunakan kata ‘pecat’ bagi karyawan yang sudah tidak diinginkan oleh perusahaan entah karena penyakit tua, atau tergusurnya keahlian, kebutuhan dan sebagainya.

Jangan dikira memberhentikan sopir pribadi yang sudah lama itu mudah. Ketika matanya mulai tidak awas dan fisiknya mulai renta, tentu refleknya berkurang. Keterampilannya juga terancam dengan keluarnya mobil-mobil baru berteknologi canggih yang membutuhkan kemampuan lebih. Jika kita masih mengijinkannya mengemudi jelas sebuah tindakan berbahaya.
  
Ketika dipinjami secara teratur, kita merasa mendapatkan kepastian hidup. Semakin lama kita semakin menikmati perasaan ini, sehingga yang awalnya hanya ‘merasa pasti’ menjadi benar-benar ‘pasti’. Lalu mulai berani mengambil skala prioritas. Tapi, ketika kenyataan melempar kita kembali sebagai peminjam, yang muncul adalah kemarahan, kekecewaan. Perasaan memiliki memang bisa menjadi biang persoalan dan sumber keangkuhan.

Keangkuhan yang membuat kita lupa pada hakikat kehidupan bahwa semua yang kita miliki hanya barang pinjaman yang sifatnya sementara, yang tak pernah akan kita bawa mati. Tapi kenapa kadang kita dipinjami begitu lama ? Saya juga tidak tahu jawabannya. Tapi, konon katanya hanya orang yang kehilangan yang akan mendapatkan ganti. Katanya.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.