Bersama jajaran Manajemen dan Karyawan yang dibawahinya.

Liburan bersama keluarga

Bersama istri tercinta "Laniati Dewi".

Hidup hanya sekali...Hiduplah dengan Luar Biasa !!

Bersama manajer pelumas "Sutoyo Wijaya" salah satu divisi yang dibawahinya

Sabtu, 08 Agustus 2015

PENGUMUMAN

Kepada para penggemar artikel blog hidup luar biasa yang saya cintai, 

Berhubung karena sesuatu hal, sementara artikel-artikel baru belum dapat saya tayangkan lagi, tapi saya masih menulis cerita-cerita inspirasi dalam bentuk tulisan pendek setiap hari di halaman facebook saya. Jika Anda berkenan untuk terus mengikuti tulisan dan coretan saya, silahkan add facebook saya : Handojo Wibowo atau melalui email saya dwib2001@yahoo.com

Atas ketidaknyamanan ini, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Salam sukses, hidup luar biasa.

Jumat, 05 Juni 2015

Kemalasan


Semakin lama tidak menulis, semakin malas untuk menulis. Itu yang sedang saya alami akhir-akhir ini. Awal-awal mulai menulis, saya begitu giat menghasilkan tulisan. Sekarang godaan untuk tidak menulis makin meningkat. Dari setiap hari, lalu seminggu dua tiga kali dan saat ini sudah lebih dari seminggu absen menulis. Bisa saja saya beralasan karena pekerjaaan semakin sibuk dan semakin banyak yang dipikirkan. Namun yang pasti ada kemalasan di dalamnya.

Kemalasan memang dapat menghinggapi siapa saja, termasuk saya. Mungkin tingkat kemalasan saya bahkan cukup tinggi. Kalau saya tampak rajin bekerja, sesungguhnya itu hanya terpaksa karena kalau saya tidak rajin bekerja mungkin bisnis saya mengalami kemunduran. Jika saya terlihat bekerja keras mungkin juga karena adanya berbagai tekanan dari tanggung jawab yang semakin besar.

Karena tekanan-tekanan itulah maka saya butuh beristirahat sejenak dengan bermalas-malasan asal masih dalam batas kewajaran. Biarpun saya malas menulis saya masih giat membaca buku. Jadi tidak seluruhnya berisi kemalasan, hanya masalah prioritas, mana yang dipentingkan dan mana yang tidak terlalu saya pentingkan.

Mungkin karena ada soal yang lebih penting yang sedang saya pikirkan sehingga yang tadinya nomor satu menjadi nomor sekian. Fokus pada yang satu, yang lain jadi mengabur. Hidup dengan satu fokus ada kalanya penting. Tapi ternyata memfokuskan yang satu tidak berarti boleh mengaburkan yang lain. Mementingkan yang satu tidak boleh meremehkan yang lain.



Apalagi banyak orang tidak percaya jika saya orang yang malas. Terbukti waktu saya menulis status soal malas di media sosial, banyak yang tidak percaya. Itu pasti karena kesan yang saya peragakan selama ini, tidak mencerminkan kemalasan. Padahal, yang namanya kesan walaupun kadang bisa mewakili kenyataan, ia tak selalu berarti kenyataan. 

Saya pasti dikesankan rajin dan penuh semangat, sehingga orang tidak percaya jika saya juga sering malas. Seeorang yang dikesankan pintar, belum tentu benar-benar pintar. Dikesankan mulia, belum tentu benar-benar mulia. Mungkin juga saya dikesankan sebagai orang pintar dan mulia, padahal pintar dan mulia sekali sebetulnya juga tidak. Saya tahu persis siapa diri saya.

Tetapi berusaha ingin dikesankan yang positif dan baik-baik seperti itu memang saya akui. Saya lebih memilih dikesankan sebagai orang pintar daripada yang bodoh. Karena untuk mendapat kesan pintar di dalamnya ada usaha-usaha menuju pintar. Karena ingin dikesankan pintar maka ada usaha-usaha untuk melawan kebodohan, misalnya dengan rajin belajar.

Cara seperti itulah yang saya lakukan untuk memperoleh kesan yang baik selama ini. Pada mulanya mungkin saya terpaksa, lama-lama menjadi terbiasa. Dengan membiasakan diri pada soal-soal yang baik maka kesan baik itu akhirnya dirasakan oleh sebagian kalangan. Berawal dari terpaksa akhirnya menjadi kebiasaan dan siapa tahu dari mulanya kesan akan mendekati kebaikan yang dikesankan. 

Jadi, kesan itu penting. Dengan memperoleh kesan yang baik, maka kesan-kesan yang buruk tentu akan menjauh. Seperti ketika saya menyampaikan soal tentang kemalasan yang sedang saya alami ternyata sama sekali tidak mengesankan sebagai pemalas. Tapi kesan apapun takkan berarti tanpa kenyataan. Memperbesar kesan kebaikan kemudian mewujudkannya menjadi kenyataan, itu yang harus kita lakukan.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Selasa, 26 Mei 2015

Wajib Hadir


Jujur saya terkejut ketika mengetahui bahwa tim saya membuat pengumuman dengan embel-embel wajib hadir untuk acara motivasi karyawan sendiri yang berlangsung hari Rabu malam di hotel Tiga Intan Cilacap. Tim mungkin khawatir acara di malam itu kurang sukses kalau karyawan tidak banyak yang datang, padahal kantor sudah mengeluarkan biaya besar untuk sewa gedung dan konsumsi. 

Sebagai pimpinan tentu saya menginginkan seluruh karyawan mempunyai kesadaran diri untuk hadir demi kebaikan dan kemajuan. Jadi, soal wajib hadir itu jelas berlawanan dengan kehendak saya yang menginginkan mereka bersedia datang dengan suka rela bukan karena terpaksa. Meskipun acara itu sendiri berlangsung sukses, karena peserta yang hadir ternyata melebihi jumlah kursi yang tersedia.

Itu jika saya lihat dari sudut seorang pimpinan. Tapi jika saya lihat dari sudut sebagai motivator, soal jumlah peserta yang membludak, merupakan soal yang menggembirakan. Apalagi jika acara itu tidak gratis alias berbayar. Bayangkan saja jika harga tiket lima ratus ribu rupiah per orang dan pesertanya malam itu sekitar seratus delapan puluh orang.

Maka membayangkan penghasilan motivator yang sudah terkenal dan harga tiketnya sampai jutaan rupiah hanya menimbulkan rasa iri. Bukan iri karena jumlah uang yang dihasilkannya, tapi iri karena sudah memasang harga mahal pun masih berjubel peminatnya. Artinya memang banyak sekali orang yang bersedia membayar mahal hanya untuk mendengarkan mereka berbicara.

Sedangkan ketika saya yang berbicara sebagai motivator seperti malam itu, harus mewajibkan orang lain untuk mendengarkan padahal tak perlu bayar dan mendapatkan makan malam gratis. Jadi, saya tidak dapat membayangkan jika saya memungut bayaran, jangan-jangan tidak ada seorang pun yang  datang. Itulah kenapa saya tak mau berprofesi sebagai motivator yang memasang tarif karena takut gagal.
  
Tetapi di antara yang hadir pada malam itu juga ada beberapa yang bukan karyawan saya. Mereka menggembirakan saya, mereka datang pasti karena suka rela. Mereka bukan karyawan sendiri dan saya juga tidak berkepentingan karena saya juga tidak dibayar oleh mereka. Hubungan seperti inilah yang saya sukai karena yang mempertemukan kami adalah soal kebutuhan.

Kebutuhan itu dinamakan mendengar dan didengar. Sebagai pembicara saya senang didengarkan, dan mereka mendengarkan.Memang saya suka bicara tapi sebenarnya saya juga suka mendengar. Keduanya adalah pekerjaan yang mengasyikan. Mendengar orang lain yang berbicara, tentu dengan kualitas bicara yang saya harapkan, sungguh kenikmatan. Kenikmatannya hampir menyerupai ketika saya bicara dan diterima oleh penonton dengan penuh minat dan kesungguhan.

Saya pernah mengalami kekecewaan tidak didengar justru ketika sedang ingin didengarkan. Situasi semacam itu sungguh membuat harga diri berada pada titik terendah. Ternyata cuma dengan cara tidak didengar saja kita bisa membuat seseorang kehilangan semangatnya. Namun sebaliknya kita bisa menumbuhkan semangat hidup orang lain hanya dengan mendengarkan.

Karena itu marilah kita belajar menjadi pendengar yang baik agar dapat menyemangati orang lain. Sementara jika kita ingin didengar, jangan paksakan orang lain untuk mendengar apalagi didengar karena orang iba pada kita. Berupaya keraslah agar orang lain mendengar karena kita memang layak didengar.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 18 Mei 2015

Sumber Kebahagiaan


Perjalanan memberikan motivasi di setiap spbu Gelora Group selama dua minggu penuh memang berat. Menderita radang tenggorokan adalah soal yang biasa terjadi ketika mengalami penurunan stamina. Karena bagian itulah yang bekerja paling berat sepanjang hari. Kalau tidak cuap-cuap ya saya merokok tak ada berhentinya. Tapi meskipun menderita sedemikian rupa, saya memperoleh kegembiraan yang jauh lebih berharga daripada sakitnya.

Maka, ketika tiga bulan lalu saya harus absen karena terlalu banyak pekerjaan yang mendesak dan tidak bisa ditinggalkan, sesungguhnya saya sedih sekali. Karena saat berkeliling setiap tiga bulanan itulah, saya merasa bahagia karena telah berbagi manfaat dengan seluruh karyawan spbu yang  membutuhkannya. Sebagian besar dari mereka sangat menunggu dan mengharapkan kehadiran saya.

Dan ternyata, perasaan ditunggu dan bermanfaat itulah yang membuat saya merasa berharga dan bermartabat. Perasaan bermartabat itu adalah sumber kebahagiaan. Memiliki banyak uang tanpa memiliki martabat tentu bukanlah kekayaan. Uang makin tebal tapi malah membuat kualitas hidup makin menipis. Bahkan banyak sekali bukti jabatan meninggi namun hanya untuk membawa hidup seseorang merendah.

Begitulah kira-kira hidup orang yang bukan pemenang sejati, bukan profesional tapi hanya amatiran belaka. Di tangan seorang pemenang sejati seluruh soal yang ia miliki tak terkecuali uang, kekuasaan, hanya akan membuat hidupnya semakin bermartabat. Menjadi pemenang sesungguhnya hak setiap orang, asalkan dapat mengalahkan diri sendiri. Karena pintu kemenangan sesungguhnya terletak di dalam diri kita sendiri. 

Mengalahkan diri sendiri adalah perang yang tak berkesudahan dan merupakan soal yang paling sulit di dunia. Di dalam diri sendiri ada banyak lawan yang tidak mudah dikalahkan. Lawan yang menurut kita paling enteng sekalipun sudah langsung menjadi lawan yang sulit dikalahkan, contohnya panca indera. Mengendalikan panca indera memang sulit, apalagi semuanya.

Itulah kenapa banyak industri-industri raksasa yang lahir dengan menggarap segmen ini, tujuannya memuaskan panca indera manusia. Soal rasa, misalnya. Perusahaan kelas dunia seperti Unilever juga tergiur untuk terus berinovasi memuaskan tuntutan rasa melalui varian es krimnya seperti Magnum, yang besarnya omset sungguh tak perlu diragukan lagi.

Melawan tuntutan rasa di lidah mungkin masih bisa saya atasi sebab saya tak terlalu mengutamakan soal rasa. Tapi kalau melawan rangsangan pada mata, terus terang perlu perjuangan. Saya ini lelaki yang sudah beristri. Melihat wanita cantik berkelebat rasanya berat untuk tidak tergoda melirik atau mencuri-curi. Saya tidak berani melihat secara terang-terangan karena malu pada diri sendiri. Malu tapi mau, itu persoalan kaum pria pada umumnya.

Jika selama ini saya mencoba bertahan melawan kemauan mata itu lebih karena saya berusaha keras  mengendalikan pengaruhnya. Pengendalian ini sebenarnya menunjukkan betapa lemahnya saya di hadapan panca indera. Jika saya kalah, ada yang merosot mutunya dalam hidup saya. Kemerosotan itu mendatangkan rasa susah. Namun berbeda ketika saya menang, kemenangan itu mendatangkan rasa bahagia.

Jadi jelas bahwa sumber kebahagiaan berhubungan dengan soal mutu di dalam diri kita. Sepanjang kita dapat menjaga dan merawat mutu dalam diri kita, maka hidup kita pasti akan bahagia. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 11 Mei 2015

Kebakaran


Pagi ini saya mendapat pesan singkat dari seorang pemuda yang minta diberi semangat karena kios ibunya di pasar Johar Semarang habis dilalap api. Sudah sembilan jam kebakaran hebat yang terjadi dari semalam belum juga padam karena angin bertiup kencang, sehingga dapat dipastikan tidak akan ada yang tersisa dari seluruh barang dagangannya.

Segera saya balas smsnya, memberinya dorongan semangat bahwa di dalam setiap peristiwa pasti ada hikmah dan pelajaran yang dapat kita ambil. Ada dua hal, yang pertama adalah persiapan kita atas kejadian semacam itu sehingga mungkin perlu sedia payung sebelum hujan dengan turut atau ikut asuransi kebakaran. Yang kedua, musibah itu soal yang ada hubungannya dengan rejeki.

Berbicara soal rejeki, mau tidak mau kita harus berbicara mengenai spiritualitas, yang berhubungan dengan sang Maha. Jadi, mengaitkan rejeki, bisnis atau kegiatan apa pun dengan spiritualitas adalah suatu keharusan. Namanya keharusan, suka atau pun tidak suka, terpaksa kita harus mengaitkannya. Dan itu tidak mungkin kita hindari.

Hukum ‘Siapa yang memberi akan mendapatkan’, harus kita percayai. Kepercayaan kepada aturan tertinggi inilah yang saya sebut sebagai spiritualitas. Intinya, saya percaya kepada energi spiritualitas sehingga dalam hidup atau berbisnis, moralitas harus selalu kita junjung tinggi. Maka itu, bisnis yang besar menjadi amat besar, pasti karena pemberiannya yang besar.

Kebakaran ini mengingatkan cerita bagaimana komplek laboratorium milik Thomas Alva edison yang terdiri dari enam bangunan habis terbakar. Kerugian itu mencapai dua juta dolar, belum termasuk semua penemuan dan hancurnya catatan kerja seumur hidupnya. Malam itu, Thomas berkata, “ Walaupun aku sudah berumur 76 tahun, aku akan memulai lagi besok.”

Demikian pula saat sebuah rumah makan terbakar habis, pemiliknya mempercayai energi itu. Malam terbakar, paginya tetap berjualan. Ia gembirakan semua staff dengan dorongan semangat. Menangis secukupnya saja, dan seterusnya ayo kembali bekerja. Hasilnya justru mengejutkan, pelanggan kaget melihat rumah makan terbakar, jauh lebih kaget lagi melihatnya tetap buka seperti biasa.

Para pembeli dipersilahkan duduk seadanya, di mana saja. Di atas reruntuhan juga boleh sebab telah beratap tenda ala kadarnya. Suasana berubah sedemikian rupa dan para pelanggan malah menolak menerima kembalian uang mereka sebagai empati. Pada waktu kebakaran itulah, rumah makan itu mencapai omset tertingginya.

Kebakaran memang suatu musibah, semua orang menangis dan terguncang. Semua tegang tertekan dari kanan kiri. Sudah bangkrut, salah-salah dianggap sebagai penyebab hangusnya seluruh kawasan. Jadi tidak ada yang nyaman dengan kebakaran itu, sehingga yang tersisa hanyalah menguatkan hati. Kekuatan itu tidak ada lagi sumbernya selain kepada energi spiritualitas.

Hanya dengan percaya kepada energi inilah maka kita akan mempercayai segala sesuatu bahkan saat kita belum melihatnya. Dengan percaya itulah, yang tidak mungkin menjadi mungkin, yang mustahil dapat menjadi kenyataan. Jadi, gunakanlah energi itu untuk bangkit dari keterpurukan, untuk hidup lebih bermakna, tidak hanya mengayakan keuangan kita, tapi juga mengayakan hati kita.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Sabtu, 02 Mei 2015

Keharusan Berkompetisi


Saya pernah membaca bahwa spesies yang paling kuat bertahan ternyata bukan tergantung pada kekuatan dan kecerdasannya tetapi pada kecepatannya berubah dan menyesuaikan diri. Apa saja jika lambat berubah maka akan diubah oleh si cepat berubah, katanya. Siapa saja yang terlambat untuk berubah maka akan dipaksa berubah oleh perubahan itu.


Perubahan merupakan hukum alam yang harus dipatuhi karena dengan cara itulah kita bertahan jika kita tak ingin tertinggal atau bahkan tergilas oleh kehidupan. Dinosaurus, binatang yang besar, kuat dan mengerikan saja punah karena tidak cepat berubah. Fenomena perubahan ini dapat kita rasakan dalam berbagai bidang, baik sebagai pelaku maupun penonton.

Sebagai penonton, semula saya agak iba melihat warung dan toko kecil harus bersaing dengan mini market. Sebagai pihak yang saya anggap mewakili pedagang kecil dan kalah oleh kedatangan wakil dari pedagang besar. Jangan-jangan tanpa kedatangan pedagang besar itu pun, pedagang kecil ini memang akan terpinggirkan dengan sendirinya, tidak semata-mata oleh persaingan, tetapi karena tidak dapat memenuhi tuntutan konsumen.

Jadi, lebih karena persoalan dalam dirinya sendiri. Soal kekalahan adalah soal jamak yang terjadi di dalam dunia usaha. Tidak cuma itu, pedagang besar seperti mall dan super market juga bisa kalah jika publik sudah tidak menyukainya. Artinya, pasar tak lagi ramah padanya. Hilangnya keramahan itu penyebabnya bisa dari berbagai hal, terutama soal harga, kualitas, lokasi dan pelayanan.

Coba bayangkan jika ada budaya baru yang sanggup menjual barang bermutu, tapi murah harganya strategis lokasinya, dan nyaman pula pelayanannya harus bersebelahan dengan pihak yang mahal harganya, sulit tempat parkirnya, barang kurang bagus, sudah begitu ketus pula wajah penjaganya. Sudah ketus di wajah, ditambah bekas kerokan di leher dan tempelan koyo di mana-mana. Mudah ditebak akhir kompetisi keduanya.

Itulah kenapa saya sebagai pelaku atau pihak perusahaan juga menghendaki banyak perubahan pada para karyawan agar dapat menjadi perusahaan yang kompetitif dan menjadi pemenang. Apa jadinya jika kita harus berkompetisi dengan orang lain yang keahliannya lebih terasah, yang pengetahuannya terus meningkat, memiliki wawasan lebih luas, dan pemikirannya lebih cemerlang ?

Jangan-jangan kita tersingkir bukan karena persaingan, melainkan karena kita lambat berubah, tidak cepat update dan bertumbuh. Ketika pasar saat ini dikuasai oleh ‘net generation’ (generasi internet) yang melek teknologi, akan sangat ketinggalan jika kita masih gagap teknologi. Mereka melakukan penelusuran barang apa yang akan dibeli dengan cara googling (mencari di google), sehingga mereka bisa membandingkan.

Apa yang dahulu menjadi keunggulan kemungkinan sekarang hanya menjadi standar yang minimal. Kecepatan berubah dan beradaptasi menjadi unsur yang sangat penting untuk bertahan atau bahkan berkembang. Ada proses pembelajaran yang tidak boleh berhenti dilakukan. Mereka yang tidak mau melakukan inovasi atau mengikuti perubahan akan kehilangan peluang atau kalah dari pesaingnya.

Jadi, suka atau terpaksa kita juga mempunyai keharusan berkompetisi dalam hidup ini jika tidak ingin berakhir di museum, apalagi kita semua adalah satu-satunya spesies yang mampu berpikir.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Jumat, 17 April 2015

Program Cicilan


Belanja apa saja di kota-kota besar pasti lebih menarik daripada belanja di kotaku. Di kota kecil tidak banyak pilihan, tidak banyak toko besar, belum ada mall, paling banter Rita pasaraya, semua serba ketinggalan. Uang tunai lebih berharga daripada kartu kredit dan uang benar-benar masih digunakan sebagai alat bayar. Di samping itu, harganya juga pasti lebih mahal kecuali untuk jenis-jenis barang tertentu saja.

Sedangkan di kota-kota besar, persaingan bisnis begitu ketat sehingga toko-toko saling membanting harga dan menguntungkan konsumen. Tidak cuma murah, hampir semua barang juga ada atau lebih lengkap, tetapi yang lebih menonjol adalah kemudahan, kenyamanan dan fasilitas yang dapat kita peroleh ketika berbelanja. Aneka macam penawaran menarik diberikan untuk kepuasan konsumen.

Uang tunai hampir jarang saya pergunakan selama di kota besar. Masuk restoran untuk makan, tidak perlu uang tunai. Pakai kartu kredit lebih menguntungkan karena dapat memperoleh diskon-diskon yang cukup  besar, sedangkan bayar tunai malah lebih mahal. Karena program diskon hanya berlaku bagi pemegang kartu kredit yang diberikan oleh pihak bank bekerja sama dengan pemilik restoran.

Banyak toko juga menawarkan pembelian barang dengan program cicilan selama enam bulan tanpa bunga alias 0 % jika membayar dengan kartu kredit bank tertentu. Jadi, asal punya kartu kredit kita boleh mengangsur selama enam kali tanpa dikenai bunga,karena bunganya sudah ditanggung oleh pemilik toko dan pihak bank. Semua pihak sama-sama memperoleh keuntungan.

Pembeli yang tidak cukup uang, dapat membeli dengan cara mengangsur. Sedangkan pihak penjual diuntungkan karena menerima pembayaran tunai dari bank, tanpa harus menanggung resiko hutang dari konsumen dan diharapkan juga omset penjualan toko dapat meningkat. Pihak bank juga diuntungkan karena bunga dibayar di depan dengan memotong langsung jumlah transaksi dari toko.

Itulah kenapa dalam waktu dekat ini, bengkel variasi saya juga akan menawarkan program cicilan ini kepada seluruh konsumennya. Bekerja sama dengan beberapa bank seperti bank Mandiri, bank BCA dan BRI. Sebenarnya hidup ini juga berisi dari serangkaian cicilan demi cicilan. Saya tidak pernah berani membayangkan bisa menjadi pengusaha seperti sekarang pada awalnya.

Membayangkan punya mobil saja takut, karena itu dunia yang tak terjangkau dengan keadaaan saya saat itu. Hanya dengan cara mencicil itulah saya kuat mendapatkan apa-apa yang tidak berani saya bayangkan. Karena alam hanya memberi saya kekuatan sedikit demi sedikit, setahap demi setahap tidak memberikan sekaligus, maka cara itulah yang bisa saya tempuh.

Kalau seluruh rezeki disampaikan hanya dalam satu pemberian, turun sekaligus pada hari ini, saya pasti bingung setengah mati karena tidak ada perangkat dalam diri saya untuk kuat menampungnya. Maka, datangnya kesuksesan juga demikian, tidak serta merta datang seketika, tapi melalui tahapan demi tahapan. Harus melalui proses yang panjang, tidak didapat tiba-tiba.

Jadi, setiap saya mengingat tentang perusahaan, pertumbuhan, kemajuan, kekuatan, keberanian, kemampuan dan semua pencapaian yang yang saya miliki pada hari ini, sesungguhnya saya seperti sedang mengingat kumpulan cicilan yang menakjubkan. Sakit mata pun sudah mulai bijaksana dengan mengenal cicilan, terbukti ketika mata saya timbilen kemarin cuma sebelah. Sebelah pun sudah amat menyiksa, apalagi jika keduanya.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Rabu, 15 April 2015

Rambut Tukang Bakso


Berhentilah menilai orang dari penampilannya, maka kita tak akan terkecoh. Pelajaran ini diberikan oleh tukang bakso yang sering mampir ke bengkelku. Perkenalanku dengan tukang bakso inilah yang hendak kuceritakan. Dia rambutnya gondrong, penampilannya rapi, sama sekali tidak menyerupai abang bakso keliling menurut pandanganku.

Ketika ia masuk ke bengkelku aku menyambutnya bak melayani seorang pelanggan, apalagi saat dia berjalan berdampingan dengan seorang ibu. Kupikir suaminya ibu itu, maka keakraban belaka yang kuperagakan, senyum salam sapa tidak ketinggalan. Tapi rupanya aku yang terkecoh kali ini, ia cuma masuk untuk mengambil mangkok. Mangkok bakso bekas pesanan seorang staffku.

Bagiku seorang tukang bakso tidak boleh berambut gondrong, apalagi berpakaian rapi. Terhadap orang lain tiba-tiba aku menetapkan banyak persyaratan. Menurutku cuma seniman, roker atau preman yang layak bergaya rambut gondrong dan menguncir rambut. Tapi kuli bangunan tidak, penjual sayuran, abang bakso juga tidak, pengangguran apalagi, ia harus tahu diri dan harus tahu kedudukannya.


Jika engkau seorang pengangguran, jangan coba-coba bertingkah macam-macam agar lebih mudah mendapat pekerjaan karena orang sedang menilaimu. Yang kasat mata, pasti selalu didahulukan dan menjadi bahan pertimbangan pertama dalam menilai sesuatu. Itulah kenapa lebih mudah memberi penilaian secara subyektif ketimbang obyektif.

Seorang juri yang seharusnya bisa memberikan penilaian lebih obyektif saja masih terpengaruh pada penampilan fisik seseorang. Yang profesional saja masih seperti itu apalagi cuma kita. Terbukti ketika seorang peserta audisi X factor Indonesia tahap pertama tampil di panggung. Cara berjalannya saja langsung dikritisi, mau menyanyi malah ditanya bela diri, hanya karena melihat tampangnya ndeso.

Beby Romeo penyanyi bersuara bariton kesukaanku, pasti tidak jahat dengan meremehkan peserta itu. Mungkin dia tidak tahan memandang penampilan orang desa berani ikut audisi. Apalagi ketika ditanya mau menyanyi lagu apa, ia menjawab lagu Mirasantika ( Minuman keras dan narkotika ) karya bang haji. Lengkap sudah pelecehan itu dapat diterima karena pilihan lagunya juga bukan lagu yang diharapkan oleh para juri.

Para juri yang terdiri dari Beby Romeo, Rossa, Afghan dan Achmad Dani pasti memandang rendah pilihan itu. Maka ketika Boby Berliandika mulai bernyanyi, tiba-tiba semua juri terkejut, penonton pun terkesiap karena yang terdengar bukan musik dangdut, tapi sudah diaransemen sedemikian rupa dan vokalnya juga luar biasa, sehingga dihentikan oleh Rossa sebelum lagu tersebut selesai dinyanyikan dan hasilnya membawa pulang 4 yes dari para juri.

Para juri itu dikirim ke dunia ini pasti bukan untuk menyakiti sesama. Demikian pula kita ketika keliru menilai orang lain sehingga tanpa sengaja menyakitinya. Para juri pasti menyesali diri karena telah melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang kurang etis terhadapnya, bahkan ketika Boby menjawab termotivasi ikut audisi karena dorongan almarhum ayahnya.

Untung kepada si abang bakso yang berambut gondrong itu, aku tidak sampai menyakitinya hanya sekadar terkecoh dengan penampilannya. Seandainya aku keliru menilai seorang pelanggan yang kukira tukang bakso, tentu lain ceritanya.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Jumat, 10 April 2015

Cabang Baru


Kami syukuran dan semua bersuka cita pada hari pembukaan cabang bengkel variasi otokits yang ketiga di Wonosobo minggu kemarin. Rasanya masih terasa gema riuhnya tepukan tangan, masih terbayang puluhan bunga ucapan selamat, dan masih tersimpan kiriman pesan dari para sahabat dan handai taulan yang ikut bergembira. Tanpa terasa bengkel ini sudah berjalan sembilan tahun.


Mengawali tahun yang ke sepuluh, dengan tambahan satu cabang baru tentu saya bergembira, puas rasanya, sekalipun saya tahu bahwa ini berbahaya. Saya merasa puas karena memperoleh tantangan baru, seperti seorang anak mendapat mainan baru. Tapi sekaligus berbahaya karena setiap kali saya mengawali usaha baru seperti memasuki gelanggang pertandingan yang saya tidak pernah tahu akan berhasil atau tidak.


Namanya pertandingan, kita tentu bisa kalah, tapi saya tetap merasa gembira karena telah mencapai niatan. Niatan melahirkan sebuah cabang baru. Orang sering salah duga bahwa saya dapat menjamin setiap usaha baru yang saya lakukan akan selalu sukses. Memang ada kenaikan kelas dari dua cabang menjadi tiga. Logika kenaikan kelas ini sering dipandang sebagai kenaikan segala-galanya.

Itulah kenapa banyak orang yang syukuran jika naik jabatan, naik status dan naik golongan. Hajat ini bisa dipahami sebagai rasa syukur atas pangkat baru, pencapaian baru dan rejeki baru. Kenaikan itu tidak pernah dipahami dalam pengertian sungguh-sungguh sebagai ketertekanan baru, penderitaan baru, dan tanggung jawab baru.

Bagaimana tidak ? Setelah membuka sebuah cabang baru, maka saya punya persoalan baru, punya tanggung jawab baru untuk menyukseskannya. Saya hanya akan menderita jika bengkel cabang itu sepi pengunjung. Saya akan tertekan jika target penjualannya tidak tercapai. Apalagi jika saya harus menanggung rugi karena biaya lebih besar daripada keuntungan.

Bahkan kenaikan kelas itu jika tak disikapi dengan tepat, bisa menjatuhkan. Padahal jika jatuh dari ketinggian tentu sakit, semakin tinggi kenaikan akan membanting kita semakin keras. Kita sering melihat tentang manusia yang kemalangannya bertepatan dengan kenaikannya. Belum rampung mereka bergembira menyelenggarakan syukuran, pada saat yang sama musibah mengintip di balik jendela.

Banyak orang tidak kuat memenuhi tuntutan naik kelas itu, akhirnya menuai musibah di saat sedang menanjak hidupnya. Musibah itu bisa dikarenakan gagalnya menyangga jabatan, terbongkarnya aib sampai penyalahgunaan kekuasaan. Orang Jawa bilang, ora kuat derajat. Apakah kenaikan kelas akan selalu menimbulkan akibat-akibat yang mengerikan semacam itu ?

Sepanjang berada di tangan orang yang kuat dan tepat, tentu tidak akan berakibat demikian. Bagi orang semacam itu, kenaikan adalah kenaikan profesi. Orang itu dengan mudah akan menyesuaikan profesi barunya dengan bersikap profesional. Kelasnya meningkat, kualitasnya juga meningkat setara dengan kenaikannya.

Maka, kenaikan kelas itu selain wajib kita syukuri juga perlu kita waspadai dan kemudian kita sikapi dengan sebaik-baiknya. Karena banyak orang ingin lebih sukses, tapi tidak memantaskan diri untuk menjadi lebih sukses, ingin lebih mulia tanpa pernah benar-benar memiliki derajat kemuliaan yang sesungguhnya. Memantaskan diri itulah tugas kita.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Selasa, 07 April 2015

Keinginan Akan Tetap Berada Di Sana


Memang tidak selalu yang kita inginkan akan kita dapati. Tepatnya, Tuhan tidak selalu mengabulkan semua permintaan kita. Itulah yang sering kita ingat, kita rasakan, kemudian kita keluhkan dan kita cemaskan, tak terkecuali saya. Besarnya keinginan dan kenyataan seringkali jauh dari harapan. Niat ingin begitu, kenyataan cuma begini. Realitas selalu di sini, angan-angan selalu jauh di sana.

Sudah sembilan tahun saya mengelola bengkel variasi Oto Kits, dan baru saja membuka cabang yang ketiga. Tapi kenyataan ini ternyata masih jauh dari besarnya keinginan menjadi tujuh belas cabang. Padahal, usia saya sudah lima puluh tujuh, teman-teman seusia pasti sudah pensiun, menikmati hari tuanya. Sedangkan saya masih sibuk dengan banyaknya keinginan yang belum saya dapatkan.

Menjadi seorang pengusaha adalah impian saya sejak kecil. Maka, ketika menginjak kelas dua SMA, sepulang sekolah saya bersedia membantu memasarkan dagangan ayah ke daerah-daerah sekitar dengan naik sepeda motor. Empat hari dalam seminggu, saya harus pulang petang bahkan kadang sampai larut malam jika terhadang hujan atau gangguan.

Setiap perjalanan memasarkan itu tidak selalu membawa hasil menggembirakan, mengajarkan saya tentang kesulitan. Dikatakan berat bagi anak sekolah, pastilah berat. Tapi saya suka melakukannya, apalagi ada tambahan uang saku sebagai upahnya. Itulah kenapa setelah lepas SMA, saya kemudian memilih merantau berdagang di Jakarta ketimbang kuliah atau mencari kerja.


Sukses berdagang tidak dikabulkan, malah mendapat kesialan-kesialan yang membuat saya akhirnya harus melupakan keinginan. Berdagang kripik tempe, tidak berhasil. Berdagang burung merpati, juga gagal. Buka toko kecil di kampung pun tidak mudah, dagangan habis, uang juga habis entah kemana. Karena kebutuhan, saya terpaksa merubah tujuan dengan mencari pekerjaan.

Namun, ketika saya punya waktu senggang untuk mengingat-ingat, ternyata sebagian besar Tuhan sebenarnya telah memberi. Rasanya bukan hanya saya yang bersikap seperti itu, sebagian dari kita sering lupa atau tidak sempat memikirkan lagi. Keinginan yang didapat langsung saja tidak kita ingat apalagi keinginan yang diperoleh dengan perjuangan bertahun-tahun.

Meskipun harus menunda lebih dari dua puluh tahun dengan rela menjadi karyawan, akhirnya saya bisa menjadi seorang pengusaha. Meskipun bengkel saya belum menjadi tujuh belas cabang, saya sudah memiliki tiga cabang yang kata orang, luar biasa. Meskipun keinginan masih banyak yang belum tercapai, ternyata alam juga telah banyak memberi.

Jadi, sesungguhnya banyak mimpi-mimpi saya yang sudah diberi. Hanya saja karena keinginan baru selalu bertambah, maka jumlah keinginan yang belum tercapai juga bertambah. Memimpikan hotel bintang, dua tahun yang lalu, sekarang hampir menjadi kenyataan. Hotel belum selesai dibangun, ternyata sudah lahir mimpi lain tentang pesawat terbang.

Sekalipun hidup ini telah banyak memberi, tapi yang selalu kita ingat cuma soal-soal yang belum kita dapati. Keinginan akan tetap berada di sana dan hidup selalu berada di sini, karena sekalipun saya telah banyak mendapat, saya masih akan banyak bermimpi.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Minggu, 05 April 2015

Satarabak


Membandingkan Mesir dengan Indonesia atau Jakarta dengan Kairo, membuat saya lebih bersyukur karena ternyata negeri sendiri lebih makmur, lebih maju dan lebih bersih. Jakarta memang bukan kota yang bersih, tapi tumpukan sampah tidak sebanyak di sini. Kalau masalah lalu lintas di Jakarta adalah macet, masalah di sini adalah semrawut. Lampu lalu lintas saja di ibu kota cuma ada satu.

Jalan-jalan begitu kacaunya karena orang berkendara semaunya tanpa menaruh perhatian pada rambu-rambu. Katanya, mereka tidak ada yang punya sim, bahkan menolak memilikinya walaupun tidak mahal. Apalagi jika biaya sim mahal seperti di negeri kita. Jangan berharap kita dapat melihat mobil mewah berlalu lalang di jalan. Jangankan mobil mewah, mobil bagus pun jarang.

Tumpukan sampah, mobil bobrok, udara berdebu, kemiskinan adalah pemandangan biasa di negeri ini. Jadi, jika tanpa petunjuk pemandu tur, mungkin kita bingung memilih tempat yang tepat untuk makan dan minum. Semua tempat tampak kumuh dan kotor, ingin sekadar minum kopi pun takkan terpenuhi. Tidak ada tempat ngopi yang setara dengan Starbucks.

“ Kalau di Indonesia marak kedai kopi seperti Starbucks (baca: starbaks), Mesir juga punya namanya ‘Satarabak’,” kata pemandu tur Mesir tidak mau kalah. “Kalau Anda nanti naik ke puncak bukit Sinai, Anda bisa minum kopi di sana, “tambahnya lagi. Minum kopi di Starbucks, saya sudah biasa, karena di kota-kota besar pasti ada. Tapi minum kopi di satarabak tentu sebuah pengalaman yang baru.

Sebelum mendaki, saya membayangkan satarabak seperti kedai-kedai kopi seperti umumnya daerah tujuan wisata, tapi ternyata keliru. Karena tiba di puncak itu sudah petang, maka yang tampak hanya kegelapan, sepi, tak ada listrik. Di atas bukit itu tidak ada bangunan lain kecuali sebuah warung kecil, sepetak tepatnya ! Di bawah penerangan lampu minyak, tempat duduk hanya dari batu beralas kain, ruangan sempit, dan bau kencing onta, mau muntah rasanya.

Menikmati segelas kopi seharga dua dolar, di tempat yang jauh dari yang dibayangkan, tentu wajar jika kecewa. Sudut pandang ini pasti boleh saja saya pakai, apalagi bagi pecandu berat kopi seperti saya sebab kopi semacam ini sama sekali tidak bisa disebut kopi. Kebiasaan minum kopi di tempat sekelas Starbucks jelas menambah kejengkelan saja. 

Tapi ketika sudut pandangnya saya geser, beda lagi persoalannya. Langsung menjadi sudut bahagia. Pada saat dingin sangat menusuk tulang, jaket tidak lagi mampu jadi andalan, secangkir kopi panas sungguh keajaiban. Menemukan penghangat badan, pasti keberuntungan. Keberuntungan ganda karena tubuh hangat dapat menekan keinginan pipis, di mana jangan berharap ada toilet. Terutama bagi para ibu, jika tak mau pipis di tanah bebatuan.

Yang lebih mencengangkan lagi, ternyata di warung kecil satarabak ini, juga tersedia indomie buatan Indonesia, walaupun harganya cukup mahal, lima dolar. Jangan-jangan turis bangsa kita yang paling banyak datang ke sini, karena mereka sampai berani mempunyai persediaan indomie. Atau mungkin karena produk indomie memang sudah mendunia. 

Maka tidak peduli seberapa buruknya dan seberapa baunya satarabak ini, mendapat secangkir kopi panas dan indomie di tempat ini sungguh soal yang luar biasa. Jadi, kualitas kita dalam menggeser sudut pandang, ternyata dapat membuat satarabak ini mengalahkan Starbucks, kedai kopi ternama di dunia.



Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Sabtu, 28 Maret 2015

Nasibku di Hari Ini


Nasibku di hari ini tidak melulu cuma hasil dari usahaku semata. Tidak terbilang banyaknya pihak lain yang ikut andil dalam keberhasilan diriku. Jumlah mereka terlampau banyak untuk bisa kuhitung dan kutahu. Memang benar ada unsur aku di dalamnya, tapi keliru jika kita menganggap diri sendiri bisa sukses tanpa keterlibatan pihak lain.

Soal keterlibatan dari pihak lain inilah yang akan kuceritakan. Dulu, ketika masih berstatus seorang karyawan mempunyai kegiatan usaha sampingan adalah modal dasar yang kemudian mengantarku menjadi pengusaha. Dengan belajar setahap demi setahap, selangkah demi selangkah, dari sekadar bisnis sampai akhirnya menjadi bisnis yang serius.

Karena sering ke Glodok Jakarta, seorang teman minta dibelikan sebuah televisi yang layarnya besar. Pada waktu itu toko-toko di daerah termasuk kotaku masih jadi barang langka dan mahal. Awalnya kudiamkan karena aku tidak mengerti apa-apa tentang barang elektronik, takut salah meskipun tahu bisa mendapat untung dari selisih harga barang tersebut.

Kalau kemudian aku berani berdagang berbagai barang-barang elektronik sebagai usaha sampingan adalah lebih karena permintaan temanku yang terus menerus. Keberanianku jadi muncul karena ada pihak lain yang mendukungku. Tanpa dukungannya, mungkin aku tak akan berani mencoba bekerja sambil berbisnis.

Tidak hanya itu saja, pihak toko tempat kulakan barang dagangan juga mendukung. Awalnya mereka cuma memberi diskon karena belanja cukup banyak. Lama kelamaan boleh kubayar tempo sehingga bisa belanja lebih banyak lagi. Pelanggan bertambah banyak, omset pun naik penghasilan meningkat secara drastis.

Untuk memiliki usaha sampingan saja betapa banyak pihak lain yang mendukungku. Seahli apapun dalam menjual, percuma saja jika tidak ada yang membeli. Ada para pembeli pun percuma jika tak ada yang dijual. Barang yang dijual pun harus ada yang memproduksi. Jadi, pada setiap nasib seseorang ada peran dari pihak-pihak lain yang sulit dimengerti seolah mereka bekerja untuk kita.

Kedudukan diri sendiri dalam hal itu hanya kemampuan untuk menyesuaikan. Jika ia pengusaha, ia menyesuaikan kebutuhan pasar. Jika ia ulama, ia menyesuaikan kebutuhan umat. Jika ia petani akan menyesuaikan musim. Jika ia seorang konsutan ia pun akan menyesuaikan kebutuhan dari kliennya. Itu semua adalah hukum yang harus kita taati, karena cuma itulah navigasi hidup.

Semua berjalan sesuai hukumnya,seperti planet akan keluar dari kedudukannya sebagai planet kalau ia keluar orbit. Maka barang siapa telah berada di dalam orbit, ia akan mengalami kemudahan untuk sukses. Seolah, tanpa usaha keras ia akan mendapatkan, tanpa belajar ia lulus ujian, tanpa berjalan ia sampai ke tujuan. 

Bagi pihak yang telah mengorbit semuanya memang tampak mudah. Untuk berada di dalam orbit itulah yang susah. Bagi pihak yang telah sukses, semua pihak seolah bekerja untuknya. Sayangnya, untuk menjadi pihak yang sukses itulah yang tidak mudah. Jika mau mudah, mungkin perlu bertanya pada Mario Teguh.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Rabu, 25 Maret 2015

Lokasi Merokok


Sebagai pecandu berat rokok, saya mempunyai ketajaman menemukan lokasi-lokasi yang tepat dan aman untuk merokok. Misal, ketika memasuki sebuah restoran yang selalu saya perhatikan pertama kali apakah ada orang yang sedang merokok di situ atau asbak yang tersedia di meja. Jika ragu, saya akan menanyakan kepada pelayan di mana diperbolehkan merokok.

Menemukan tempat merokok di Indonesia lebih mudah, karena hampir tidak ada larangan merokok kecuali di wilayah tertentu.  Terutama di area publik seperti di rumah sakit, mall, hotel, perkantoran, kendaraan umum dan lain-lain. Jika merokok di luar negeri, barulah kita harus lebih waspada karena beda negara beda aturannya. Melanggar aturan bisa kena denda yang cukup besar.

Ketika berada di area terbuka, saya bahkan tidak berani sembarangan merokok, beda ketika berada di negeri sendiri. Apalagi jika tidak tampak orang yang sedang merokok. Saya harus memandang ke bawah, mencari buangan puntung rokok orang lain, sebagai tanda bahwa pernah ada yang merokok di sekitar itu. Setelah yakin benar-benar aman, baru saya dapat merokok dengan tenang.


Kebiasaan merokok juga menyiksa ketika harus terbang, karena semua penerbangan saat ini adalah penerbangan bebas rokok. Karena itulah, saya selalu mencari tahu di mana lokasi area merokok di setiap bandara yang saya kunjungi. Saya banyak menemukan teman diskusi tak sengaja, berkenalan dengan sahabat baru, cuma dengan nongkrong di lokasi merokok bandara.

Kebiasaan saya mengobrol, terutama saat sedang melayani pelanggan, mengeram secara kejiwaan sehingga membuat saya tidak bisa berdiam diri ketika bertemu orang asing sekalipun. Sama seperti kebiasaan merokok saya yang belum bisa berhenti. Begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat kita gali dengan mengobrol di manapun dengan siapapun dan dalam keadaan apapun.

Lokasi merokok seperti di bandara ini sangat memenuhi syarat untuk menunggu boarding, merokok sambil memperoleh informasi-informasi baru karena setiap orang adalah buku pelajaran. Untuk bisa mendapatkan pelajaran cukup banyak, maka kita harus melayani mereka ngobrol tentang topik apa saja dengan lebih bersikap sebagai pendengar dan penanya. 

Semakin mereka didengarkan semakin panjang mereka bercerita dan tugas saya cuma menyambung dengan pertanyaan lagi, sehingga ceritanya akan bertambah panjang. Cerita yang datang dari aneka pribadi dengan aneka latar belakang, bahkan aneka disiplin ilmu dan aneka sudut pandang, sungguh seperti bertemu dosen luar biasa. Benar-benar dapat memperkaya hati dan pikiran.

Bagi Anda yang tidak merokok, bisa Anda praktikkan di mana saja. Termasuk saat Anda duduk sendiri menunggu istri merampungkan urusan di pusat perbelanjaan. Bahkan di tempat parkir, saya sering ngobrol dengan tukang parkir setempat secara serius dan seru. Setiap ada kesempatan mendekati atau berdekatan dengan orang lain di lokasi manapun, kebiasaan ini tentu saya lakukan.

Kebiasaan baik yang akan terus saya pertahankan, karena mengandung bermacam-macam rezeki kemungkinan. Sementara kebiasaan buruk merokok ini belum bisa berhenti, maka lokasi merokok inilah yang sering saya jadikan universitas terbuka ketika bepergian. Sambil menyelam minum air, sambil merokok dapat pelajaran. 

Tapi namanya kebiasaan buruk, sebaiknya jangan ditiru karena merokok berbahaya bagi kesehatan. 

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Kamis, 19 Maret 2015

Mengganti Hati

Sebenarnya jumlah sumber jengkel dan iba sama banyaknya di sekitar kita, tapi saya lebih mudah menemukan jengkel daripada iba. Seperti dalam seminggu ini misalnya, dua kali saya ke Jakarta menggunakan jasa kereta api, dua kali pula saya mengalami kejengkelan. Hanya karena sopir tua kami selalu salah pintu dalam menjemput.



Setiap turun dari kereta, saya akan keluar stasiun dari pintu utara, karena pintu itulah yang terdekat dengan gerbong yang saya tumpangi. Tapi sopir itu menjemput di pintu selatan sehingga saya harus berjalan kaki cukup jauh dengan beban barang bawaan. Padahal, saya sudah beritahukan berkali-kali untuk menunggu saja di pintu utara.



Jadi, kejengkelan itu bisa berada di balik apa saja, termasuk dalam soal yang itu-itu saja. Mungkin ia salah dalam menerjemahkan instruksi. Mungkin ia memang perlu ditegur berkali-kali. Tapi, jika saya lihat dari arah sebaliknya, baru saya menemukan iba. Iba tidak begitu saja muncul, karena saya harus mencarinya. Bisa melalui wajah sopir yang mulai tua, bisa melalui tubuhnya yang tidak segesit dulu lagi.



Terhadap pembantu juga demikian, kita bayar tenaganya sangat murah sehingga wajar saja kalau ia rawan salah. Mau murah tapi tidak mau resiko salah, jelas tidak masuk akal. Melihat dari sisi ini saja, membuat saya harus mengubur semua kesalahan-kesalahannya. Ada banyak persoalan yang sering kita lihat cuma dari satu arah sehingga membuat kita miskin sudut pandang.



Mengundang rasa jengkel ke dalam diri kita begitu mudahnya karena terlalu banyak terjadi soal-soal yang keliru menurut kita. Tetapi, mengundang rasa iba bagi saya lebih sulit karena saya bukan orang yang terlalu lembut. Itulah kenapa saya perlu membayangkan berbagai hal yang dapat memancing keharuan.




Misal, kepada para pengamen dan peminta-minta, sekuat tenaga saya menepis pikiran kalau mereka adalah gangguan. Boleh jadi, karena saya belum pada posisi yang mendatangi mereka, itulah kenapa  mereka dikirim kepada saya agar saya tersentuh pada kesulitan sesama. Sayang sekali tidak seluruh dari mereka yang datang mengundang keibaan saya.
 



Terharu kepada orang lain mungkin memang masih sulit, maka saya mencoba berlatih dengan yang lebih mudah. Misalnya, memandang mata kucing kami yang tampak memelas, padahal semua mata kucing memang begitu. Maklum, karena ia kucing kesayangan saya. Ketika ia mengeluarkan suara meong-meong di dalam kandang, saya tidak tega dan segera mengeluarkannya.



Ketika suatu saat ia lari ketakutan oleh sebuah suara, saya segera datang menawarkan perlindungan. Tiba-tiba, saya merasa segala sesuatu tentang hewan ini adalah soal-soal yang membuat saya iba. Padahal, saya yakin ia kucing yang sedang baik-baik saja. Bahkan nasibnya jelas lebih baik dari kucing kebanyakan yang miskin perhatian.



Belajar menemukan sumber rasa iba sebagai pengganti jengkel di sekitar kita tentu tidak akan sia-sia. Saya yakin jika kita kerap melakukannya ia pasti akan lebih sering hadir, menggeser kedudukan jengkel dan menghadiahi hati ini berupa kesabaran dan kelembutan.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.