Rabu, 15 April 2015

Rambut Tukang Bakso


Berhentilah menilai orang dari penampilannya, maka kita tak akan terkecoh. Pelajaran ini diberikan oleh tukang bakso yang sering mampir ke bengkelku. Perkenalanku dengan tukang bakso inilah yang hendak kuceritakan. Dia rambutnya gondrong, penampilannya rapi, sama sekali tidak menyerupai abang bakso keliling menurut pandanganku.

Ketika ia masuk ke bengkelku aku menyambutnya bak melayani seorang pelanggan, apalagi saat dia berjalan berdampingan dengan seorang ibu. Kupikir suaminya ibu itu, maka keakraban belaka yang kuperagakan, senyum salam sapa tidak ketinggalan. Tapi rupanya aku yang terkecoh kali ini, ia cuma masuk untuk mengambil mangkok. Mangkok bakso bekas pesanan seorang staffku.

Bagiku seorang tukang bakso tidak boleh berambut gondrong, apalagi berpakaian rapi. Terhadap orang lain tiba-tiba aku menetapkan banyak persyaratan. Menurutku cuma seniman, roker atau preman yang layak bergaya rambut gondrong dan menguncir rambut. Tapi kuli bangunan tidak, penjual sayuran, abang bakso juga tidak, pengangguran apalagi, ia harus tahu diri dan harus tahu kedudukannya.


Jika engkau seorang pengangguran, jangan coba-coba bertingkah macam-macam agar lebih mudah mendapat pekerjaan karena orang sedang menilaimu. Yang kasat mata, pasti selalu didahulukan dan menjadi bahan pertimbangan pertama dalam menilai sesuatu. Itulah kenapa lebih mudah memberi penilaian secara subyektif ketimbang obyektif.

Seorang juri yang seharusnya bisa memberikan penilaian lebih obyektif saja masih terpengaruh pada penampilan fisik seseorang. Yang profesional saja masih seperti itu apalagi cuma kita. Terbukti ketika seorang peserta audisi X factor Indonesia tahap pertama tampil di panggung. Cara berjalannya saja langsung dikritisi, mau menyanyi malah ditanya bela diri, hanya karena melihat tampangnya ndeso.

Beby Romeo penyanyi bersuara bariton kesukaanku, pasti tidak jahat dengan meremehkan peserta itu. Mungkin dia tidak tahan memandang penampilan orang desa berani ikut audisi. Apalagi ketika ditanya mau menyanyi lagu apa, ia menjawab lagu Mirasantika ( Minuman keras dan narkotika ) karya bang haji. Lengkap sudah pelecehan itu dapat diterima karena pilihan lagunya juga bukan lagu yang diharapkan oleh para juri.

Para juri yang terdiri dari Beby Romeo, Rossa, Afghan dan Achmad Dani pasti memandang rendah pilihan itu. Maka ketika Boby Berliandika mulai bernyanyi, tiba-tiba semua juri terkejut, penonton pun terkesiap karena yang terdengar bukan musik dangdut, tapi sudah diaransemen sedemikian rupa dan vokalnya juga luar biasa, sehingga dihentikan oleh Rossa sebelum lagu tersebut selesai dinyanyikan dan hasilnya membawa pulang 4 yes dari para juri.

Para juri itu dikirim ke dunia ini pasti bukan untuk menyakiti sesama. Demikian pula kita ketika keliru menilai orang lain sehingga tanpa sengaja menyakitinya. Para juri pasti menyesali diri karena telah melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang kurang etis terhadapnya, bahkan ketika Boby menjawab termotivasi ikut audisi karena dorongan almarhum ayahnya.

Untung kepada si abang bakso yang berambut gondrong itu, aku tidak sampai menyakitinya hanya sekadar terkecoh dengan penampilannya. Seandainya aku keliru menilai seorang pelanggan yang kukira tukang bakso, tentu lain ceritanya.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar