Jumat, 31 Oktober 2014

Tentang Diri Sendiri


Pada acara diskusi sesi pertama para karyawan dari dua pom bensin dengan tim bintang dan direksi di ruang meeting pagi itu berlangsung meriah. Peserta dibagi tiga kelompok sesuai dengan deretan tempat duduk mereka. Setiap kelompok terdiri dari sepuluh orang kurang lebih. Tujuan dari diskusi kali ini adalah untuk evaluasi tentang kenapa masih ada spbu yang nilai auditnya belum maksimal.

Setiap kelompok diwajibkan menuliskan minimal dua pertanyaan yang diambil dari 4 materi yang pernah diberikan beberapa waktu yang lalu. Materi-materi itu terdiri dari 3 materi yang membuat para karyawan mudah dalam melaksanakan pekerjaan dan 1 materi tentang hak dan kewajiban. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang akan dijadikan bahan diskusi dalam pertemuan itu.

Topik pertanyaan yang diajukan dari pertama sampai habis, ternyata hanya berputar-putar sekitar hak dari karyawan semata, tidak satu soal pun menyinggung tiga materi yang lain, jauh dari harapan tim. Padahal, dari nilai hasil audit pencapaian kedua spbu itu masih memprihatinkan, bahkan boleh dibilang tidak ada kemajuan sama sekali sejak dimulainya program spbu bintang setahun yang lalu. 

Hal tersebut mengejutkan, namun sekaligus menjadi pembelajaran karena tim jadi tahu persoalan kenapa mereka tidak mengalami kemajuan selama ini. Pola pikir para karyawan yang berkutat pada  diri mereka sendiri jelas mempengaruhi prestasi mereka sehingga tertinggal dari spbu lain. Pola pikir ego sentris, yang berpusat pada diri sendiri, memang sering membuat kita terperangkap dalam kekeliruan-kekeliruan.

Keliru jika menganggap diri sendiri adalah orang yang paling penting, paling layak diurus, paling kaya, paling harus selamat, paling menderita dan paling-paling yang lain. Kekeliruan itu kadang amat kuat, sehingga kadang membuat kita jadi orang egois, menganggap orang lain tidak penting, menganggap remeh orang lain, selalu mengutamakan hak ketimbang kewajiban kita.

Penumpukan ego sering dilakukan tanpa disadari, bisa jadi berawal dari filosofi yang baik dan benar, seperti untuk bisa memberi maka sebelumnya kita harus memiliki. Tidak mungkin kita bisa memberi, bila tidak mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Untuk dapat menolong orang lain, kita harus kuat menolong diri sendiri lebih dahulu. Jadi, muaranya selalu pada diri sendiri.

Penafsiran filosofi seperti itu sering membuat kita mudah tergelincir sedemikian rupa. Terbukti dari banyak pihak yang akhirnya mengartikan memiliki bukan hanya dengan sekadar ‘cukup memiliki’ tetapi juga harus ‘banyak memiliki’ dan berkembang lagi menjadi ‘ memiliki amat banyak sekali’ sebelum akhirnya ‘semua ingin dimiliki’. Kepemilikan bisa jadi sumber yang mengacaukan segalanya.

Pada dasarnya, diri sendiri dan orang lain adalah dua gambar pada sebuah mata uang yang sama. Mengesampingkan salah satu, tak beda dengan mengesampingkan yang lainnya. Merusak salah satu gambar, sama dengan merusak semuanya. Maka, mencintai diri sendiri tanpa mencintai orang lain sesungguhnya merupakan sebuah kebodohan. Menghormati diri sendiri tanpa menghormati orang lain jelas sebuah kekeliruan.

Namun celakanya, penyakit itulah yang sekarang sedang menghinggapi diri kita semua.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar