Bersama jajaran Manajemen dan Karyawan yang dibawahinya.

Liburan bersama keluarga

Bersama istri tercinta "Laniati Dewi".

Hidup hanya sekali...Hiduplah dengan Luar Biasa !!

Bersama manajer pelumas "Sutoyo Wijaya" salah satu divisi yang dibawahinya

Senin, 23 Februari 2015

Ketika Saya Mau Pergi


Bepergian sesungguhnya adalah soal biasa yang sering saya lakukan. Tapi, rencana pergi kali ini agak berbeda. Yang pertama, karena akan meninggalkan rumah cukup lama, selama dua minggu. Kedua, karena jauhnya sehingga saya perlu persiapan yang cukup matang, mengingat harus mengunjungi beberapa negara yang musim dan cuacanya juga perlu diwaspadai.

Terutama perlu persiapan fisik, tubuh harus benar-benar sehat selama bepergian. Obat-obatan yang wajib dibawa seperti obat sakit perut, minyak angin, obat penahan sakit, demam, sama sekali tidak boleh terlupakan. Saya pernah menderita terkena diare selama dua puluh jam penerbangan, tanpa mendapat obat karena memang di pesawat tidak tersedia, sampai trauma ke wc.
  
Maka, beberapa hari ini saya memang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk mengatur pekerjaan yang perlu didelegasikan selama tidak berada di tempat, apalagi ada beberapa proyek yang memerlukan perhatian ekstra. Tak kalah penting adalah soal barang bawaan yang tidak boleh terabaikan, karena saya pelupa, paspor pun pernah ketinggalan.

Kalau persiapan mental sesungguhnya tidak terlalu saya butuhkan karena sudah kerap bepergian ke luar negeri. Namun, kepergian kali ini lain, ada yang menjadi beban pikiran. Mungkin bukan soal penting bagi orang lain, tapi sangat penting bagi saya pribadi. Jujur, saya tidak tega dan kepikiran karena mau meninggalkan seekor kucing di rumah selama dua minggu.

Mungkin itu pula yang jadi pertimbangan teman saya yang jarang mau pergi lama, karena khawatir dengan burung peliharaannya. Saya sempat berpikir orang ini amat keterlaluan karena membiarkan isterinya pergi ke mana-mana sendiri, ketimbang harus meninggalkan burung-burungnya. Kini saya dapat merasakan sendiri ketidaktegaan terhadap hewan kesayangan.

Membayangkan kucing itu berada di dalam kandang selama dua minggu saja kasihan, padahal bukan soal kurang makan, karena masih ada pembantu yang mengurusnya. Mungkin saja saya berlebihan, sebab jika dibandingkan dengan kucing liar yang harus mengais makanan di tempat sampah, ia pasti lebih bahagia. Walau sementara ia harus terkurung, masih ada yang merawat dan melindunginya.

Kucing liar yang tidak terawat, tidur di sembarang tempat, makan hanya dari sisa-sisa makanan yang terbuang, banyak yang tumbuh jadi hewan yang sehat dan kuat. Sedangkan kucing saya yang selalu terawat, makan kecukupan, tempat selalu bersih, dan perawatan kesehatan terjamin, malah kadang rentan terhadap segala jenis penyakit.

Ternyata seperti juga kita, ada orang yang sejak dilahirkan selalu dalam kecukupan, tapi malah justru menjadi kekurangan. Ia menduga bahwa kehidupan hanya berisi kecukupan sampai lupa pada faktor kurang. Ia hanya mengenal rasa cukup sehingga terhadap kekurangan ia sangat miskin pertahanan. Akibatnya pun jelas, hidup yang hanya ingin serba cukup itu akan mendatangkan bermacam-macam persoalan.

Sebaliknya, orang yang selalu hidup dalam kekurangan bahkan diantaranya kerap penuh hinaan, tapi gagah saat terjun ke lautan kehidupan. Jadi, persoalan utamanya bukan soal apakah hidup kita lebih atau kurang, tapi bagaimana membuat kekurangan menjadi lebih dan yang kelebihan menjadi modal bertambah lebih. Intinya, adalah kesanggupan kita menggunakan modal yang Tuhan berikan, tidak peduli kurang atau lebih.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Jumat, 20 Februari 2015

Mendengarkan Panggilan


Menjadi seorang pengusaha yang berhasil adalah impian saya sejak kecil. Mungkin karena ayah saya seorang pedagang tembakau yang tangguh dan tidak berada di lingkungan pegawai sehingga kurang mempunyai keinginan menjadi pegawai apalagi membayangkan jadi pegawai negeri yang menerima gaji dan pensiun di hari tua. 

Maka, selepas sekolah menengah saya merantau ke Jakarta. Tanpa modal tentunya sebab saya tidak punya uang untuk modal usaha. Hanya dengan bantuan teman-teman akhirnya saya bisa berdagang kecil-kecilan. Awalnya lumayan, bisa untuk makan dan bayar kontrakan. Tapi, saya hanya modal mau bukan mampu sehingga akhirnya berantakan.

Besar tekad dan keinginan saja ternyata tidaklah cukup. Tujuan menjadi seorang pengusaha terpaksa dibelokkan alam, karena kebutuhan. Anda pasti juga sering berbelok arah dari tujuan semula karena suatu alasan. Tujuan karena terpaksa itulah yang akhirnya menjadi sesungguhnya tujuan. Oleh sebab sulit berdagang, akhirnya saya mencari pekerjaan daripada tidak berpenghasilan.

Dengan cara apa alam membelokkan tujuan saya ? Dengan cara gagal senantiasa. Menjual ditolak, nitip jual tidak laku, barang dagangan rusak tidak bisa kembali. Pada awalnya saya tidak menggubris isyarat ini. Saya berpikir ini adalah ujian untuk pihak yang ingin maju. Tapi setelah makin lama makin memiskinkan, ia menyadarkan saya.


Jadi, sadar itu awalnya bisa karena terpaksa. Tidak bisa saya bayangkan kalau saya bertahan dengan kondisi makan saja susah di Jakarta. Itulah kenapa akhirnya saya memilih pulang kampung kemudian bekerja sebagai karyawan Pertamina. Beruntung ? Mungkin, karena kebetulan mendapat pekerjaan yang cukup baik.  

Tapi saya melihat banyak orang di sekitar kita, enggan berbelok haluan walau alam sudah memaksa. Saya memiliki teman yang setengah mati ingin sukses jadi pengusaha , walau kemampuannya rendah sekali. Berkali-kali kena tipu teman bisnisnya, tetapi ngotot terus percaya. Tapi siapa peduli, dia pun tidak peduli dengan dirinya sendiri.

Setiap kita sesungguhnya mempunyai panggilan. Tapi ada yang tidak mendengar, kurang mendengar atau malah tidak mau mendengar. Perubahan hidup memang hanya menghampiri orang-orang yang mau mendengar. Maka, berlatih untuk menambah daya dengar adalah sebuah kewajiban hidup yang amat penting.

Panggilan untuk menjadi pengusaha itulah yang saya dengar selama bertahun-tahun bekerja sebagai karyawan. Dalam kesempitan karena terbelenggu kedudukan sebagai karyawan, selalu ada berbagai kesempatan berbisnis. Itulah yang saya lakukan selama sepuluh tahun terakhir, sebelum mengambil keputusan pensiun dini dan total beralih haluan.

Kegelisahan, ketidak puasan, dan keresahan adalah tanda-tanda kalau kita masih berada pada jalur yang salah. Banyak orang mencari pekerjaan dan tidak pernah merasa sesuai, karena mereka tidak tahu bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah menemukan panggilan hidupnya. Bagaimana caranya terserah saja, tapi intinya pada kemampuan untuk mendengar lebih tinggi.

Jika Anda dapat menemukan dan memanfaatkan panggilan itu, maka Anda bisa bebas mengepakkan sayap selebar mungkin. Jika pekerjaan sekarang adalah memang panggilan Anda, segeralah terbang setinggi mungkin, karena hanya orang yang mendengarkan panggilan yang dapat melakukannya.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Selasa, 17 Februari 2015

Empat Jenis Perusahaan


Setiap kali bepergian ke kota besar, saya pasti menyempatkan mampir ke mall karena di tempat saya tinggal belum ada mall. Bisa sekadar window shopping, memang ingin membeli kebutuhan, atau bisa pula cuma sekadar minum kopi. Saya suka dengan suasana bisnis di sini, karena saya melihat sekujur ruang, tata lampu, ornamen, kerapian, kebersihan hingga keramahan pelayanan yang mencerminkan selera terkini.

Saat ini, suatu bisnis memang seyogyanya dijalankan demikian. Mulai pintu masuk kita akan bertemu para karyawan yang semuanya berseragam bersih, rapi, tampak terpelajar, senyum yang menawan dan sopan santun yang baik. Tapi, kalau perusahaan belum bisa menampilkan mutunya ke seluruh bagian termasuk watak karyawannya, maka masih dalam tahapan perlu perbaikan.

Faktor keberhasilan usaha seperti ini sangat tergantung pada dua pihak, yaitu pihak perusahaan dan pihak yang dipekerjakan. Kondisi hubungan kemanusiaan kedua belah pihak ini jadi salah satu faktor penting bagi kelangsungan sebuah bisnis. Karena itu, sebagai bahan cerita kali ini, saya mencoba membahas tentang empat jenis kondisi perusahaan.

Jenis yang pertama adalah perusahaan yang baik memiliki karyawan yang baik. Ini adalah kombinasi yang sempurna untuk sukses dalam berbisnis. Para karyawan disiplin dalam menjalankan tugas dan bisa mengembangkan dirinya tanpa tekanan untuk kemajuan bersama, karena atasannya mau peduli terhadap bawahan dan tidak berorientasi pada kepentingannya sendiri.

Ada karyawan yang baik tetapi menjadi buruk karena diperlakukan dengan buruk oleh perusahaan. Seluruh gerak orang ini sesungguhnya mengisyaratkan kebaikan, tapi seperti menyimpan sumbatan. Saya sering melihat seseorang yang ekspresinya ramah tapi penuh tekanan, ia melayani tapi lesu, ia menatap namun kosong. Mungkin hasil ketakutan mereka terhadap atasan atau keterpaksaan.

Mudah ditebak, ada hubungan kemanusiaan yang tidak beres antara karyawan dengan perusahaan. Perusahaan buruk dengan karyawan yang baik, itulah jenis yang kedua. Selain itu ada pula jenis yang ketiga yaitu, perusahaan baik tapi mendapat karyawan buruk. Karyawan semacam ini tidak sungkan pamer keburukan kinerjanya di depan mata kita.

Ia sama sekali tidak mempunyai apresiasi yang mendalam terhadap perusahaannya bekerja. Cukup memiliki satu karyawan seperti ini saja nasib perusahaan bisa terguncang, karena inilah orang yang dapat memaksa pembeli mengeluh habis-habisan dan tidak kembali lagi. Celakanya akan mengajak dan membujuk teman dan koleganya untuk tidak ke sana.

Jenis yang terakhir adalah yang paling buruk, karyawan buruk bekerja pada perusahaan yang buruk. Semuanya sudah jelas dan mudah dinilai, kapan perusahaan dan karyawan bangkrut bersama-sama hanya soal waktu. Padahal jenis ini adalah yang paling banyak terjadi, maka tidaklah mengherankan jika sukses hanya menjadi hak sebagian kecil pihak.

Di mana pun posisi kita sekarang ini sesungguhnya tidaklah penting, apakah sebagai seorang atasan atau bawahan, apakah sebagai pemilik bisnis atau karyawan, selama kita berpegang pada kebaikan, karena sukses selalu berpihak pada yang baik.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 09 Februari 2015

Hanya Tindakan


Menemukan kekeliruan, tidak pernah ada habisnya. Sumber kekeliruan rasanya ada di mana-mana. Banyaknya kekeliruan membuat saya terpaku kepadanya hingga lupa dengan kekeliruan saya sendiri. Jika dituruti, mengamati kekeliruan yang terjadi menggoda saya untuk terpancing menjadi kesal hati. Jika kesal hati dituruti, bisa memancing yang lainnya lagi, misalnya mengomel atau bahkan marah.

Saya sendiri belum bisa membebaskan diri dari soal-soal semacam itu. Cenderung terganggu ketika  melihat kekeliruan-kekeliruan itu terjadi, meski tak berhubungan langsung terhadap saya. Melihat saja sudah terganggu, apalagi terlibat dengannya. Di jalanan, di pekerjaan, bahkan di rumah sendiri, amat mudah menemukan soal-soal yang membuat kesal.


Semakin banyak sumber kekeliruan, semakin banyak pula sumber kekesalan saya. Tapi, setelah saya amati, kekesalan saya sia-sia, tidak merubah apa pun. Ketika pembantu lupa mengembalikan barang-barang pada tempatnya, sekalipun saya marah-marah tidak membuat barang itu balik ke tempatnya. Siapa yang marah malah cenderung tidak melakukan tindakan apa-apa.

Daripada cuma marah tanpa tindakan, pasti lebih baik marah sambil tetap bertindak, walau hasilnya belum tentu maksimal. Bertindak sambil marah atau mengomel juga akan menguras enerji kita lebih banyak. Lebih baik enerji untuk marah dipakai untuk menambah tindakan, tentu hasilnya akan lebih baik. 

Maka, ketika mobil saya mau ke luar tidak tampak satpam yang membukakan pintu gerbang, saya buka sendiri, apa susahnya. Melihat sampah yang tercecer di lantai kantor, saya memungut sendiri dan menyingkirkannya ketika berjalan melewatinya, apa sulitnya. Hal ini membuat karyawan yang melihatnya sungkan dan makin rajin dalam menjaga kebersihan. 

Awal ketika saya menginginkan para karyawan konsisten melakukan senyum salam sapa terhadap pelanggan, hawanya kesal belaka karena mereka belum terbiasa. Hampir hilang seluruh akal saya dan cuma uring-uringan saat sudah mencoba berbagai cara agar mereka bisa, tapi tidak membawa hasil. Sampai suatu saat saya menemukan ide, yaitu ‘dengan bertindak’ memberikan salam terlebih dahulu terhadap mereka.

Salam duluan dari saya sebagai pimpinan tentu mengejutkan mereka. Pada mulanya mereka kaget dan canggung sampai diam kebingungan terlambat bereaksi, tetapi kemudian memberi hasil yang memuaskan. Akhirnya mereka menjadi tidak enak hati didahului oleh pimpinan, sehingga berusaha memberikan salam setiap bertemu saya.

Kini, setiap ada dorongan untuk mengomel atau marah, segera saya ubah menjadi tindakan. Agak berat pada mulanya, tetapi saya yakini bahwa berat itu hanya suatu awalan. Setelah ia menjadi kebiasaan, maka yang berat itu menjadi biasa-biasa saja. Dari hari ke hari, saya makin yakin bahwa bukan omelan atau marah yang dapat memperbaiki keadaan, tetapi hanya tindakan.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.


Jumat, 06 Februari 2015

Karyawan Saya Bukan Saya


Menjadi seorang karyawan, menurut saya lebih banyak dukanya ketimbang sukanya. Berbuat salah sedikit bisa dimarahi atasan atau paling tidak kena teguran, apalagi jika salahnya banyak. Itu adalah pengalaman saya selama bertahun-tahun, sebelum memberanikan diri ambil pensiun dini kemudian beralih haluan menjadi pengusaha.

Karena itulah sebagai pengusaha mantan karyawan, saya berusaha sedapat mungkin mengendalikan diri untuk tidak sering memberikan teguran apalagi marah-marah atau pun berkata kasar terhadap karyawan. Tetapi namanya manusia berusaha, ada kalanya saya gagal ada kalanya sukses. Jika gagal, setidaknya ia memberi pelajaran. Jika sukses, tentu membawa kegembiraan.

Jika akhirnya saya tak tahan dan terpaksa melakukannya, teguran saya jadi terukur dan secukupnya saja, karena ada faktor usaha di dalamnya. Kalau pun pertahanan saya jebol, tidak jebol seluruhnya. Kalau usaha saya berhasil untuk tidak menegur walaupun sebenarnya ingin menegur, saya sungguh gembira, berarti saya telah memiliki kesabaran. Itulah inti dari usaha pengendalian diri.

Saat saya gagal mengendalikan diri, saya belajar dan bertanya kenapa. Saat sukses saya juga belajar dan bertanya kenapa. Gagal atau sukses ternyata ada polanya. Lalu saya identifikasi polanya sampai ketemu. Ternyata, semua berawal dari pemahaman saya atas diri sendiri dan mereka. Kemungkinan saya kurang memahami mereka.

Banyak sekali soal yang membuat saya ingin memberikan teguran, dari mulai soal remeh sampai soal yang serius. Dari soal absensi, kebersihan, seragam, sampai soal target yang tidak tercapai. Menahan diri untuk tidak memberikan teguran secara pribadi, jelas menjadi persoalan yang tidak mudah saat mendapati banyaknya pelanggaran.

Dari sudut saya jelas, visi misi perusahaan tertuang dalam kalimat yang indah, terpampang terang benderang menjadi suatu kebanggaan. Peraturan perusahaan harus ditegakkan, kedisiplinan kerja selalu terjaga, hak dan kewajiban karyawan juga terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Itulah mengapa saya memiliki daftar panjang keinginan saya terhadap mereka.

Semakin panjang daftar keinginan saya, semakin panjang pula daftar kemarahan saya kalau bertemu dengan kesalahan. Kita memang seumur hidup telah dilatih sedemikan rupa untuk memergoki orang sedang melakukan sesuatu yang salah. Orang tua kita, guru, atasan kita, selalu memberikan teguran atas sesuatu yang telah kita lakukan, sehingga kita cenderung berpikir sama dengan mereka.

Tapi, ketika saya tak cuma paham diri sendiri tapi juga paham mereka, segera saya menyadari bahwa keinginan saya bukan keinginan mereka. Daftar saya juga bukan daftar mereka. Mereka juga punya daftar panjang sendiri, yang banyak berbeda dengan daftar saya. Memang ada beberapa yang sama. Tapi ketika keinginan mereka berbeda, ternyata itu yang tidak saya sukai.

Padahal, saya yang tidak suka itu, dulu juga mempunyai daftar keinginan yang sama dengan mereka. Bukan saya yang sekarang, tapi saya yang dulu ketika masih berstatus seorang karyawan. Menuntut hak lebih saya pentingkan ketimbang kewajiban. Sudut pandang saya sebagai karyawan, tidak sama dengan sudut pandang pemilik perusahaan. Menyamakan persepsi, adalah tugas saya sekarang.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 02 Februari 2015

Es Pisang Ijo


Sudah menjadi ritual di rumahku setiap sore selalu tersedia beraneka macam jajanan di meja. Setiap hari penyajiannya berbeda kombinasi jenisnya agar tidak bosan ketika memakannya. Hampir semua jajanan yang ada di sini pernah didatangkan ke mejaku. Dari mulai kue basah yang jenisnya banyak sekali sampai aneka gorengan, bubur, kolak dan sebagainya. 

Di antara jajanan itu, ada yang ingin saya bahas yaitu es pisang ijo. Kebetulan sore ini jatah makanan ini, tapi batal tersedia di hadapanku, karena penjualnya tutup. Makanan ini sebetulnya khas kota Makasar, namun sudah hampir sepuluh tahun ada di kotaku. Rasanya pun dijamin tidak kalah enak dengan yang aslinya, bahkan menurut lidahku lebih mantap yang satu ini.

Disajikan campur dengan bubur sumsum yang gurih membuat rasanya manis-manis asin. Pisangnya berasal dari pisang ambon yang dipotong-potong seruas jempol lalu dibungkus dengan adonan dari terigu warna hijau, sehingga dinamakan pisang ijo. Entah bagaimana mereka punya ide menjual ini, karena ibu penjualnya asli orang Cilacap dan sedangkan suaminya bukan pula orang Makasar.

Setiap makan es pisang ijo ini, saya selalu teringat cerita dari teman asal Makasar tentang makna pisang dalam kehidupan. Itulah kenapa saya segera menuliskannya mumpung sedang teringat. Ketika kami bertemu, ia bercerita tentang kisah seru perjalanannya ke luar negeri, diantaranya ke negara Nepal yang menghabiskan beberapa minggu di sebuah biara. 

Suatu hari, ia berjalan-jalan di dekat biara tersebut bersama salah seorang biksu. Biksu itu membuka tas yang selalu dibawa-bawanya, kemudian berkata kepadanya. “ Tahukah kau bahwa pisang dapat mengajarimu makna kehidupan ?” Biksu itu mengeluarkan pisang yang sudah busuk dari dalam tas dan membuangnya.

“ Ini kehidupan yang sudah lewat dan berlalu, dan tidak dimanfaatkan sepenuhnya, sehingga sekarang sudah terlambat.” 

Kemudian biksu itu mengeluarkan sebutir pisang lain, tapi masih hijau dan mentah. Diperlihatkannya pisang itu kepada teman itu kemudian dimasukkan kembali ke dalam tasnya.

“ Ini kehidupan yang belum terjadi, dan harus kita tunggu sampai tepat pada waktunya.”

Akhirnya si biksu mengeluarkan sebutir pisang yang benar-benar sudah masak, lalu mengupas dan membaginya dengan teman itu.

“ Ini kehidupan saat ini. Belajarlah untuk memakannya sampai habis tanpa rasa takut atau bersalah.”

Bertolak dari diri saya sendiri, dua persoalan yang melelahkan pikiran adalah datang dari masa silam dan masa datang, bukan masa kini. Pengalaman buruk, walaupun saya tidak menulisnya di kolom ini, tapi ingatan saya terus menulisnya dan imajinasi saya terus merawatnya. Itulah kenapa, masa lalu sering memenjara kita.

Lalu, pada masa depan , kita sibuk merangkai aneka bayangan yang serba menakutkan. Masa depan itu penting dibayangkan tapi tidak untuk ditakutkan. Hidup saya hari ini, adalah masa depan yang dulu saya takutkan. Ternyata, tidak semenakutkan yang kita dulu bayangkan. Karena sibuk mengurus masa lalu dan masa depan, saya sampai lupa menikmati hari ini, apalagi mensyukuri.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.