Tiga hari ini saya kedatangan beberapa orang tamu dari luar daerah yang sengaja datang ke Cilacap. Mereka datang untuk keperluan rapat soal proyek yang segera akan dibangun di sini. Di dalam rapat ini, saya perhatikan cara mereka berbicara berbeda-beda, karena mereka memang membawa logat daerah masing-masing. Dua orang beraksen jawa timur, dua jakarta, satu kalimantan timur.
Karena
kebiasaan bicara sama istri pakai bahasa daerah, saya lupa memakainya di
hadapan mereka, sehingga mengundang komentar salah satu dari mereka. Mendengar
logat bicara saya, dia spontan mengatakan kalau ingat Parto. Memang Parto cukup
sukses sebagai pelawak OVJ, tapi pasti banyak orang yang tidak suka bila
disamakan dengan pelawak, karena profesi ini masih dianggap rendah di negara
saya.
Saat
saya sedang bicara mungkin anehnya tidak terasa di telinga sendiri. Tapi,
ketika mendengarkan hasil rekaman suara sendiri baik sedang berbicara maupun
menyanyi, jujur saya agak merana. Entah yang terlampau peka adalah telinga atau
perasaan saya sendiri, sulit untuk membedakannya. Yang pasti, saya agak
canggung mendengarkannya. Lebih baik ngeloyor pergi, siapa yang tega menonton
keburukan sendiri.
Setiap
kali saya bercakap-cakap dengan orang dari daerah lain, mereka pasti langsung
bisa menebak asal usul daerah saya. Ngapak-apak kata mereka. Lalu jadi bahan
bahasan yang cuma menimbulkan rasa sedih belaka. Padahal, saya sudah berusaha
keras belajar bercakap dengan baik, kalau bisa malah meniru penyiar tv atau
radio yang suaranya enak didengarkan.
Dalam
bernyanyi pun demikian, sekeras apapun upayaku meniru persis suara penyanyi
aslinya, tetap jatuhnya aksen ngapak-apak. Meskipun sudah saya siasati dengan
memilih lagu berbahasa inggris agar tersamarkan. Maka ketika ada yang memuji
nyanyian saya, saya curiga jangan-jangan hanya basa-basi. Barangkali lebih pas
menyanyi lengger banyumasan, sayang belum pernah mencobanya.
Tapi,
ternyata aku tidak sendirian, perasaanku agak membaik dan bisa tersenyum jika
melihat pakar marketing Hermawan Kertadjaya sedang berbahasa inggris di tv.
Bicara dengan penuh percaya diri, ngotot lagi tapi dengan logat Surabaya. Atau
kalau kita pergi ke negeri singa, mereka pakai bahasa inggris yang aneh karena
campur dengan aksen tionghoa, sungguh menggelikan.
Melihat
orang lain seperti itu saja saya geli, bisa saya bayangkan bagaimana orang
melihat diri saya. Tapi mereka baik-baik saja termasuk saya. Maka, sesungguhnya
soal ini bukanlah bencana, kata saya menghibur diri. Kecuali kita memercayai
rasisme budaya, di mana salah satu pihak memandang lebih rendah pihak yang
lain. Rasisme semacam ini, pelan-pelan harus dihilangkan dari konflik batin saya.
Sejak
lama saya merasa memiliki kekurangan dalam hal logat berbicara. Selain
ngapak-apak, kalau bicara keras bukan main, sungguh kampungan. Ini, jika sudut
pandang kecewa yang saya pakai. Tapi, jika sudut itu saya geser, beda lagi
persoalannya. Ia langsung jadi sudut yang gembira karena mudah menarik
perhatian orang dan cepat diingat orang, walau mungkin dicap kampungan.
Barangkali
itu sebabnya ada orang-orang yang sukses justru karena kekampungannya. Itulah
kenapa saya tidak tersinggung ketika dikatakan serupa dengan si Parto tegal,
yang naik harga karena ngapak-apaknya. Siapa tahu saya juga bisa lebih sukses
karena itu.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Ora ngapak ora kepenak, pancen nek ora ngapak ora kepenak
BalasHapusOrang bule aja ngomong bahasa indonesia terdengar cadel cadel gimana gituh... ga masalah tuh...
Sama aja kita yang orang melayu coba ngomong bahasa inggris, mau di bikin british kaya gimana juga, tetep aja aksen melayunya ada...
tapi ga masalah, toh bukan bahasa kita ini...
Ngapak dulu, ngapak lagi, ngapak terus
Salam Sukses, Hidup Luar Biasa.