Jumat, 10 Oktober 2014

Ngapak-apak


Tiga hari ini saya kedatangan beberapa orang tamu dari luar daerah yang sengaja datang ke Cilacap. Mereka datang untuk keperluan rapat soal proyek yang segera akan dibangun di sini. Di dalam rapat ini, saya perhatikan cara mereka berbicara berbeda-beda, karena mereka memang membawa logat daerah masing-masing. Dua orang beraksen jawa timur, dua jakarta, satu kalimantan timur.

Karena kebiasaan bicara sama istri pakai bahasa daerah, saya lupa memakainya di hadapan mereka, sehingga mengundang komentar salah satu dari mereka. Mendengar logat bicara saya, dia spontan mengatakan kalau ingat Parto. Memang Parto cukup sukses sebagai pelawak OVJ, tapi pasti banyak orang yang tidak suka bila disamakan dengan pelawak, karena profesi ini masih dianggap rendah di negara saya.

Saat saya sedang bicara mungkin anehnya tidak terasa di telinga sendiri. Tapi, ketika mendengarkan hasil rekaman suara sendiri baik sedang berbicara maupun menyanyi, jujur saya agak merana. Entah yang terlampau peka adalah telinga atau perasaan saya sendiri, sulit untuk membedakannya. Yang pasti, saya agak canggung mendengarkannya. Lebih baik ngeloyor pergi, siapa yang tega menonton keburukan sendiri.

Setiap kali saya bercakap-cakap dengan orang dari daerah lain, mereka pasti langsung bisa menebak asal usul daerah saya. Ngapak-apak kata mereka. Lalu jadi bahan bahasan yang cuma menimbulkan rasa sedih belaka. Padahal, saya sudah berusaha keras belajar bercakap dengan baik, kalau bisa malah meniru penyiar tv atau radio yang suaranya enak didengarkan.

Dalam bernyanyi pun demikian, sekeras apapun upayaku meniru persis suara penyanyi aslinya, tetap jatuhnya aksen ngapak-apak. Meskipun sudah saya siasati dengan memilih lagu berbahasa inggris agar tersamarkan. Maka ketika ada yang memuji nyanyian saya, saya curiga jangan-jangan hanya basa-basi. Barangkali lebih pas menyanyi lengger banyumasan, sayang belum pernah mencobanya.

Tapi, ternyata aku tidak sendirian, perasaanku agak membaik dan bisa tersenyum jika melihat pakar marketing Hermawan Kertadjaya sedang berbahasa inggris di tv. Bicara dengan penuh percaya diri, ngotot lagi tapi dengan logat Surabaya. Atau kalau kita pergi ke negeri singa, mereka pakai bahasa inggris yang aneh karena campur dengan aksen tionghoa, sungguh menggelikan. 

Melihat orang lain seperti itu saja saya geli, bisa saya bayangkan bagaimana orang melihat diri saya. Tapi mereka baik-baik saja termasuk saya. Maka, sesungguhnya soal ini bukanlah bencana, kata saya menghibur diri. Kecuali kita memercayai rasisme budaya, di mana salah satu pihak memandang lebih rendah pihak yang lain. Rasisme semacam ini, pelan-pelan harus dihilangkan dari konflik batin saya.

Sejak lama saya merasa memiliki kekurangan dalam hal logat berbicara. Selain ngapak-apak, kalau bicara keras bukan main, sungguh kampungan. Ini, jika sudut pandang kecewa yang saya pakai. Tapi, jika sudut itu saya geser, beda lagi persoalannya. Ia langsung jadi sudut yang gembira karena mudah menarik perhatian orang dan cepat diingat orang, walau mungkin dicap kampungan.

Barangkali itu sebabnya ada orang-orang yang sukses justru karena kekampungannya. Itulah kenapa saya tidak tersinggung ketika dikatakan serupa dengan si Parto tegal, yang naik harga karena ngapak-apaknya. Siapa tahu saya juga bisa lebih sukses karena itu.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
1 Comments

1 komentar:

  1. Ora ngapak ora kepenak, pancen nek ora ngapak ora kepenak

    Orang bule aja ngomong bahasa indonesia terdengar cadel cadel gimana gituh... ga masalah tuh...
    Sama aja kita yang orang melayu coba ngomong bahasa inggris, mau di bikin british kaya gimana juga, tetep aja aksen melayunya ada...
    tapi ga masalah, toh bukan bahasa kita ini...

    Ngapak dulu, ngapak lagi, ngapak terus

    Salam Sukses, Hidup Luar Biasa.

    BalasHapus