Bersama jajaran Manajemen dan Karyawan yang dibawahinya.

Liburan bersama keluarga

Bersama istri tercinta "Laniati Dewi".

Hidup hanya sekali...Hiduplah dengan Luar Biasa !!

Bersama manajer pelumas "Sutoyo Wijaya" salah satu divisi yang dibawahinya

Sabtu, 29 November 2014

Kebiasaan Minum Air Putih


Minum air putih segelas besar setiap pagi bangun tidur dan malam menjelang tidur adalah ritual wajib bagi saya. Karena sebelum memiliki kebiasaan ini saya sering merasakan nyeri pinggang, bahkan sampai terserang kencing batu tiga kali. Penyebab kencing batu memang ada banyak hal dan tidak menyebut soal minum. Namun, apabila kita sering kekurangan minum tentu akan membuat rentan terkena penyakit ini.

Pernah saya terkena serangan ini sampai tidak bisa melangkahkan kaki saking sakitnya, justru ketika saya sedang menjenguk seorang teman mondok di rumah sakit. Tujuannya menghibur orang sakit, malah saya sendiri yang perlu dihibur karena saat itu saya mengerang-erang kesakitan dan terpaksa dipanggilkan perawat dan dibawa ke unit gawat darurat.

Maka, ketika Anda bepergian semobil dengan saya, jangan heran jika menemukan di setiap sisi kursi penumpang selalu tersedia satu botol air mineral. Kebiasaan minum banyak harus saya jaga, apalagi jika duduk berjam-jam. Karena itulah kita sering melihat para sopir truk membawa botol minuman ukuran yang besar satu setengah literan, mereka takut sakit pinggang karena duduk berlama-lama di belakang kemudi.

Seorang dokter mengatakan kepada saya bahwa air itu obat. Saya langsung mempercayai tanpa saya harus meneliti terlebih dulu. Karena kedudukannya sebagai seorang yang berilmu dalam pengobatan layak saya percayai. Kata-katanya saya patuhi. Jadi, jika kita menjadi orang yang berilmu, maka akan semakin banyak orang mematuhi apa yang kita katakan.

Untuk menjadi seorang yang tinggi ilmunya, kita tak boleh enggan untuk terus belajar. Namun,  berilmu saja tentu tidak cukup, baik dan mulia hati adalah yang paling penting. Padahal jadi seorang yang mulia adalah yang paling sulit. Tulisan-tulisan atau perkataan saya kadang baru mencerminkan keinginan saya untuk mulia, sama sekali belum realitas saya.

Jadi, bisa saja selama ini saya sekadar sok pintar, sok baik dan sok mulia, tetapi tidak benar-benar seperti itu, karena omongan atau tulisan itu lebih mudah saya dahulukan ketimbang kelakuan saya. Dengan demikian, nasihat saya akan sampai kepada orang lain terlebih dahulu daripada perilaku saya. Itulah kenapa sampai sekarang saya masih terus belajar dan belajar untuk menjadi lebih pintar, lebih baik dan lebih mulia.

Kembali ke masalah kebiasaan saya cukup minum air, ternyata juga membawa konsekuensi lain yaitu jadi sering kebelet pipis. Ketika di perjalanan bepergian, karena tersedia minuman di kendaraan, saya minum terus. Akibatnya, rasa ini lebih sering datang tapi saya sering menahannya karena tanggung belum menemukan tempat pemberhentian yang tepat, yaitu toilet umum yang bersih.

Demikian pula kebiasaan saya minum air segelas besar saat menjelang tidur, tanpa saya sadari sudah membuat saya sering menahan pipis sebab malas bangun dan lebih memberatkan rasa kantuk. Yang seharusnya lancar malah ditahan. Padahal, ketika saya harus menahan pipis cuma menghasilkan rasa tidak nyaman dan menderita.

Sungguh konyol tindakan saya, keliru memaknai bahwa salah satu tujuan cukup minum air adalah agar pipisnya lancar. Pipis yang lancar cuma menghasilkan kelegaan semata. Perhatikan perubahan mimik muka kita setelah pipis, pasti wajah yang penuh syukur karena lega. Kelegaan yang justru sering saya tolak begitu saja. Jangan-jangan, rasa tidak nyaman dan derita hidup yang sering saya rasakan, juga cuma karena saya keliru memaknai. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Rabu, 26 November 2014

Urusan Saya Dengan Nyamuk


Mungkin bukan cuma saya yang paling sebal kalau berurusan dengan nyamuk. Peperangan saya dengannya hampir berlangsung selama dua puluh empat jam sehari seperti musuh bebuyutan. Dari mulai melek mata sampai melek mata lagi. Salah-salah tidak bisa tidur pulas gara-gara mahluk satu ini jika masih ada yang lolos di dalam kamar tidur.

Entah kenapa saya merasa lebih peka terhadapnya dibandingkan orang lain. Ketika bersama dalam satu ruangan bersama orang lain yang pertama akan digigit oleh para nyamuk itu tentu saya, kata orang karena darahnya manis. Teori ini boleh diragukan kebenarannya sebab kadar gula darah saya rendah, bukan termasuk pengidap kencing manis.

Bahkan makhluk ini sudah saya masukkan ke dalam daftar musuh besar yang harus saya berantas sampai ke akar-akarnya karena saya pernah tersiksa dibuatnya. Bagi Anda yang pernah mengalami demam berdarah seperti saya mungkin dapat memakluminya. Mual-mual, seluruh tubuh linu semua, tulang belulang seperti dilolosi, dan sampai trauma tak bisa tidur selama dua hari dua malam.

Setelah jarum infus menancap di lengan dan terkapar di rumah sakit beberapa hari barulah teratasi. Pengalaman ini membuat dendam saya menumpuk. Sepulang dari rumah sakit, segera saya lakukan penyemprotan di seluruh area rumah, termasuk garasi bus sebelah rumah yang saya curigai sebagai sumber mala petaka. Walaupun untuk itu saya harus membayar ongkosnya.

Penyakit ini tidak dapat dianggap enteng, karena di daerah tropis seperti negara kita dapat menjadi wabah yang menakutkan. Tapi, meskipun menakutkan tetap ada unsur menggelikan. Jika penyakit ini menyerang anak-anak akan dianggap wajar, namun jika menyerang orang dewasa seperti saya bisa menjadi sumber olokan. Tubuh sebesar ini ternyata tumbang oleh gigitan nyamuk yang kecil.

Lebih tepatnya bukan menggigit tapi menusuk seperti jarum suntik. Kulit yang tebalpun bisa ditusuk. Semakin tebal kulit yang ditusuk, akibatnya akan lebih mengganggu karena gatalnya akan lebih sulit diatasi, terutama di daerah seputar jari-jari kaki. Seperti malam ini, meskipun mata masih demikian mengantuknya, terbangun gara-gara itu.

Nyamuk yang tak tahu diri betul-betul merusak tidur saya. Saya jadi terbangun, mencari minyak kayu putih. Diolesi minyak kayu putih sambil digaruk pun tidak mereda juga gatalnya. Karena gatal tidak mereda maka meleklah saya. Karena melek mata, maka hilanglah kantuk saya walau sesungguhnya tidak rela. Ada nikmat yang bercampur gangguan. 

Seperti juga ada berkah yang bercampur derita. Kenapa alam begitu senang mencampuradukan dua soal yang jelas-jelas bertentangan. Ketika sukses datang, musibah juga semakin gencar menghadang dan entah siapa yang bilang kalau itu ujian. Dibalik ketenaran dan popularitas ada jenis aib yang siap untuk menjatuhkan.

Pertanyaan-pertanyaan itulah membuat saya benar-benar terbangun dan duduk di depan komputer sambil minum kopi panas. Karena minum kopi panas, segarlah badan saya. Karena badan segar maka mulailah saya menulis dengan lancar untuk kolom ini. Karena saya dapat menulis untuk Anda, maka gembiralah saya. Karena gembira, maka saya dapat tidur lagi dengan lelap sekali. 

Saya bingung sendiri apakah nyamuk ini berkah atau musibah. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 24 November 2014

Nasi Goreng Kribo


Kalau Anda penggemar nasi goreng seperti saya, cobalah singgah ke warung ‘Seafood Kribo’ yang letaknya di sebelah perumahan Arca, timur Gelanggang olah Raga, Purwokerto. Sebagai penggemar berat nasi goreng, saya sudah mencicipi hampir seluruh rasa nasi goreng di kota tempat saya tinggal dan di beberapa kota sekitar atau di manapun ada kesempatan.

Jika ada orang atau teman yang bercerita tentang nasi goreng yang enak, pasti menggelitik niat saya untuk memburunya. Sebenarnya ada satu lokasi yang nasi gorengnya amat enak menurut lidah saya, sayang sekali jauh dari jangkauan karena berada di mall Citraland Jakarta sehingga tak mungkin saya sering menikmatinya. 

Di kota saya sendiri tidak ada yang enak dan tempat yang paling mudah dijangkau, ya nasi goreng Kribo itu. Terkenal dengan sebutan kribo, karena sang pemilik warung sekaligus sebagai koki dulunya berambut kribo, namun sekarang sudah tidak lagi karena dipotong pendek. Tapi bukan soal kribonya yang membuatnya tetap bertahan melawan serbuan aneka macam kuliner belakangan ini, yang pasti adalah karena rasanya.

Bisnis yang sulit disaingi dan mampu bertahan lama menurut maestro marketing Philip Kotler adalah bisnis yang mengutamakan ‘rasa’ karena soal itu amat sulit ditiru. Itulah kenapa bisnis kuliner seperti KFC dan McDonald masih bertahan lama sampai sekarang, dibandingkan dengan bisnis yang berbasis teknologi yang sangat mudah ditiru.

Kenapa perusahaan Apple meluncurkan produk iphonenya yang canggih dengan harga perdana yang tinggi ? Karena harus melalui research yang cukup lama dan biaya yang mahal. Namun, hanya dalam waktu singkat akan mendapatkan saingan produk buatan cina yang murah meriah dengan fitur yang mirip-mirip. Maka tidaklah heran persaingan bisnis di bidang ini sangat ketat sekali. 

