Semakin lama tidak menulis, semakin malas untuk menulis. Itu yang sedang saya alami akhir-akhir ini. Awal-awal mulai menulis, saya begitu giat menghasilkan tulisan. Sekarang godaan untuk tidak menulis makin meningkat. Dari setiap hari, lalu seminggu dua tiga kali dan saat ini sudah lebih dari seminggu absen menulis. Bisa saja saya beralasan karena pekerjaaan semakin sibuk dan semakin banyak yang dipikirkan. Namun yang pasti ada kemalasan di dalamnya.
Kemalasan
memang dapat menghinggapi siapa saja, termasuk saya. Mungkin tingkat kemalasan
saya bahkan cukup tinggi. Kalau saya tampak rajin bekerja, sesungguhnya itu
hanya terpaksa karena kalau saya tidak rajin bekerja mungkin bisnis saya
mengalami kemunduran. Jika saya terlihat bekerja keras mungkin juga karena
adanya berbagai tekanan dari tanggung jawab yang semakin besar.
Karena
tekanan-tekanan itulah maka saya butuh beristirahat sejenak dengan
bermalas-malasan asal masih dalam batas kewajaran. Biarpun saya malas menulis
saya masih giat membaca buku. Jadi tidak seluruhnya berisi kemalasan, hanya
masalah prioritas, mana yang dipentingkan dan mana yang tidak terlalu saya
pentingkan.
Mungkin
karena ada soal yang lebih penting yang sedang saya pikirkan sehingga yang
tadinya nomor satu menjadi nomor sekian. Fokus pada yang satu, yang lain jadi
mengabur. Hidup dengan satu fokus ada kalanya penting. Tapi ternyata
memfokuskan yang satu tidak berarti boleh mengaburkan yang lain. Mementingkan
yang satu tidak boleh meremehkan yang lain.
Apalagi
banyak orang tidak percaya jika saya orang yang malas. Terbukti waktu saya
menulis status soal malas di media sosial, banyak yang tidak percaya. Itu pasti
karena kesan yang saya peragakan selama ini, tidak mencerminkan kemalasan.
Padahal, yang namanya kesan walaupun kadang bisa mewakili kenyataan, ia tak
selalu berarti kenyataan.
Saya
pasti dikesankan rajin dan penuh semangat, sehingga orang tidak percaya jika
saya juga sering malas. Seeorang yang dikesankan pintar, belum tentu
benar-benar pintar. Dikesankan mulia, belum tentu benar-benar mulia. Mungkin
juga saya dikesankan sebagai orang pintar dan mulia, padahal pintar dan mulia
sekali sebetulnya juga tidak. Saya tahu persis siapa diri saya.
Tetapi
berusaha ingin dikesankan yang positif dan baik-baik seperti itu memang saya
akui. Saya lebih memilih dikesankan sebagai orang pintar daripada yang bodoh.
Karena untuk mendapat kesan pintar di dalamnya ada usaha-usaha menuju pintar.
Karena ingin dikesankan pintar maka ada usaha-usaha untuk melawan kebodohan,
misalnya dengan rajin belajar.
Cara
seperti itulah yang saya lakukan untuk memperoleh kesan yang baik selama ini.
Pada mulanya mungkin saya terpaksa, lama-lama menjadi terbiasa. Dengan
membiasakan diri pada soal-soal yang baik maka kesan baik itu akhirnya
dirasakan oleh sebagian kalangan. Berawal dari terpaksa akhirnya menjadi kebiasaan dan siapa tahu dari
mulanya kesan akan mendekati kebaikan yang dikesankan.
Jadi,
kesan itu penting. Dengan memperoleh kesan yang baik, maka kesan-kesan yang
buruk tentu akan menjauh. Seperti ketika saya menyampaikan soal tentang
kemalasan yang sedang saya alami ternyata sama sekali tidak mengesankan sebagai
pemalas. Tapi kesan apapun takkan berarti tanpa kenyataan. Memperbesar kesan kebaikan
kemudian mewujudkannya menjadi kenyataan, itu yang harus kita lakukan.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.