Setiap minggu pagi, saya dan istri biasa sarapan pagi di luar, ada tiga pilihan tempat yang biasa saya datangi. Jika bukan bubur ayam depan rumah sakit umum, soto semarang jalan tanjung atau gudeg bu lusi di jalan laut yang menjadi pilihan. Kali ini saya memutuskan sarapan soto saja, maka mobil segera saya arahkan ke sana. Seperti biasa, tempat itu tampak penuh pengunjung pada jam-jam sarapan, karena warungnya memang kecil dan sempit sehingga tidak dapat menampung banyak orang.
Ketika
saya bersama istri masuk dan mengambil tempat duduk, saya melihat ada empat
kelompok keluarga yang sedang makan di situ. Yang dua saya kenal dan yang dua
terasa asing. Ketika melewati meja salah satu yang saya kenal, kami saling
bertegur sapa sejenak sebagai basa basi. Sedangkan di meja lain yang agak jauh,
tampak seorang bapak yang saya kenal sedang asyik bersama keluarganya. Saya
kenal karena merupakan salah seorang pelanggan tetap di bengkel saya.
Pada
beberapa kali kesempatan saya melemparkan pandangan ke arah mereka agar paling
tidak saya bisa mengangguk dan tersenyum dari jauh untuk menunjukkan keramahan,
namun dia tidak pernah melihat ke arah saya. Sambil menunggu pesanan datang,
saya pun merenung. Mungkin dia sengaja memilih memalingkan muka dan
berpura-pura tidak melihat.
Sebagai
manusia, saya juga sering diuji dengan ‘kejujuran dan ketulusan’ dalam
pergaulan dan sering harus jatuh bangun untuk lulus dari ujian itu. Karena
meski saya mengenal Anda, ada saja lagak saya untuk pura-pura sibuk tidak
melihat, apalagi menyapa saat berpapasan di jalan atau ketemu di suatu tempat.
Ada bermacam-macam alasan, dan ada kalanya dorongan semacam itu manuasiawi
sekali.
Tidak
setiap kali kita siap bertemu dengan orang lain, terutama ketika kita tengah merasa
waktunya tidak tepat. Karena pertemuan itu, betapapun singkatnya, selalu
mengundang konsekuensi, bisa jadi cukup ditanggapi dengan basa basi atau
sekadar tegur sapa. Tapi jika kita pengabdi keramahan dan kesopanan tingkat
tinggi maka bisa jadi pertemuan tidak disengaja itu, bukan soal yang remeh lagi.
Mungkin
ketika kita sedang ingin tenang di restoran bersama keluarga, tiba-tiba saya
melihat Anda masuk beserta keluarga, betapa repotnya jika kemudian saya
mengajak keluarga Anda bergabung di meja saya untuk sok mendekatkan dua
keluarga. Seolah-olah saya berhati sangat mulia sambil diam-diam tertekan oleh
keadaan yang serba tidak terduga ini. Karena saya yang mengajakmu, maka saya
yang harus membayarimu pula.
Jadi,
bisa begitu berat konsekuensi itu kalau kita tidak tega berbasa-basi. Maka
ketika kita berada di tempat-tempat umum, di dalam mall, atau di mana ketika
kita seharusnya saling tahu, kita memilih untuk tidak saling melihat apalagi
saling menyapa. Sebuah kepura-puraan yang sebetulnya menyiksa hati saya. Karena
mestinya kita saling merasa bahwa kita sedang berpura-pura.
Maka,
pagi ini ketika engkau tidak melihat saya di warung soto atau engkau pura-pura
tidak melihat, saya memutuskan untuk menyapamu lebih dahulu. Bukan karena
dijajah oleh rasa basa basi, tetapi lebih karena sedang berlatih ketulusan.
Saya pikir ini juga baik untuk belajar jujur dan latihan saya menghindar dari
watak pura-pura.
Lulus
dalam ujian pergaulan sungguh merupakan cita-cita saya dan tidak harus dengan
ongkos yang besar seperti mentraktir soto atau yang lainnya.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.