Membuat nasi goreng gampang-gampang susah, yang pertama harus dipikirkan adalah bahannya atau nasinya. Tidak boleh terlalu lembek, semakin butiran nasinya terpisah semakin baik, karena ketika digoreng akan bergulir satu persatu sehingga meyerap bumbu lebih baik. Memberikan garam pun bukan di awal, tetapi saat menjelang selesai memasak agar rasanya tidak mati.

Itu tadi sekelumit penjelasan dari si Kribo, tukang masak yang jago. Dia juga ahli memasak seafood. Hanya saja itu bukan yang sedang saya bahas. Kembali ke nasi goreng, cara masaknya menggunakan api yang besar sehingga jilatan api masuk ke dalam kuali mengenai nasinya. Membuat nasi tersebut sedikit terbakar akan menambah sensasi kenikmatan tersendiri.

Si kribo pasti tidak mengenal pelajaran bisnis, tetapi ia memiliki kepatuhan dalam menjaga satu hal, bahwa rasa pun harus melewati suatu prosedur di mana standarnya harus dijaga dengan baik. Maka, dalam soal ini saya mengaguminya seperti saya mengagumi KFC dan McDonald. Wajar jika dia masih tangguh bertahan sampai sekarang. 

Ukuran seporsinya juga luar biasa besar, Anda bisa makan sampai puas tidak dikurang-kurangi, tetap dijaga sedari dulu. Saya bahkan tak pernah mampu menghabiskannya sendirian. Konsistensi menjaga kualitas rasa dan porsinya sungguh suatu cara sederhana yang terbukti berhasil, dikarenakan sesuai dengan hukum alam yang berlaku yaitu apa yang kau beri, adalah apa yang kau dapatkan. 

Jika begitu hukumnya, tidaklah aneh jika banyaknya luka yang sering ada di hati kita mungkin karena kita banyak memberi soal-soal yang melukai hati sesama belaka. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.


Jumat, 21 November 2014

Di Tengah Kemacetan


Setelah ada berita bahwa pemerintah akan mengumumkan kenaikan harga bbm bersubsidi pada jam 21.00 wib, maka dapat dipastikan akan terjadi serbuan kendaraan di setiap spbu sampai dengan jam 00.00 di mana harga baru akan diberlakukan. Mobil-mobil akan di keluarkan, truk-truk besar apalagi, sepeda motor yang cuma mampu menampung beberapa liter pun rela mengantri berdesak-desakan.

Itu yang saya lihat ketika sekitar jam 22.00 tiba di pom bensin Wonosobo milik sendiri. Saya terlalu gegabah tidak mengisi penuh tangki bbm sebelum berangkat dari rumah sehabis magrib, sehingga sisa bbm tak memungkinkan sampai ke Semarang. Padahal tadi sudah diingatkan oleh istri. Hanya karena biasa pakai pertamax yang non subsidi, saya beranggapan dapat dengan mudah mengisi setiap saat.

Inilah akibatnya, jalan masuk ke pom tertutup oleh antrian kendaraan yang tidak beraturan, malang melintang. Kalau menunggu antrian pom bubar tentu terlalu lama setelah lewat tengah malam. Jadi, mau tidak mau minta petugas dan sopir untuk mengisi pertamax di jerigen lalu menuangkannya ke mobil secara manual di luar area pom. 

Di luar area pom pun, saya harus mencari tempat di pinggir sekali, karena jalan aspal tertutup rapat oleh arus kendaraan yang mau masuk ke pom dari ke dua arah. Kendaraan yang mau melintas tidak mendapatkan ruang gerak, macet total. Bisa dimaklumi jika mereka menahan kejengkelan terkena dampak orang-orang yang antri, padahal mereka cuma mau melintas.

Melihat situasi ini, dapat diperkirakan hampir di setiap pom bensin terjadi antrian meluber ke jalan raya menimbulkan kemacetan. Benar saja, ketika kami melanjutkan perjalanan sampai batas kota mau ke arah Kertek terjadi antrian panjang sekali. Padahal pom bensin Kertek masih jauh jaraknya. Bisa dibayangkan betapa panjangnya, seperti panjang kejengkelan saya yang selalu ingin buru-buru.

Bukan sekali dua kali, saya bersikap buru-buru meskipun tahu kalau yang namanya buru-buru tidak baik hasilnya. Tak terhitung seringnya karena berangkat buru-buru, ada saja yang tertinggal sehingga harus kembali ke rumah setelah setengah perjalanan. Selalu saja ada watak buru-buru, walaupun tidak ada yang memburu. Maka, berada di antrian yang panjang rasanya cuma menderita.

Tapi pasti bukan cuma saya yang punya watak buru-buru, terbukti ketika ada kendaraan yang ke luar dari antrian lalu berbalik arah dan mengambil jalan pintas. Namanya jalan pintas pasti bukan jalan utama, cuma jalan kecil dan sempit yang jika berpapasan harus berhenti dan berhati-hati. Tindakan ini memancing yang lain mengikuti masuk ke jalan kecil itu, termasuk juga sopir saya yang tidak mau ketinggalan membuntuti.

