Beberapa
hari yang lalu, saya berkumpul dengan sanak saudara yang jauh-jauh. Ada
paman-paman, bibi, adik, sepupu, keponakan dan banyak lagi yang mustahil
kukenali satu persatu saking lamanya tidak saling kontak dan silaturahmi.
Bahkan ada yang tinggal se kota denganku pun jarang bertemu. Kalau pun ketemu
pada acara yang tidak sengaja seperti di tempat resepsi dan lain-lain.
Kali
ini pun kami bisa bertemu dan berkumpul hanya karena uwak (sepupu dari ayah)
meninggal. Di dalam rumah duka, tidak tampak tangis dan keharuan hanya sekadar
kesedihan yang wajar, mungkin juga karena uwak yang meninggal sudah berumur.
Tak banyak orang yang mampu mencapai di atas delapan puluh tahun. Boleh dikata,
suasananya malah lebih menyerupai reunian antar sanak famili.
Malam itu
menjadi ajang saling mengingat lagi karena ada yang beberapa puluh tahun tidak
ketemu, ada yang melihat saat masih kecil, sehingga kalau ketemu di jalan juga
tidak akan mengenalnya lagi. Bahkan ada yang sama sekali belum pernah bertemu.
Ada sedikit rasa bersalah dalam hati terutama kepada saudara yang sudah
tua-tua, karena saya terlalu sibuk untuk sekedar menyambangi.
Salah
satu kelemahan saya antara lain jarang ke luar rumah, kecuali untuk urusan yang
benar-benar penting. Kantor berada di lingkungan rumah sendiri, sehingga tidak
perlu melangkah ke luar pagar halaman. Setiap hari selalu sibuk dengan sederet
kegiatan, mulai dari bangun tidur sampai terkapar mendengkur di tempat tidur
sebagai rutinitas.
Banyak
orang yang terjebak bahwa hidup harus sibuk. Kalau tidak, dia merasa hidupnya
tidak berarti, merasa membuang-buang waktu, merasa tak dibutuhkan lagi oleh
orang lain dan tak ada orang yang menyayangi dan menginginkannya lagi. Maka,
begitu bangun tidur, dia sudah siap mengisi sepanjang harinya dengan berbagai
macam kegiatan.
Sesampai
di kantor, dia akan mengerjakan tugas-tugas yang sudah menunggunya. Kalau dia
seorang bawahan, dia berusaha sebaik mungkin supaya atasannya melihat dia
datang tepat waktu dan siap untuk bekerja. Kalau dia seorang atasan, dia
menyuruh semua orang untuk segera bekerja. Kalau tidak ada tugas penting akan
mencari kesibukan dan menciptakannya, mencetuskan rencana baru, dan tindakan
yang diperlukan.
Tidak
terkecuali saya, kerap menjadi sibuk dengan pekerjaan sehingga soal-soal yang
bukan urusan pekerjaan sering dikesampingkan, bahkan terlupakan. Malam itu,
saya kembali diingatkan soal seseorang yang selalu menanyakan, ingin bertemu
dengan saya yang diakuinya sebagai cucu, walau bukan cucu sungguhan. Berulang
kali, orang yang saya sebut eyang putri ini menitip pesan lewat orang-orang
yang mengenalku untuk disampaikan ke padaku.
Istri
juga sudah sering mengingatkan jika eyang putri ini, yang usianya sudah delapan
puluh tujuh tahun, minta dijenguk karena sudah sulit berjalan. Tapi tak pernah
kusempatkan, apalagi kupentingkan. Sudah lebih dari setahun aku tahu dan
mendengar, tapi selalu saja meremehkan. Padahal, permintaan yang sederhana ini,
cuma butuh waktu sekejap. Rumahnya dekat cuma lima ratus meter dari rumahku.
Malam itu,
aku baru sadar bahwa ada jenis kebaikan yang harus segera dikerjakan mengingat
usia beliau. Kalau terlambat kulakukan mungkin hanya akan jadi penyesalan.
Maka, saya bersama istri segera bergegas ke rumahnya, kusingkirkan dulu
soal-soal lainnya. Masih terbayang, wajahnya yang sangat bahagia, saat kupeluk
dan kuajak bercerita tentang apa saja.
Jika
aku terlena dengan kesibukan diri sendiri, mungkin tak ada lagi kebaikan yang
bisa kuperbuat kepadanya. Kebahagiaan ternyata bisa datang lewat pintu mana saja,
termasuk lewat soal-soal yang sederhana. Hanya perlu kusisihkan sedikit waktu
untuk itu.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.