Karena mobil yang seharusnya menjemput saya di bandara Bandung masih di bengkel, maka saya minta anak dan menantu saja yang menjemput. Kebetulan hari sabtu, menantu saya sedang berada di rumahnya, karena kecuali hari sabtu dan minggu dia bekerja di Jakarta. Mereka suami istri bekerja di kota berlainan sehingga tidak dapat bersama tinggal di Bandung.
Antrian
imigrasi di bandara ini cukup lancar, tidak seperti di Jogya yang padat dan
harus berhimpitan walaupun bandaranya sama-sama kecil. Sambil menunggu bagasi
yang sedang dikeluarkan, kulihat seseorang yang sibuk mengambil kopor bawaannya
yang ternyata cukup banyak. Melihat tampilan mewahnya, saya rasa dia adalah
seorang pengusaha sukses, tapi mau repot angkat barang sendiri.
Saya
agak jengkel juga melihat orang kaya tapi tidak mau menggunakan jasa petugas
angkat barang yang hidupnya pasti cukup susah. Maka, setiap bepergian baik naik
kereta atau naik pesawat saya berusaha menggunakan jasa mereka, walau bawaan
saya sebenarnya tidak seberapa. Kebiasaan ini selalu saya lakukan agar bisa
berbagi rejeki dengan mereka, bukan karena sok bergaya.
Saya
pikir, kita harus dapat membedakan mana hemat dan mana kikir. Kecuali kalau
memang tidak ada petugas jasa itu, kita dituntut kemandirian untuk bisa
mengangkat barang-barang sendiri. Tapi bukan kemandirian yang tidak peduli
dengan penderitaan orang lain. Jika terpaksa, saya juga masih mampu mengangkat
empat buah kopor sendirian.
Alasan
paling jelas, adalah karena kita melihat masih banyak saudara, teman dan
tetangga yang hidup dalam kekurangan. Mengambil keputusan cuma berperan sebagai
penonton saja terhadap kesenjangan dan ketidakseimbangan lingkungan adalah
tindakan yang sama sekali tidak terpuji. Karena sementara mereka begitu
kurangnya, saya begitu berkecukupan.
Selalu
ada alasan atau dorongan setiap manusia untuk berbuat mulia, tak terkecuali
saya. Dorongan ini harus didengar, dipelihara dan dibesarkan karena ia adalah
sumber kegembiraan. Maka, saya tak perlu malu kalau dikatakan sok bergaya ingin
dianggap seperti bos yang selalu menggunakan jasa layanan angkat barang.
Tujuannya memang untuk bisa menggembirakan sesama.
Jangankan
cuma seorang tukang angkat barang, jika saja saya diberi kemampuan bahkan ada
niatan ingin menggembirakan sebanyak mungkin orang. Toh, hanya kehilangan uang
tidak seberapa jika ongkos setiap kopornya dihitung sepuluh ribu rupiah. Jadi,
sebetulnya tidak bisa dianggap dermawan apalagi mulia, karena hanya ganti jasa
yang wajar. Kali ini, juga hanya perlu dua puluh ribu rupiah untuk dua buah
kopor.
Sambil
berjalan keluar, kutanyakan kepada istri apakah ada uang dua puluh ribuan, ternyata
cuma ada selembar uang puluhan ribu dan lainnya ratusan. Sepuluh ribu terlalu
sedikit, kasihan si tukang. Seratus ribu, wah terlampau banyak apalagi melihat
tampangnya bukan orang yang
menderita. Biar nanti setelah di luar, kusuruh beli rokok dulu agar dapat uang
pecahan.
Setiba
di luar, saya kaget setengah mati. Di luar dugaan yang menjemput bukan cuma
menantu tapi juga besan atau ayah dari menantu yang tinggal di Jogya dan
kebetulan sedang berkunjung. Mereka berdua langsung mengambil alih dua kopor
dan satu tentengan dari tangan si tukang. Kejadiannya begitu tiba-tiba,
membuyarkan rencana beli rokok dan memecah uang ratusan. Membuat posisiku serba
salah, karena besan membawakan koporku walau cuma sebatas sampai tempat
parkir.
Alamak,
rasa sungkan terhadap besan mendesakku cepat mengambil keputusan. Maka, bak
seorang dermawan sungguhan kurelakan uang seratus ribu demi sebuah kebiasaan,
menggembirakan tukang angkat barang. Asem...
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.