Bersama jajaran Manajemen dan Karyawan yang dibawahinya.

Liburan bersama keluarga

Bersama istri tercinta "Laniati Dewi".

Hidup hanya sekali...Hiduplah dengan Luar Biasa !!

Bersama manajer pelumas "Sutoyo Wijaya" salah satu divisi yang dibawahinya

Jumat, 05 Juni 2015

Kemalasan


Semakin lama tidak menulis, semakin malas untuk menulis. Itu yang sedang saya alami akhir-akhir ini. Awal-awal mulai menulis, saya begitu giat menghasilkan tulisan. Sekarang godaan untuk tidak menulis makin meningkat. Dari setiap hari, lalu seminggu dua tiga kali dan saat ini sudah lebih dari seminggu absen menulis. Bisa saja saya beralasan karena pekerjaaan semakin sibuk dan semakin banyak yang dipikirkan. Namun yang pasti ada kemalasan di dalamnya.

Kemalasan memang dapat menghinggapi siapa saja, termasuk saya. Mungkin tingkat kemalasan saya bahkan cukup tinggi. Kalau saya tampak rajin bekerja, sesungguhnya itu hanya terpaksa karena kalau saya tidak rajin bekerja mungkin bisnis saya mengalami kemunduran. Jika saya terlihat bekerja keras mungkin juga karena adanya berbagai tekanan dari tanggung jawab yang semakin besar.

Karena tekanan-tekanan itulah maka saya butuh beristirahat sejenak dengan bermalas-malasan asal masih dalam batas kewajaran. Biarpun saya malas menulis saya masih giat membaca buku. Jadi tidak seluruhnya berisi kemalasan, hanya masalah prioritas, mana yang dipentingkan dan mana yang tidak terlalu saya pentingkan.

Mungkin karena ada soal yang lebih penting yang sedang saya pikirkan sehingga yang tadinya nomor satu menjadi nomor sekian. Fokus pada yang satu, yang lain jadi mengabur. Hidup dengan satu fokus ada kalanya penting. Tapi ternyata memfokuskan yang satu tidak berarti boleh mengaburkan yang lain. Mementingkan yang satu tidak boleh meremehkan yang lain.



Apalagi banyak orang tidak percaya jika saya orang yang malas. Terbukti waktu saya menulis status soal malas di media sosial, banyak yang tidak percaya. Itu pasti karena kesan yang saya peragakan selama ini, tidak mencerminkan kemalasan. Padahal, yang namanya kesan walaupun kadang bisa mewakili kenyataan, ia tak selalu berarti kenyataan. 

Saya pasti dikesankan rajin dan penuh semangat, sehingga orang tidak percaya jika saya juga sering malas. Seeorang yang dikesankan pintar, belum tentu benar-benar pintar. Dikesankan mulia, belum tentu benar-benar mulia. Mungkin juga saya dikesankan sebagai orang pintar dan mulia, padahal pintar dan mulia sekali sebetulnya juga tidak. Saya tahu persis siapa diri saya.

Tetapi berusaha ingin dikesankan yang positif dan baik-baik seperti itu memang saya akui. Saya lebih memilih dikesankan sebagai orang pintar daripada yang bodoh. Karena untuk mendapat kesan pintar di dalamnya ada usaha-usaha menuju pintar. Karena ingin dikesankan pintar maka ada usaha-usaha untuk melawan kebodohan, misalnya dengan rajin belajar.

Cara seperti itulah yang saya lakukan untuk memperoleh kesan yang baik selama ini. Pada mulanya mungkin saya terpaksa, lama-lama menjadi terbiasa. Dengan membiasakan diri pada soal-soal yang baik maka kesan baik itu akhirnya dirasakan oleh sebagian kalangan. Berawal dari terpaksa akhirnya menjadi kebiasaan dan siapa tahu dari mulanya kesan akan mendekati kebaikan yang dikesankan. 

Jadi, kesan itu penting. Dengan memperoleh kesan yang baik, maka kesan-kesan yang buruk tentu akan menjauh. Seperti ketika saya menyampaikan soal tentang kemalasan yang sedang saya alami ternyata sama sekali tidak mengesankan sebagai pemalas. Tapi kesan apapun takkan berarti tanpa kenyataan. Memperbesar kesan kebaikan kemudian mewujudkannya menjadi kenyataan, itu yang harus kita lakukan.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.