Akhirnya, jalanan kecil itu pun penuh sesak kendaraan berurutan termasuk puluhan sepeda motor. Tapi ketika sudah cukup jauh, tiba-tiba muncul konvoi kendaraan dari arah berlawanan yang mengatakan jalan tertutup, sehingga harus berbalik arah. Maka semua kendaraan pun berbalik arah dan ke luar dari jalan yang salah, kembali ke jalan utama yang macet. 

Semua orang berubah, yang tadinya bersemangat membuntuti, menjadi putus asa dan hanya dapat meringis dan tertawa. Semua harus mengulang antrian yang tadi. Lebih parahnya lagi antrian sudah semakin panjang, dan kami harus mengantri lagi dari belakang. Yang seharusnya kami sudah berada di antrian depan tadi, sekarang semakin jauh di belakang gara-gara mengikuti kendaraan yang salah.

Jangan-jangan, kendaraan paling depan yang dibuntuti adalah orang yang mau pulang ke rumahnya di jalan itu. Di tengah kemacetan, ternyata ada humor di dalamnya yang mendidik kita untuk bisa tertawa.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 17 November 2014

Niat Baik Kurang Ilmu


Seketika saya agak terkejut ketika menjemput teman pengurus dan mengajak pulang setelah tiga hari berada di Makassar. Persoalannya, selama tiga hari bertugas di Makassar dia hanya berada di asrama pondok haji Sudiang tempat berlangsungnya pertandingan kejuaraan nasional catur tahun ini, tanpa pernah meninggalkan lokasi sampai dengan saat kepulangannya.

Memang saya memberi tugas kepadanya cuma tiga hari, untuk menghadiri acara raker, bukan untuk mendampingi para atlit yang akan bertanding selama sebelas hari di sini. Tapi, karena dia berangkat duluan bersama rombongan, maka teman itu menginap di wisma sekitar lokasi yang jaraknya 25 km dari kota, sedangkan saya bersama istri menginap di sebuah hotel di tengah kota yang mudah akses ke mana-mana.

Saya sungguh merasa menyesal, kenapa saya tidak memberi kesempatan kepada teman itu dengan mengajaknya jalan-jalan selagi berada di sini atau mengajaknya menginap di hotel. Saya juga lupa jika teman tersebut adalah pengurus baru di kepengurusan provinsi, walaupun sebelumnya sudah menjadi pengurus cukup lama di kabupaten. Namanya baru, maka otomatis ini adalah tugas ke luar pertamanya yang jauh. Bahkan, rupanya dia juga baru pertama kalinya naik pesawat.

Mungkin istrinya sangat menunggu oleh-oleh dari suaminya yang baru pertama kali terbang. Oleh-oleh cerita pegalamanan barunya, sekaligus oleh-oleh cendera mata atau makanan khas kota ini yang tak sempat dibelinya pula. Andai saja saya menyadari soal ini hari kemarin, bukan saat waktu kepulangan kami yang tinggal dua jam lagi, tentu akan segera saya ajak keliling ke seluruh penjuru kota ini. 

Memang betul tujuan ke sini adalah untuk sebuah tugas bukan jalan-jalan, namun alangkah baiknya jika kita dapat memperoleh pengalaman lain yang tidak terlupakan mengingat biaya perjalanan dan kesempatan yang jarang ini. Maka saya sangat mengapresiasi ketika panitia penyelenggara sengaja mengadakan acara rekreasi bersama untuk semua peserta dari seluruh provinsi di Indonesia itu.

Di tengah pertandingan yang berlangsung, sengaja diliburkan sehari khusus untuk rekreasi karena kalau tidak para peserta juga akan mengalami soal yang sama seperti teman saya itu. Maka ketika para atlet kirim sms kalau sedang makan pisang epek khas Makassar di pantai Losari, kemudian ada yang mengirim foto sedang berada di  Rotterdam, benteng peninggalan abad 16 yang terkenal itu, saya kembali menyesal telah mengajak pulang teman itu sehari sebelumnya.

Untungnya soal oleh-oleh untuk teman tadi tidak terlupakan, karena ada istri yang tidak pernah lupa soal itu bila bepergian kemanapun. Seandainya saya bepergian seorang diri, maka dapat dipastikan teman tadi mengalami kemalangan dua kali. Malang karena miskin pengalaman datang ke Makassar dan malang karena tidak sempat pula membawa pulang oleh-oleh ke rumahnya.

Ketika mengatur tugasnya, saya hanya berpikir praktis dengan menggunakan sudut pandang saya sendiri. Ada niat baik tapi juga ada kekeliruan. Niat baiknya adalah membelikan tiket dan mengajak pulang bersama agar memudahkan. Sedangkan kelirunya adalah menganggapnya seperti saya yang sudah biasa bepergian.

Niat baik tidak selalu membawa kebaikan jika kurang ilmu. Ilmu yang kadang saya remehkan yaitu untuk lebih sering menggunakan sudut pandang orang lain. Tapi yang namanya niat baik, tentu ada sedikit kebaikan, buktinya baru saja saya mendapat sms dari teman itu,” Terima kasih minyak tawonnya, kue-kuenya dan otak-otaknya yang enak sekali.”


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Rabu, 12 November 2014

Rumah Sakit


Beberapa bulan yang lalu, saya berulang kali mendatangi rumah sakit dengan hati yang bahagia dan gembira karena memang ada rumah sakit yang penghuni dan pengunjungnya sebagian besar adalah orang-orang yang berbahagia, yaitu rumah sakit bersalin. Karena kelahiran putra-putri mereka, maka para orang tua dan keluarga, semuanya bersuka cita.

Hanya senyum yang ceria dan bahagia, ucapan selamat dan kado-kado indah yang berdatangan yang saya lihat di sekitar penghuni tempat itu. Karena di rumah sakit bersalin inilah, awal kehadiran anak-anak ke dalam dunia kehidupan yang nyata. Seperti terminal keberangkatan bagi sebuah kehidupan. Sungguh menyenangkan.

Berlawanan sekali ketika berkunjung ke rumah sakit umum, yang saya hadapi kali ini adalah jauh dari keceriaan, apalagi kebahagiaan. Tempat yang satu ini mirip seperti sebuah terminal terakhir. Mereka yang sakitnya tak tersembuhkan, yang terkapar tak berdaya menunggu maut datang menjemput dan  bisa setiap saat. Yang menunggu pasien juga ikut cemas dan khawatir, selalu ada rasa terkejut setiap kali perawat memanggil mereka.

Di tempat seperti ini, pemandangan keseluruhan adalah derita. Wajah-wajah yang saya temui hanya memancarkan ketidakberdayaan dan kelelahan, tidak cuma lelah fisik tapi juga psikis. Yang merasa sakit tidak hanya pasien, yang menunggui, para keluarganya, juga ikut sakit. Sakit mental dan pikiran, dan pada saat itu mutu kemanusiaan sebuah keluarga mengalami ujian.

Jika yang sakit istri, maka suami akan sibuk kalang kabut, siap menjadi ibu dari anak-anak, sekaligus menanggung beban pekerjaan kantor. Jika yang sakit suami, maka istri akan lebih terbebani, apalagi jika biaya rumah sakit tidak ditanggung oleh kantor. Selain mengurus anak dan suami, masih harus dihantui oleh biaya yang tidak sedikit. Jadi jelas sakit itu cuma mengakibatkan kedukaan belaka.

Mereka boleh saja dicekam kedukaan yang mendalam, tapi roda kehidupan berjalan terus, rekening listrik dan air, uang sekolah tetap harus dibayar, angsuran kredit juga tidak boleh menunggak. Untuk hidup dengan berduka tapi terus bekerja, jelas cuma manusia berkelas yang mampu menjalaninya.

Di rumah sakit, kita melihat betapa rapuhnya manusia. Ketika sedang merasa sehat sering kita lupa diri, hidup dengan cara yang tidak sehat. Pola makan semau kita, aktivitas yang terlalu padat, tidak cukup beristirahat, merokok dan mengabaikan olah raga seolah tubuh kita begitu amat tangguhnya. Kemudian kita baru sadar ketika segalanya sudah terlambat, saat terkapar di rumah sakit.

Membayangkan diri sendiri terkapar di rumah sakit, sungguh tak sederhana ongkosnya, baik ongkos perasaan, pikiran dan tenaga, termasuk ongkos materi. Tak terbayangkan bagaimana repot istri dan anak saya mengurusinya. Apalagi jika rumah sakitnya jauh dari rumah tinggal atau di luar kota yang jauh dari sanak saudara, padahal mereka juga harus mengurus pekerjaan sambil menanggung beban yang berat.

Sungguh kalut pikiran saya, padahal baru membayangkan saja apalagi jika harus benar-benar terjadi. Syukur, hanya sekadar bayangan saja. Namun bayangan itu telah membuat saya melihat keluarga dengan cara berbeda. Ketika kita tak berdaya, hanya ada mereka. Selama ini, keberadaan, kebaikan dan tanggung jawabnya sebagai istri, sering saya anggap soal biasa dan sudah sewajarnya begitu. Itu sudah menjadi tugasnya. 

Padahal itu bukan soal biasa, namun soal-soal luar biasa yang saya terlambat melihatnya.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 10 November 2014

Saya Iri


Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 23 Oktober 2014 kami baru saja mengadakan acara doa di rumah untuk memperingati sepuluh tahun meninggalnya bapak Solechan KS atau almarhum bapak mertua saya, founder dari Gelora group dan dibarengkan dengan tiga puluh tahun wafat almarhum ayah saya yang berdekatan tanggalnya. 

Sebelum acara yang dipimpin oleh romo dimulai, ketua lingkungan kelompok kebagian memberikan sambutan singkatnya. Dalam sambutannya antara lain menyebutkan bahwa tidak banyak anak atau keluarga yang masih mengenang kepergian orang tuanya sampai sepuluh tahun kemudian, apalagi sampai tiga puluh tahun. 

Kemudian romo juga menambahkan bahwa ketika menghadiri pemakaman almarhum bapak mertua sepuluh tahun lalu, dia melihat begitu banyak orang yang datang ke pemakaman karena kontribusi almarhum semasa hidupnya terhadap orang lain dan masyarakat. Walaupun hanya sebagai seorang pengusaha bukan tokoh masyarakat, namun almarhum dikenal banyak orang karena kerendahan dan kemurahan hatinya.

Masih melekat dalam ingatan, ratusan orang bahkan mungkin ribuan pelayat yang sengaja datang dari berbagai kota untuk mengiringi pemakaman jenasah bapak mertua. Ratusan karangan bunga yang berdatangan, harus diangkut saat tengah malam dengan beberapa truk ke tempat pemakaman dan baru selesai di pagi hari. Ratusan kendaraan pelayat juga memenuhi area parkir siang itu. 

Setelah acara doa selesai, giliran saya sebagai tuan rumah yang harus memberikan sambutan. Suara saya sebetulnya sedang gangguan, agak kurang sehat karena selama berhari-hari keliling memotivasi para karyawan di luar kota. Setelah mengucapkan terima kasih kepada romo, semua tamu undangan serta sahabat, saya mulai bercerita sedikit seperti biasanya.

Bercerita tentang apa yang saya pikirkan. Ketika itu saya berpikir, mungkin ketika saya meninggal tak sebanyak itu orang yang akan menghadiri pemakaman saya. Tidak bakal selama itu anak-anak dan keluarga akan mengenang saya, karena saya merasa belum banyak memberi manfaat bagi keluarga yang saya cintai, apalagi terhadap orang lain.

Ketika kita bertanya kepada seseorang tentang nama orang tuanya, saya yakin 99 persen mampu menjawab dengan benar. Ketika kita bertanya tentang nama kakek neneknya, saya yakin hasilnya menurun, paling hanya berkisar 70-80 persen. Ada yang bisa menyebut nama kakeknya tapi mungkin lupa nama neneknya. Sampai buyut, sudah jelas semakin sedikit orang yang mengetahuinya.

Mengapa kita sampai melupakan leluhur kita ? Banyak jawaban atau alasan untuk itu, karena orang tua kita tidak menceritakannya, bahkan kita tidak tahu makamnya di mana dan mungkin para leluhur tidak meninggalkan warisan yang membuat mereka dikenang oleh para penerus generasinya. Warisan yang saya maksud bukan sekadar harta yang tidak habis tujuh turunan, tapi bisa juga cerita kepahlawanan atau karya besar yang tidak terlupakan.

Apabila kita tidak melakukan sesuatu yang berharga untuk dikenang oleh para penerus kita,  maka dapat dipastikan kita pun akan segera dilupakan setelah kita meninggal. Oleh karena itu saya selalu iri kepada mereka yang meninggalkan warisan berupa karya yang bukan saja dikenang oleh sebuah bangsa, tapi juga menjadi legenda dunia. Iri karena belum dapat menjawab pertanyaan sederhana, “ Kita ingin dikenang sebagai apa ?”

Jika Anda sudah punya jawabannya, tolong beritahu saya.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Jumat, 07 November 2014

Korset Pelangsing


Ketika saya sedang menunggu istri bersama temannya yang berada di lantai 19 sambil minum kopi siang itu, tiba-tiba istri saya sms meminta pertimbangan tentang rencananya membeli sebuah korset pelangsing dari temannya. Tidak biasanya istri minta pertimbangan kecuali akan beli barang-barang yang mahal harganya atau barang yang penting. Maka dapat ditebak betapa istimewanya korset ini.

Namanya barang istimewa, berarti korset ini bukan sembarang korset pelangsing seperti yang dijual di sembarang tempat. Yang pasti, istri saya punya alasan kenapa ingin memilikinya. Kalau boleh saya menganalisa, tampaknya ada dua alasan. Alasan yang pertama, karena yang menawarkan barang itu teman dekatnya, tentu ada perasaan tidak enak kalau tidak membelinya walaupun mungkin mahal untuk ukuran sebuah korset.

Betapa tidak enaknya menolak permintaan seorang ibu yang rela datang menjemput, setir sendiri, menghantarkan ke mana-mana setiap kali istri saya ke Jakarta. Apalagi, sejak masih kuliah mereka pun sudah bersahabat. Jadi, sudah selayaknya jika istri tidak akan mengecewakan seorang sahabat yang baik seperti itu. Permintaan yang lebih besar pun pasti akan diturutinya dengan senang hati.

Alasan yang kedua, pasti karena manfaat yang diinginkan dari barang itu. Seingat saya, istri pernah juga memiliki dan memakai barang seperti itu. Kata penjual yang dulu berkhasiat menurunkan berat badan dan membentuk tubuh tapi tidak terbukti. Karena setelah dipakai beberapa lama, barang itu jarang terlihat lagi, sudah jadi penghuni tetap almari alias dimusiumkan. 

Tengoklah almari Anda yang penuh berjejalan. Apakah seluruh pakaian itu Anda kenakan ? Cobalah pula teliti rumah Anda, begitu banyak barang yang tidak berguna, tidak penting dan tidak mendesak. Jika dalam membeli barang, kita selalu mengutamakan yang penting dan mendesak tentu tak akan begitu banyak barang tidak berguna di rumah kita.

Namun, hidup tidak cuma berisi sesuatu yang penting dan mendesak saja, kadang juga berisi tidak enak hati. Melihat sahabat istri saya yang begitu baik menawarkan barang itu dengan bersemangat tentu tidak mengenakkan. Apalagi jika Anda memiliki uang untuk membelinya, kalaupun tidak punya uang sebanyak itu, masih bisa diangsur enam kali tanpa bunga, info dari penjualnya.

Jadi, seandainya saya mengatakan bahwa barang itu sama dengan yang dulu, walau beda harga dan produsennya tentu istri dan temannya kurang setuju. Mereka yakin betul, bahwa barang yang satu ini pasti beda, lebih sakti mandraguna. Tidak perlu diet pun berat badan bisa turun, imbuhnya. Kalau sudah soal menurunkan berat badan, wanita mana yang tak ingin tubuhnya ramping bak peragawati. Berapa pun pasti akan diburu, jika punya uang.

Singkat cerita, kami pun segera menyelesaikan transaksi barang itu dengan hati yang mantap, karena waktu sudah cukup sore, teman istri juga melengkapi kebaikan hatinya dengan tak mengijinkan kami naik taksi tapi mengantarkan sendiri ke stasiun Gambir. Kebaikan memang selalu berbalas kebaikan.

Seminggu kemudian, istri memberitahu dengan gembira jika baju-baju yang tadinya sudah tak dapat dipakai karena kekecilan sekarang sudah muat lagi. Sebuah prestasi yang perlu diapresiasi, sehingga saya ikut bergembira, teman istri pun pasti juga akan gembira mendengar berita ini. Tidak penting apakah korset pelangsing itu penyebabnya atau sekadar memotivasi, karena yang saya tahu sudah sebulan ini istri saya rajin diet dan berolah raga dengan keras.

Yang penting, semua jadi gembira. Karena awalnya dimulai dengan niat baik, pantas saja jika ia ganti  memberi kebaikan bagi semua.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Rabu, 05 November 2014

Pintu Rusak di Kedai Kopi


Siang itu panas sekali, ketika aku berniat memasuki kedai kopi Starbuck di halaman tower BNI 1946 sebelah hotel Shangri la, Jakarta sambil menunggu istri yang sedang ketemu temannya di gedung itu. Ketika aku mencoba mau masuk lewat pintu samping, ada kertas tertempel di kaca yang bertuliskan kalau pintu itu rusak, sehingga hanya bisa akses keluar masuk melalui pintu utama.

Tapi sempat juga aku mencoba mendorongnya, ternyata memang terkunci. Kadang kita suka berlaku bodoh, sudah tahu rusak masih mencoba. Lalu aku memilih minum kopi di luar, di area smoking yang memang disediakan oleh kedai kopi itu meskipun panas, ketimbang minum di dalam ruangan ber ac tapi tidak bisa merokok. Pilihan yang tahu diri.

Tak lama kemudian ada dua orang pemuda datang dan mau masuk lewat pintu samping itu, segera aku berbaik hati memberi tahu kalau pintu itu rusak dan menunjukkan pintu yang lain. Kedua orang tadi segera pergi pindah pintu tanpa menoleh apalagi mengucapkan terima kasih. Hampir mengepul uap di kepalaku, karena keramahan dan kepedulian yang kuberikan dianggap angin lalu.

Kuperhatikan mereka berjalan keluar dengan membawa minumannya dan memilih duduk di luar di sebelah pintu rusak itu, rupanya mereka juga sebangsaku kaum perokok. Kenikmatan ngopiku nyaris terganggu melihat wajah mereka lagi kalau saja menuruti watak asliku yang selalu mudah terganggu oleh soal-soal sepele.

Tak berapa lama, kembali ada seorang bapak yang mau mencoba masuk lewat pintu rusak tadi. Aku sengaja berdiam diri dulu, karena ada dua orang yang lebih dekat dengan bapak itu. Tapi rupanya mereka memang jenis orang-orang yang tidak mau berderma sedikit pun dalam bentuk memberi tahu. Jadi, aku segera beri tahu bapak itu untuk menggunakan pintu yang lain.

Di negara ini ternyata banyak sekali orang yang tidak peduli terhadap orang lain seperti itu. Maka, daripada harus tersinggung setiap saat, lebih baik menganggap pemandangan itu adalah soal yang jamak saja. Karena ada saja perusahaan angkutan yang nekad tidak punya garasi yang cukup, lalu menutupi pemandangan depan rumahku dengan menderetkan kendaraan mereka setiap hari.

Jangan ditanya pula, sopir angkutan yang menunggu penumpang sambil tak merasa mengangkangi jalan orang lain. Jadi, kalau cuma soal tidak mau berderma dengan memberitahu, seharusnya kita maafkan saja, bahkan boleh saja kita sambut dengan gembira karena toh tidak merugikan orang lain seperti sopir atau perusahaan angkutan itu. 

Hidup di negara ini memang harus memiliki cadangan maaf yang besar, sebab jumlah pelanggaran dan kesalahan sudah di atas jumlah maaf yang tersedia. Apa yang kita lihat sehari-hari bukan lagi soal memaafkan, tapi lebih menyerupai sikap putus asa. Putus asa kepada pelanggaran yang sudah jauh di atas takaran, sehingga kita lebih memilih diam dan akhirnya masa bodoh terhadapnya.

Padahal masa bodoh adalah sungguh suatu sikap yang berbahaya. Karena ketika kita melakukan pembiaran terhadap suatu pelanggaran, dapat berdampak lebih buruk daripada pelanggaran itu sendiri. Satu-satunya hal yang diperlukan agar pelanggaran atau kejahatan bisa menang, jika orang baik tidak berbuat apa-apa. Nasihat Konfusius lebih jelas lagi, ‘ Mengetahui sesuatu yang baik, tetapi tidak melakukannya adalah sikap pengecut yang paling buruk.’

Itulah kenapa aku akan terus memberitahukan pintu rusak itu selama masih duduk di situ kepada siapa saja yang salah pintu. 

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

Senin, 03 November 2014

Ujian Dalam Pergaulan


Setiap minggu pagi, saya dan istri biasa sarapan pagi di luar, ada tiga pilihan tempat yang biasa saya datangi. Jika bukan bubur ayam depan rumah sakit umum, soto semarang jalan tanjung atau gudeg bu lusi di jalan laut yang menjadi pilihan. Kali ini saya memutuskan sarapan soto saja, maka mobil segera saya arahkan ke sana. Seperti biasa, tempat itu tampak penuh pengunjung pada jam-jam sarapan, karena warungnya memang kecil dan sempit sehingga tidak dapat menampung banyak orang.

Ketika saya bersama istri masuk dan mengambil tempat duduk, saya melihat ada empat kelompok keluarga yang sedang makan di situ. Yang dua saya kenal dan yang dua terasa asing. Ketika melewati meja salah satu yang saya kenal, kami saling bertegur sapa sejenak sebagai basa basi. Sedangkan di meja lain yang agak jauh, tampak seorang bapak yang saya kenal sedang asyik bersama keluarganya. Saya kenal karena merupakan salah seorang pelanggan tetap di bengkel saya.

Pada beberapa kali kesempatan saya melemparkan pandangan ke arah mereka agar paling tidak saya bisa mengangguk dan tersenyum dari jauh untuk menunjukkan keramahan, namun dia tidak pernah melihat ke arah saya. Sambil menunggu pesanan datang, saya pun merenung. Mungkin dia sengaja memilih memalingkan muka dan berpura-pura tidak melihat.

Sebagai manusia, saya juga sering diuji dengan ‘kejujuran dan ketulusan’ dalam pergaulan dan sering harus jatuh bangun untuk lulus dari ujian itu. Karena meski saya mengenal Anda, ada saja lagak saya untuk pura-pura sibuk tidak melihat, apalagi menyapa saat berpapasan di jalan atau ketemu di suatu tempat. Ada bermacam-macam alasan, dan ada kalanya dorongan semacam itu manuasiawi sekali. 

Tidak setiap kali kita siap bertemu dengan orang lain, terutama ketika kita tengah merasa waktunya tidak tepat. Karena pertemuan itu, betapapun singkatnya, selalu mengundang konsekuensi, bisa jadi cukup ditanggapi dengan basa basi atau sekadar tegur sapa. Tapi jika kita pengabdi keramahan dan kesopanan tingkat tinggi maka bisa jadi pertemuan tidak disengaja itu, bukan soal  yang remeh lagi.

Mungkin ketika kita sedang ingin tenang di restoran bersama keluarga, tiba-tiba saya melihat Anda masuk beserta keluarga, betapa repotnya jika kemudian saya mengajak keluarga Anda bergabung di meja saya untuk sok mendekatkan dua keluarga. Seolah-olah saya berhati sangat mulia sambil diam-diam tertekan oleh keadaan yang serba tidak terduga ini. Karena saya yang mengajakmu, maka saya yang harus membayarimu pula.

Jadi, bisa begitu berat konsekuensi itu kalau kita tidak tega berbasa-basi. Maka ketika kita berada di tempat-tempat umum, di dalam mall, atau di mana ketika kita seharusnya saling tahu, kita memilih untuk tidak saling melihat apalagi saling menyapa. Sebuah kepura-puraan yang sebetulnya menyiksa hati saya. Karena mestinya kita saling merasa bahwa kita sedang berpura-pura. 

Maka, pagi ini ketika engkau tidak melihat saya di warung soto atau engkau pura-pura tidak melihat, saya memutuskan untuk menyapamu lebih dahulu. Bukan karena dijajah oleh rasa basa basi, tetapi lebih karena sedang berlatih ketulusan. Saya pikir ini juga baik untuk belajar jujur dan latihan saya menghindar dari watak pura-pura.

Lulus dalam ujian pergaulan sungguh merupakan cita-cita saya dan tidak harus dengan ongkos yang besar seperti mentraktir soto atau yang lainnya.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.