Beberapa bulan yang lalu, saya berulang kali mendatangi rumah sakit dengan hati yang bahagia dan gembira karena memang ada rumah sakit yang penghuni dan pengunjungnya sebagian besar adalah orang-orang yang berbahagia, yaitu rumah sakit bersalin. Karena kelahiran putra-putri mereka, maka para orang tua dan keluarga, semuanya bersuka cita.
Hanya
senyum yang ceria dan bahagia, ucapan selamat dan kado-kado indah yang
berdatangan yang saya lihat di sekitar penghuni tempat itu. Karena di rumah
sakit bersalin inilah, awal kehadiran anak-anak ke dalam dunia kehidupan yang
nyata. Seperti terminal keberangkatan bagi sebuah kehidupan. Sungguh
menyenangkan.
Berlawanan
sekali ketika berkunjung ke rumah sakit umum, yang saya hadapi kali ini adalah
jauh dari keceriaan, apalagi kebahagiaan. Tempat yang satu ini mirip seperti
sebuah terminal terakhir. Mereka yang sakitnya tak tersembuhkan, yang terkapar
tak berdaya menunggu maut datang menjemput dan bisa setiap saat. Yang menunggu
pasien juga ikut cemas dan khawatir, selalu ada rasa terkejut setiap kali
perawat memanggil mereka.
Di
tempat seperti ini, pemandangan keseluruhan adalah derita. Wajah-wajah yang
saya temui hanya memancarkan ketidakberdayaan dan kelelahan, tidak cuma lelah
fisik tapi juga psikis. Yang merasa sakit tidak hanya pasien, yang menunggui,
para keluarganya, juga ikut sakit. Sakit mental dan pikiran, dan pada saat itu
mutu kemanusiaan sebuah keluarga mengalami ujian.
Jika
yang sakit istri, maka suami akan sibuk kalang kabut, siap menjadi ibu dari
anak-anak, sekaligus menanggung beban pekerjaan kantor. Jika yang sakit suami,
maka istri akan lebih terbebani, apalagi jika biaya rumah sakit tidak
ditanggung oleh kantor. Selain mengurus anak dan suami, masih harus dihantui
oleh biaya yang tidak sedikit. Jadi jelas sakit itu cuma mengakibatkan kedukaan
belaka.
Mereka
boleh saja dicekam kedukaan yang mendalam, tapi roda kehidupan berjalan terus,
rekening listrik dan air, uang sekolah tetap harus dibayar, angsuran kredit
juga tidak boleh menunggak. Untuk hidup dengan berduka tapi terus bekerja,
jelas cuma manusia berkelas yang mampu menjalaninya.
Di
rumah sakit, kita melihat betapa rapuhnya manusia. Ketika sedang merasa sehat
sering kita lupa diri, hidup dengan cara yang tidak sehat. Pola makan semau
kita, aktivitas yang terlalu padat, tidak cukup beristirahat, merokok dan
mengabaikan olah raga seolah tubuh kita begitu amat tangguhnya. Kemudian kita
baru sadar ketika segalanya sudah terlambat, saat terkapar di rumah sakit.
Membayangkan
diri sendiri terkapar di rumah sakit, sungguh tak sederhana ongkosnya, baik
ongkos perasaan, pikiran dan tenaga, termasuk ongkos materi. Tak terbayangkan
bagaimana repot istri dan anak saya mengurusinya. Apalagi jika rumah sakitnya
jauh dari rumah tinggal atau di luar kota yang jauh dari sanak saudara, padahal
mereka juga harus mengurus pekerjaan sambil menanggung beban yang berat.
Sungguh
kalut pikiran saya, padahal baru membayangkan saja apalagi jika harus
benar-benar terjadi. Syukur, hanya sekadar bayangan saja. Namun bayangan itu
telah membuat saya melihat keluarga dengan cara berbeda. Ketika kita tak berdaya,
hanya ada mereka. Selama ini, keberadaan, kebaikan dan tanggung jawabnya
sebagai istri, sering saya anggap soal biasa dan sudah sewajarnya begitu. Itu
sudah menjadi tugasnya.
Padahal
itu bukan soal biasa, namun soal-soal luar biasa yang saya terlambat
melihatnya.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.