Minggu, 05 April 2015

Satarabak


Membandingkan Mesir dengan Indonesia atau Jakarta dengan Kairo, membuat saya lebih bersyukur karena ternyata negeri sendiri lebih makmur, lebih maju dan lebih bersih. Jakarta memang bukan kota yang bersih, tapi tumpukan sampah tidak sebanyak di sini. Kalau masalah lalu lintas di Jakarta adalah macet, masalah di sini adalah semrawut. Lampu lalu lintas saja di ibu kota cuma ada satu.

Jalan-jalan begitu kacaunya karena orang berkendara semaunya tanpa menaruh perhatian pada rambu-rambu. Katanya, mereka tidak ada yang punya sim, bahkan menolak memilikinya walaupun tidak mahal. Apalagi jika biaya sim mahal seperti di negeri kita. Jangan berharap kita dapat melihat mobil mewah berlalu lalang di jalan. Jangankan mobil mewah, mobil bagus pun jarang.

Tumpukan sampah, mobil bobrok, udara berdebu, kemiskinan adalah pemandangan biasa di negeri ini. Jadi, jika tanpa petunjuk pemandu tur, mungkin kita bingung memilih tempat yang tepat untuk makan dan minum. Semua tempat tampak kumuh dan kotor, ingin sekadar minum kopi pun takkan terpenuhi. Tidak ada tempat ngopi yang setara dengan Starbucks.

“ Kalau di Indonesia marak kedai kopi seperti Starbucks (baca: starbaks), Mesir juga punya namanya ‘Satarabak’,” kata pemandu tur Mesir tidak mau kalah. “Kalau Anda nanti naik ke puncak bukit Sinai, Anda bisa minum kopi di sana, “tambahnya lagi. Minum kopi di Starbucks, saya sudah biasa, karena di kota-kota besar pasti ada. Tapi minum kopi di satarabak tentu sebuah pengalaman yang baru.

Sebelum mendaki, saya membayangkan satarabak seperti kedai-kedai kopi seperti umumnya daerah tujuan wisata, tapi ternyata keliru. Karena tiba di puncak itu sudah petang, maka yang tampak hanya kegelapan, sepi, tak ada listrik. Di atas bukit itu tidak ada bangunan lain kecuali sebuah warung kecil, sepetak tepatnya ! Di bawah penerangan lampu minyak, tempat duduk hanya dari batu beralas kain, ruangan sempit, dan bau kencing onta, mau muntah rasanya.

Menikmati segelas kopi seharga dua dolar, di tempat yang jauh dari yang dibayangkan, tentu wajar jika kecewa. Sudut pandang ini pasti boleh saja saya pakai, apalagi bagi pecandu berat kopi seperti saya sebab kopi semacam ini sama sekali tidak bisa disebut kopi. Kebiasaan minum kopi di tempat sekelas Starbucks jelas menambah kejengkelan saja. 

Tapi ketika sudut pandangnya saya geser, beda lagi persoalannya. Langsung menjadi sudut bahagia. Pada saat dingin sangat menusuk tulang, jaket tidak lagi mampu jadi andalan, secangkir kopi panas sungguh keajaiban. Menemukan penghangat badan, pasti keberuntungan. Keberuntungan ganda karena tubuh hangat dapat menekan keinginan pipis, di mana jangan berharap ada toilet. Terutama bagi para ibu, jika tak mau pipis di tanah bebatuan.

Yang lebih mencengangkan lagi, ternyata di warung kecil satarabak ini, juga tersedia indomie buatan Indonesia, walaupun harganya cukup mahal, lima dolar. Jangan-jangan turis bangsa kita yang paling banyak datang ke sini, karena mereka sampai berani mempunyai persediaan indomie. Atau mungkin karena produk indomie memang sudah mendunia. 

Maka tidak peduli seberapa buruknya dan seberapa baunya satarabak ini, mendapat secangkir kopi panas dan indomie di tempat ini sungguh soal yang luar biasa. Jadi, kualitas kita dalam menggeser sudut pandang, ternyata dapat membuat satarabak ini mengalahkan Starbucks, kedai kopi ternama di dunia.



Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar