Belum begitu lama saya tahu bahwa kesialan atau kejadian yang salah ternyata ada hukumnya yaitu hukum Murphy. Penjelasannya sederhana, ‘sesuatu yang berpotensi salah, maka akan menjadi salah’, terlepas dari pendapat benar tidaknya. Hukum ini tidak memerlukan pembuktian untuk diperdebatkan kebenarannya, tapi berdasarkan pengalaman kita bisa merasakan keberadaannya.
Contohnya
dalil ini bekerja, dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti
ketika kita diberi segepok anak kunci yang mirip satu sama lain untuk membuka
pintu yang terkunci. Maka, kita harus mencobai satu persatu mana anak kunci
yang tepat untuk pintu itu. Biasanya, berkali kita gagal dan baru berhasil
membukanya dengan anak kunci yang terakhir, bukan yang kedua atau ketiga.
Atau
ketika sedang sarapan pagi dengan tenang, potongan roti yang baru saja diolesi
mentega tiba-tiba jatuh ke lantai. Dan sisi yang bermentega biasanya jatuh
menghadap ke bawah sehingga kotor dan tidak dapat diselamatkan. Ketika kita
sedang butu-buru, setiap lampu lalu lintas merah semua. Sehingga saya sempat
berpikir bahwa pengalaman kesialan yang kemarin kualami adalah karena sedang
berhadapan dengan dalil ini. Bahkan, kesialan masih berlanjut dengan soal jam
tangan.
Sesampai
di hotel usai makan malam bersama anak cucu dan menantu, saya baru merasakan
bahwa jam tangan yang saya kenakan penutup kacanya lepas entah di mana. Saya
berusaha berpikir keras di mana kejadiannya, tapi saya tidak merasa telah
membentur sesuatu. Padahal, jam tangan yang ini, merupakan jam
kesukaan, walau hanya sekadar replika dari merek terkenal.
Coba
kalau jam tangan ini bukan replika tentu reaksiku tidak seperti sekarang.
Walaupun harganya cukup mahal tapi sangat berbeda jauh dari harga yang aslinya.
Jadi, jika jam tangan ini asli, mungkin bepergianku kali ini semakin tidak
keruan, dari mulai paspor ketinggalan, lalu sakit gigi dan sekarang jam tangan
sungguh soal sangat serius, karena kalau yang asli, enolnya ada delapan.
Meskipun
bukan asli, tetap tidak mudah diabaikan begitu saja. Hampir saja kejengkelan
belaka yang menguasaiku, jika kejadian ini soal kesialan yang pertama. Akrab
dengan kesialan kemarin ternyata membuat lebih bisa berdamai, sehingga aku bisa
menerima kesialan yang lain. Maka, ketika soal itu kuanggap sebagai tambahan
kesialan saja, hasilnya cukup menentramkan.
Tapi
rupanya dalam sial masih ada keberuntungan. Tanpa dicari, esok paginya saya
menemukan kaca jam itu di atas wastafel kamar mandi hotel. Berarti cuma sedikit
sial, sifatnya sementara dan masih bisa diperbaiki. Segera kaca jam itu
kusimpan dan kuamankan, supaya nanti jam tangan kesayangan bisa kembali seperti
semula. Rasa sayang untuk merelakannya rusak, ternyata masih ada.
Tapi,
bukannya jam tangan itu kusimpan baik-baik meski sudah tahu tidak ada kacanya,
malah saya tetap mengenakannya, sehingga riwayat jam ini masih berlanjut.
Akibat kecerobohan ini, jarum jam tersenggol tas istri copot berantakan saat
berada di dalam bus. Jam yang seharusnya terselamatkan, kembali mendapat
musibah baru, mempermainkan perasaan bimbang antara membuang atau menyimpannya.
Karena
belum ikhlas kehilangan jam, jarum-jarum yang lepas kucari dan akhirnya bisa
kutemukan di bawah tempat duduk. Mungkin memang jam ini masih harus kumiliki,
sebab semuanya masih dalam kondisi lengkap walaupun terlepas. Jam tanganku
pasti akan aman dan baik-baik saja, jika saja kaca jam itu tidak terlepas dari
tanganku dan pecah jadi dua di atas meja kamar hotel.
Segala
sesuatu yang kita lakukan, hasilnya tetap rusak. Tempat yang paling tepat untuk
jam tangan itu ya di tempat sampah. Maka, saat kubuang baru merasa lega.
Seharusnya kulakukan lebih awal, karena ternyata murphy keparat itu ada.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.