Bersama jajaran Manajemen dan Karyawan yang dibawahinya.

Liburan bersama keluarga

Bersama istri tercinta "Laniati Dewi".

Hidup hanya sekali...Hiduplah dengan Luar Biasa !!

Bersama manajer pelumas "Sutoyo Wijaya" salah satu divisi yang dibawahinya

Sabtu, 28 Maret 2015

Nasibku di Hari Ini


Nasibku di hari ini tidak melulu cuma hasil dari usahaku semata. Tidak terbilang banyaknya pihak lain yang ikut andil dalam keberhasilan diriku. Jumlah mereka terlampau banyak untuk bisa kuhitung dan kutahu. Memang benar ada unsur aku di dalamnya, tapi keliru jika kita menganggap diri sendiri bisa sukses tanpa keterlibatan pihak lain.

Soal keterlibatan dari pihak lain inilah yang akan kuceritakan. Dulu, ketika masih berstatus seorang karyawan mempunyai kegiatan usaha sampingan adalah modal dasar yang kemudian mengantarku menjadi pengusaha. Dengan belajar setahap demi setahap, selangkah demi selangkah, dari sekadar bisnis sampai akhirnya menjadi bisnis yang serius.

Karena sering ke Glodok Jakarta, seorang teman minta dibelikan sebuah televisi yang layarnya besar. Pada waktu itu toko-toko di daerah termasuk kotaku masih jadi barang langka dan mahal. Awalnya kudiamkan karena aku tidak mengerti apa-apa tentang barang elektronik, takut salah meskipun tahu bisa mendapat untung dari selisih harga barang tersebut.

Kalau kemudian aku berani berdagang berbagai barang-barang elektronik sebagai usaha sampingan adalah lebih karena permintaan temanku yang terus menerus. Keberanianku jadi muncul karena ada pihak lain yang mendukungku. Tanpa dukungannya, mungkin aku tak akan berani mencoba bekerja sambil berbisnis.

Tidak hanya itu saja, pihak toko tempat kulakan barang dagangan juga mendukung. Awalnya mereka cuma memberi diskon karena belanja cukup banyak. Lama kelamaan boleh kubayar tempo sehingga bisa belanja lebih banyak lagi. Pelanggan bertambah banyak, omset pun naik penghasilan meningkat secara drastis.

Untuk memiliki usaha sampingan saja betapa banyak pihak lain yang mendukungku. Seahli apapun dalam menjual, percuma saja jika tidak ada yang membeli. Ada para pembeli pun percuma jika tak ada yang dijual. Barang yang dijual pun harus ada yang memproduksi. Jadi, pada setiap nasib seseorang ada peran dari pihak-pihak lain yang sulit dimengerti seolah mereka bekerja untuk kita.

Kedudukan diri sendiri dalam hal itu hanya kemampuan untuk menyesuaikan. Jika ia pengusaha, ia menyesuaikan kebutuhan pasar. Jika ia ulama, ia menyesuaikan kebutuhan umat. Jika ia petani akan menyesuaikan musim. Jika ia seorang konsutan ia pun akan menyesuaikan kebutuhan dari kliennya. Itu semua adalah hukum yang harus kita taati, karena cuma itulah navigasi hidup.

Semua berjalan sesuai hukumnya,seperti planet akan keluar dari kedudukannya sebagai planet kalau ia keluar orbit. Maka barang siapa telah berada di dalam orbit, ia akan mengalami kemudahan untuk sukses. Seolah, tanpa usaha keras ia akan mendapatkan, tanpa belajar ia lulus ujian, tanpa berjalan ia sampai ke tujuan. 

Bagi pihak yang telah mengorbit semuanya memang tampak mudah. Untuk berada di dalam orbit itulah yang susah. Bagi pihak yang telah sukses, semua pihak seolah bekerja untuknya. Sayangnya, untuk menjadi pihak yang sukses itulah yang tidak mudah. Jika mau mudah, mungkin perlu bertanya pada Mario Teguh.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Rabu, 25 Maret 2015

Lokasi Merokok


Sebagai pecandu berat rokok, saya mempunyai ketajaman menemukan lokasi-lokasi yang tepat dan aman untuk merokok. Misal, ketika memasuki sebuah restoran yang selalu saya perhatikan pertama kali apakah ada orang yang sedang merokok di situ atau asbak yang tersedia di meja. Jika ragu, saya akan menanyakan kepada pelayan di mana diperbolehkan merokok.

Menemukan tempat merokok di Indonesia lebih mudah, karena hampir tidak ada larangan merokok kecuali di wilayah tertentu.  Terutama di area publik seperti di rumah sakit, mall, hotel, perkantoran, kendaraan umum dan lain-lain. Jika merokok di luar negeri, barulah kita harus lebih waspada karena beda negara beda aturannya. Melanggar aturan bisa kena denda yang cukup besar.

Ketika berada di area terbuka, saya bahkan tidak berani sembarangan merokok, beda ketika berada di negeri sendiri. Apalagi jika tidak tampak orang yang sedang merokok. Saya harus memandang ke bawah, mencari buangan puntung rokok orang lain, sebagai tanda bahwa pernah ada yang merokok di sekitar itu. Setelah yakin benar-benar aman, baru saya dapat merokok dengan tenang.


Kebiasaan merokok juga menyiksa ketika harus terbang, karena semua penerbangan saat ini adalah penerbangan bebas rokok. Karena itulah, saya selalu mencari tahu di mana lokasi area merokok di setiap bandara yang saya kunjungi. Saya banyak menemukan teman diskusi tak sengaja, berkenalan dengan sahabat baru, cuma dengan nongkrong di lokasi merokok bandara.

Kebiasaan saya mengobrol, terutama saat sedang melayani pelanggan, mengeram secara kejiwaan sehingga membuat saya tidak bisa berdiam diri ketika bertemu orang asing sekalipun. Sama seperti kebiasaan merokok saya yang belum bisa berhenti. Begitu banyak nilai-nilai kehidupan yang dapat kita gali dengan mengobrol di manapun dengan siapapun dan dalam keadaan apapun.

Lokasi merokok seperti di bandara ini sangat memenuhi syarat untuk menunggu boarding, merokok sambil memperoleh informasi-informasi baru karena setiap orang adalah buku pelajaran. Untuk bisa mendapatkan pelajaran cukup banyak, maka kita harus melayani mereka ngobrol tentang topik apa saja dengan lebih bersikap sebagai pendengar dan penanya. 

Semakin mereka didengarkan semakin panjang mereka bercerita dan tugas saya cuma menyambung dengan pertanyaan lagi, sehingga ceritanya akan bertambah panjang. Cerita yang datang dari aneka pribadi dengan aneka latar belakang, bahkan aneka disiplin ilmu dan aneka sudut pandang, sungguh seperti bertemu dosen luar biasa. Benar-benar dapat memperkaya hati dan pikiran.

Bagi Anda yang tidak merokok, bisa Anda praktikkan di mana saja. Termasuk saat Anda duduk sendiri menunggu istri merampungkan urusan di pusat perbelanjaan. Bahkan di tempat parkir, saya sering ngobrol dengan tukang parkir setempat secara serius dan seru. Setiap ada kesempatan mendekati atau berdekatan dengan orang lain di lokasi manapun, kebiasaan ini tentu saya lakukan.

Kebiasaan baik yang akan terus saya pertahankan, karena mengandung bermacam-macam rezeki kemungkinan. Sementara kebiasaan buruk merokok ini belum bisa berhenti, maka lokasi merokok inilah yang sering saya jadikan universitas terbuka ketika bepergian. Sambil menyelam minum air, sambil merokok dapat pelajaran. 

Tapi namanya kebiasaan buruk, sebaiknya jangan ditiru karena merokok berbahaya bagi kesehatan. 

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Kamis, 19 Maret 2015

Mengganti Hati

Sebenarnya jumlah sumber jengkel dan iba sama banyaknya di sekitar kita, tapi saya lebih mudah menemukan jengkel daripada iba. Seperti dalam seminggu ini misalnya, dua kali saya ke Jakarta menggunakan jasa kereta api, dua kali pula saya mengalami kejengkelan. Hanya karena sopir tua kami selalu salah pintu dalam menjemput.



Setiap turun dari kereta, saya akan keluar stasiun dari pintu utara, karena pintu itulah yang terdekat dengan gerbong yang saya tumpangi. Tapi sopir itu menjemput di pintu selatan sehingga saya harus berjalan kaki cukup jauh dengan beban barang bawaan. Padahal, saya sudah beritahukan berkali-kali untuk menunggu saja di pintu utara.



Jadi, kejengkelan itu bisa berada di balik apa saja, termasuk dalam soal yang itu-itu saja. Mungkin ia salah dalam menerjemahkan instruksi. Mungkin ia memang perlu ditegur berkali-kali. Tapi, jika saya lihat dari arah sebaliknya, baru saya menemukan iba. Iba tidak begitu saja muncul, karena saya harus mencarinya. Bisa melalui wajah sopir yang mulai tua, bisa melalui tubuhnya yang tidak segesit dulu lagi.



Terhadap pembantu juga demikian, kita bayar tenaganya sangat murah sehingga wajar saja kalau ia rawan salah. Mau murah tapi tidak mau resiko salah, jelas tidak masuk akal. Melihat dari sisi ini saja, membuat saya harus mengubur semua kesalahan-kesalahannya. Ada banyak persoalan yang sering kita lihat cuma dari satu arah sehingga membuat kita miskin sudut pandang.



Mengundang rasa jengkel ke dalam diri kita begitu mudahnya karena terlalu banyak terjadi soal-soal yang keliru menurut kita. Tetapi, mengundang rasa iba bagi saya lebih sulit karena saya bukan orang yang terlalu lembut. Itulah kenapa saya perlu membayangkan berbagai hal yang dapat memancing keharuan.




Misal, kepada para pengamen dan peminta-minta, sekuat tenaga saya menepis pikiran kalau mereka adalah gangguan. Boleh jadi, karena saya belum pada posisi yang mendatangi mereka, itulah kenapa  mereka dikirim kepada saya agar saya tersentuh pada kesulitan sesama. Sayang sekali tidak seluruh dari mereka yang datang mengundang keibaan saya.
 



Terharu kepada orang lain mungkin memang masih sulit, maka saya mencoba berlatih dengan yang lebih mudah. Misalnya, memandang mata kucing kami yang tampak memelas, padahal semua mata kucing memang begitu. Maklum, karena ia kucing kesayangan saya. Ketika ia mengeluarkan suara meong-meong di dalam kandang, saya tidak tega dan segera mengeluarkannya.



Ketika suatu saat ia lari ketakutan oleh sebuah suara, saya segera datang menawarkan perlindungan. Tiba-tiba, saya merasa segala sesuatu tentang hewan ini adalah soal-soal yang membuat saya iba. Padahal, saya yakin ia kucing yang sedang baik-baik saja. Bahkan nasibnya jelas lebih baik dari kucing kebanyakan yang miskin perhatian.



Belajar menemukan sumber rasa iba sebagai pengganti jengkel di sekitar kita tentu tidak akan sia-sia. Saya yakin jika kita kerap melakukannya ia pasti akan lebih sering hadir, menggeser kedudukan jengkel dan menghadiahi hati ini berupa kesabaran dan kelembutan.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Selasa, 17 Maret 2015

Perjalanan Naik Onta


Awalnya, pengalaman naik onta saya pikir akan membawa kegembiraan semata. Kapan lagi saya bisa naik onta karena di negeri sendiri hewan itu tidak ada, itu alasan yang pertama. Alasan yang kedua, ada misi sakral dalam perjalanan naik onta kali ini, yaitu mendaki bukit Sinai di Mesir tempat di mana nabi Musa mendapatkan sepuluh perintah Allah.

Dua alasan itu saja sudah cukup membuat saya bersemangat untuk gembira, apalagi jika nanti sepanjang jalan yang dilalui ternyata indah pemandangannya, bisa untuk foto-foto. Tujuan wisata, selain melihat tempat indah yang belum pernah didatangi, belanja cendera mata, ya berfoto-foto, termasuk selfie untuk update status. Tidak terkecuali dalam wisata rohani, hanya mungkin ibadah di sini lebih diutamakan.

Tapi, ketika sore itu kami sampai di kaki bukit Sinai, semangat yang tadinya tinggi, turun drastis. Apa yang saya lihat, tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan. Bukit Sinai yang ada di hadapan saya ternyata bukit tinggi berbatu yang terjal dan tandus, semuanya batu. Bau kencing dan kotoran onta juga begitu menyengat menyambut kami, mengurangi jumah kegembiraan saya.

Ini baru permulaan pengurang kegembiraan. Saya sebut pengurang saja, agar tidak keterlaluan kalau menganggapnya penderitaan untuk tujuan yang sakral. Pelana onta yang terdiri dari tumpukan kain kumal yang cukup tebal dengan tonggak kayu kecil di bagian depan dan belakang sebagai penahan punggung, sangat jauh dari aman, apalagi nyaman. 

Walaupun pelananya sudah dibuat berukuran hanya muat untuk satu orang dan membuat kita yang duduk di atasnya sulit bergeser, tapi pegangan kayu itu sungguh mengkhawatirkan. Apalagi berbeda dengan naik kuda yang mempunyai injakan pedal untuk kaki kita. Kaki akan mengangkangi punggung onta tanpa pijakan.


Dan ketika onta mulai melangkahkan kakinya, saya langsung kesakitan. Punggung saya rasanya mau patah terbentur kayu penahan di pelana onta itu, karena goncangan onta akibat jalan yang tidak rata dan berbatu. Baru berjalan tiga langkah dari tujuh setengah kilometer yang harus saya tempuh saja sudah menyakitkan. Padahal, lama perjalanan naik onta menempuh jarak itu sekitar satu setengah sampai dua jam.


Membayangkan derita yang harus saya rasakan selama dua jam, rasanya saya ingin menyerah kalau saja tidak melihat istri yang tampak santai naik onta yang lain. Itulah kenapa akhirnya saya memilih bertahan, tangan yang satu memegang penahan kayu di belakang agar supaya tidak langsung kena punggung dan tangan yang lain di penahan kayu depan sebagai pegangan.

Semakin naik ke bukit, ternyata semakin mengerikan, melihat ke kanan dan kiri cuma jurang berbatu yang terjal. Tidak hanya sekali saya menyebut Tuhan, bahkan sepanjang jalan saya hanya bisa berdoa tanpa henti. Saya berdoa bukan karena layaknya orang saleh dan mulia, tapi semata-mata karena takut kaki onta tergelincir terjatuh ke jurang.

Di dalam ketakutan semacam ini, anak istri, saudara, tetangga benar-benar tak berdaya, karena saya hanya berdua bersama onta. Mustahil saya berbagi ketakutan dengan mereka. Jarak onta yang satu dengan yang lain cukup jauh, sehingga saya benar-benar merasa sendirian, maka apa salahnya jika Tuhan saya dekati dengan cara tidak sengaja seperti ini.

Hanya soal naik onta saja, ternyata hanya Tuhan yang bisa sebagai sandaran. Maka, ketika sampai di puncak bukit dan saya turun dari onta, saya benar-benar gembira. Bukan karena saya telah berhasil menyelesaikan perjalanan naik onta tapi karena sepanjang perjalanan itu dekat dengan-Nya. Sebuah kebersamaan yang jarang saya lakukan dalam keseharian.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.