Selasa, 07 Oktober 2014

Harga Sebuah Kebiasaan


Karena mobil yang seharusnya menjemput saya di bandara Bandung masih di bengkel, maka saya minta anak dan menantu saja yang menjemput. Kebetulan hari sabtu, menantu saya sedang berada di rumahnya, karena kecuali hari sabtu dan minggu dia bekerja di Jakarta. Mereka suami istri bekerja di kota berlainan sehingga tidak dapat bersama tinggal di Bandung.

Antrian imigrasi di bandara ini cukup lancar, tidak seperti di Jogya yang padat dan harus berhimpitan walaupun bandaranya sama-sama kecil. Sambil menunggu bagasi yang sedang dikeluarkan, kulihat seseorang yang sibuk mengambil kopor bawaannya yang ternyata cukup banyak. Melihat tampilan mewahnya, saya rasa dia adalah seorang pengusaha sukses, tapi mau repot angkat barang sendiri.

Saya agak jengkel juga melihat orang kaya tapi tidak mau menggunakan jasa petugas angkat barang yang hidupnya pasti cukup susah. Maka, setiap bepergian baik naik kereta atau naik pesawat saya berusaha menggunakan jasa mereka, walau bawaan saya sebenarnya tidak seberapa. Kebiasaan ini selalu saya lakukan agar bisa berbagi rejeki dengan mereka, bukan karena sok bergaya. 

Saya pikir, kita harus dapat membedakan mana hemat dan mana kikir. Kecuali kalau memang tidak ada petugas jasa itu, kita dituntut kemandirian untuk bisa mengangkat barang-barang sendiri. Tapi bukan kemandirian yang tidak peduli dengan penderitaan orang lain. Jika terpaksa, saya juga masih mampu mengangkat empat buah kopor sendirian.

Alasan paling jelas, adalah karena kita melihat masih banyak saudara, teman dan tetangga yang hidup dalam kekurangan. Mengambil keputusan cuma berperan sebagai penonton saja terhadap kesenjangan dan ketidakseimbangan lingkungan adalah tindakan yang sama sekali tidak terpuji. Karena sementara mereka begitu kurangnya, saya begitu berkecukupan.

Selalu ada alasan atau dorongan setiap manusia untuk berbuat mulia, tak terkecuali saya. Dorongan ini harus didengar, dipelihara dan dibesarkan karena ia adalah sumber kegembiraan. Maka, saya tak perlu malu kalau dikatakan sok bergaya ingin dianggap seperti bos yang selalu menggunakan jasa layanan angkat barang. Tujuannya memang untuk bisa menggembirakan sesama.

Jangankan cuma seorang tukang angkat barang, jika saja saya diberi kemampuan bahkan ada niatan ingin menggembirakan sebanyak mungkin orang. Toh, hanya kehilangan uang tidak seberapa jika ongkos setiap kopornya dihitung sepuluh ribu rupiah. Jadi, sebetulnya tidak bisa dianggap dermawan apalagi mulia, karena hanya ganti jasa yang wajar. Kali ini, juga hanya perlu dua puluh ribu rupiah untuk dua buah kopor.

Sambil berjalan keluar, kutanyakan kepada istri apakah ada uang dua puluh ribuan, ternyata cuma ada selembar uang puluhan ribu dan lainnya ratusan. Sepuluh ribu terlalu sedikit, kasihan si tukang. Seratus ribu, wah terlampau banyak apalagi melihat tampangnya bukan  orang yang menderita. Biar nanti setelah di luar, kusuruh beli rokok dulu agar dapat uang pecahan.

Setiba di luar, saya kaget setengah mati. Di luar dugaan yang menjemput bukan cuma menantu tapi juga besan atau ayah dari menantu yang tinggal di Jogya dan kebetulan sedang berkunjung. Mereka berdua langsung mengambil alih dua kopor dan satu tentengan dari tangan si tukang. Kejadiannya begitu tiba-tiba, membuyarkan rencana beli rokok dan memecah uang ratusan. Membuat posisiku serba salah, karena besan membawakan koporku walau cuma sebatas sampai tempat parkir. 

Alamak, rasa sungkan terhadap besan mendesakku cepat mengambil keputusan. Maka, bak seorang dermawan sungguhan kurelakan uang seratus ribu demi sebuah kebiasaan, menggembirakan tukang angkat barang. Asem...


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar