Senin, 03 November 2014

Ujian Dalam Pergaulan


Setiap minggu pagi, saya dan istri biasa sarapan pagi di luar, ada tiga pilihan tempat yang biasa saya datangi. Jika bukan bubur ayam depan rumah sakit umum, soto semarang jalan tanjung atau gudeg bu lusi di jalan laut yang menjadi pilihan. Kali ini saya memutuskan sarapan soto saja, maka mobil segera saya arahkan ke sana. Seperti biasa, tempat itu tampak penuh pengunjung pada jam-jam sarapan, karena warungnya memang kecil dan sempit sehingga tidak dapat menampung banyak orang.

Ketika saya bersama istri masuk dan mengambil tempat duduk, saya melihat ada empat kelompok keluarga yang sedang makan di situ. Yang dua saya kenal dan yang dua terasa asing. Ketika melewati meja salah satu yang saya kenal, kami saling bertegur sapa sejenak sebagai basa basi. Sedangkan di meja lain yang agak jauh, tampak seorang bapak yang saya kenal sedang asyik bersama keluarganya. Saya kenal karena merupakan salah seorang pelanggan tetap di bengkel saya.

Pada beberapa kali kesempatan saya melemparkan pandangan ke arah mereka agar paling tidak saya bisa mengangguk dan tersenyum dari jauh untuk menunjukkan keramahan, namun dia tidak pernah melihat ke arah saya. Sambil menunggu pesanan datang, saya pun merenung. Mungkin dia sengaja memilih memalingkan muka dan berpura-pura tidak melihat.

Sebagai manusia, saya juga sering diuji dengan ‘kejujuran dan ketulusan’ dalam pergaulan dan sering harus jatuh bangun untuk lulus dari ujian itu. Karena meski saya mengenal Anda, ada saja lagak saya untuk pura-pura sibuk tidak melihat, apalagi menyapa saat berpapasan di jalan atau ketemu di suatu tempat. Ada bermacam-macam alasan, dan ada kalanya dorongan semacam itu manuasiawi sekali. 

Tidak setiap kali kita siap bertemu dengan orang lain, terutama ketika kita tengah merasa waktunya tidak tepat. Karena pertemuan itu, betapapun singkatnya, selalu mengundang konsekuensi, bisa jadi cukup ditanggapi dengan basa basi atau sekadar tegur sapa. Tapi jika kita pengabdi keramahan dan kesopanan tingkat tinggi maka bisa jadi pertemuan tidak disengaja itu, bukan soal  yang remeh lagi.

Mungkin ketika kita sedang ingin tenang di restoran bersama keluarga, tiba-tiba saya melihat Anda masuk beserta keluarga, betapa repotnya jika kemudian saya mengajak keluarga Anda bergabung di meja saya untuk sok mendekatkan dua keluarga. Seolah-olah saya berhati sangat mulia sambil diam-diam tertekan oleh keadaan yang serba tidak terduga ini. Karena saya yang mengajakmu, maka saya yang harus membayarimu pula.

Jadi, bisa begitu berat konsekuensi itu kalau kita tidak tega berbasa-basi. Maka ketika kita berada di tempat-tempat umum, di dalam mall, atau di mana ketika kita seharusnya saling tahu, kita memilih untuk tidak saling melihat apalagi saling menyapa. Sebuah kepura-puraan yang sebetulnya menyiksa hati saya. Karena mestinya kita saling merasa bahwa kita sedang berpura-pura. 

Maka, pagi ini ketika engkau tidak melihat saya di warung soto atau engkau pura-pura tidak melihat, saya memutuskan untuk menyapamu lebih dahulu. Bukan karena dijajah oleh rasa basa basi, tetapi lebih karena sedang berlatih ketulusan. Saya pikir ini juga baik untuk belajar jujur dan latihan saya menghindar dari watak pura-pura.

Lulus dalam ujian pergaulan sungguh merupakan cita-cita saya dan tidak harus dengan ongkos yang besar seperti mentraktir soto atau yang lainnya.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar