Pada acara diskusi sesi pertama para karyawan dari dua pom bensin dengan tim bintang dan direksi di ruang meeting pagi itu berlangsung meriah. Peserta dibagi tiga kelompok sesuai dengan deretan tempat duduk mereka. Setiap kelompok terdiri dari sepuluh orang kurang lebih. Tujuan dari diskusi kali ini adalah untuk evaluasi tentang kenapa masih ada spbu yang nilai auditnya belum maksimal.
Setiap
kelompok diwajibkan menuliskan minimal dua pertanyaan yang diambil dari 4
materi yang pernah diberikan beberapa waktu yang lalu. Materi-materi itu
terdiri dari 3 materi yang membuat para karyawan mudah dalam melaksanakan
pekerjaan dan 1 materi tentang hak dan kewajiban. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut yang akan dijadikan bahan diskusi dalam pertemuan itu.
Topik
pertanyaan yang diajukan dari pertama sampai habis, ternyata hanya
berputar-putar sekitar hak dari karyawan semata, tidak satu soal pun menyinggung
tiga materi yang lain, jauh dari harapan tim. Padahal, dari nilai hasil audit
pencapaian kedua spbu itu masih memprihatinkan, bahkan boleh dibilang tidak ada
kemajuan sama sekali sejak dimulainya program spbu bintang setahun yang
lalu.
Hal
tersebut mengejutkan, namun sekaligus menjadi pembelajaran karena tim jadi tahu
persoalan kenapa mereka tidak mengalami kemajuan selama ini. Pola pikir para
karyawan yang berkutat pada diri
mereka sendiri jelas mempengaruhi prestasi mereka sehingga tertinggal dari spbu
lain. Pola pikir ego sentris, yang berpusat pada diri sendiri, memang sering
membuat kita terperangkap dalam kekeliruan-kekeliruan.
Keliru
jika menganggap diri sendiri adalah orang yang paling penting, paling layak
diurus, paling kaya, paling harus selamat, paling menderita dan paling-paling
yang lain. Kekeliruan itu kadang amat kuat, sehingga kadang membuat kita jadi
orang egois, menganggap orang lain tidak penting, menganggap remeh orang lain,
selalu mengutamakan hak ketimbang kewajiban kita.
Penumpukan
ego sering dilakukan tanpa disadari, bisa jadi berawal dari filosofi yang baik
dan benar, seperti untuk bisa memberi maka sebelumnya kita harus memiliki.
Tidak mungkin kita bisa memberi, bila tidak mempunyai sesuatu untuk diberikan
kepada orang lain. Untuk dapat menolong orang lain, kita harus kuat menolong
diri sendiri lebih dahulu. Jadi, muaranya selalu pada diri sendiri.
Penafsiran
filosofi seperti itu sering membuat kita mudah tergelincir sedemikian rupa.
Terbukti dari banyak pihak yang akhirnya mengartikan memiliki bukan hanya
dengan sekadar ‘cukup memiliki’ tetapi juga harus ‘banyak memiliki’ dan
berkembang lagi menjadi ‘ memiliki amat banyak sekali’ sebelum akhirnya ‘semua
ingin dimiliki’. Kepemilikan bisa jadi sumber yang mengacaukan segalanya.
Pada
dasarnya, diri sendiri dan orang lain adalah dua gambar pada sebuah mata uang
yang sama. Mengesampingkan salah satu, tak beda dengan mengesampingkan yang
lainnya. Merusak salah satu gambar, sama dengan merusak semuanya. Maka,
mencintai diri sendiri tanpa mencintai orang lain sesungguhnya merupakan sebuah
kebodohan. Menghormati diri sendiri tanpa menghormati orang lain jelas sebuah
kekeliruan.
Namun
celakanya, penyakit itulah yang sekarang sedang menghinggapi diri kita semua.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.