Rabu, 12 November 2014

Rumah Sakit


Beberapa bulan yang lalu, saya berulang kali mendatangi rumah sakit dengan hati yang bahagia dan gembira karena memang ada rumah sakit yang penghuni dan pengunjungnya sebagian besar adalah orang-orang yang berbahagia, yaitu rumah sakit bersalin. Karena kelahiran putra-putri mereka, maka para orang tua dan keluarga, semuanya bersuka cita.

Hanya senyum yang ceria dan bahagia, ucapan selamat dan kado-kado indah yang berdatangan yang saya lihat di sekitar penghuni tempat itu. Karena di rumah sakit bersalin inilah, awal kehadiran anak-anak ke dalam dunia kehidupan yang nyata. Seperti terminal keberangkatan bagi sebuah kehidupan. Sungguh menyenangkan.

Berlawanan sekali ketika berkunjung ke rumah sakit umum, yang saya hadapi kali ini adalah jauh dari keceriaan, apalagi kebahagiaan. Tempat yang satu ini mirip seperti sebuah terminal terakhir. Mereka yang sakitnya tak tersembuhkan, yang terkapar tak berdaya menunggu maut datang menjemput dan  bisa setiap saat. Yang menunggu pasien juga ikut cemas dan khawatir, selalu ada rasa terkejut setiap kali perawat memanggil mereka.

Di tempat seperti ini, pemandangan keseluruhan adalah derita. Wajah-wajah yang saya temui hanya memancarkan ketidakberdayaan dan kelelahan, tidak cuma lelah fisik tapi juga psikis. Yang merasa sakit tidak hanya pasien, yang menunggui, para keluarganya, juga ikut sakit. Sakit mental dan pikiran, dan pada saat itu mutu kemanusiaan sebuah keluarga mengalami ujian.

Jika yang sakit istri, maka suami akan sibuk kalang kabut, siap menjadi ibu dari anak-anak, sekaligus menanggung beban pekerjaan kantor. Jika yang sakit suami, maka istri akan lebih terbebani, apalagi jika biaya rumah sakit tidak ditanggung oleh kantor. Selain mengurus anak dan suami, masih harus dihantui oleh biaya yang tidak sedikit. Jadi jelas sakit itu cuma mengakibatkan kedukaan belaka.

Mereka boleh saja dicekam kedukaan yang mendalam, tapi roda kehidupan berjalan terus, rekening listrik dan air, uang sekolah tetap harus dibayar, angsuran kredit juga tidak boleh menunggak. Untuk hidup dengan berduka tapi terus bekerja, jelas cuma manusia berkelas yang mampu menjalaninya.

Di rumah sakit, kita melihat betapa rapuhnya manusia. Ketika sedang merasa sehat sering kita lupa diri, hidup dengan cara yang tidak sehat. Pola makan semau kita, aktivitas yang terlalu padat, tidak cukup beristirahat, merokok dan mengabaikan olah raga seolah tubuh kita begitu amat tangguhnya. Kemudian kita baru sadar ketika segalanya sudah terlambat, saat terkapar di rumah sakit.

Membayangkan diri sendiri terkapar di rumah sakit, sungguh tak sederhana ongkosnya, baik ongkos perasaan, pikiran dan tenaga, termasuk ongkos materi. Tak terbayangkan bagaimana repot istri dan anak saya mengurusinya. Apalagi jika rumah sakitnya jauh dari rumah tinggal atau di luar kota yang jauh dari sanak saudara, padahal mereka juga harus mengurus pekerjaan sambil menanggung beban yang berat.

Sungguh kalut pikiran saya, padahal baru membayangkan saja apalagi jika harus benar-benar terjadi. Syukur, hanya sekadar bayangan saja. Namun bayangan itu telah membuat saya melihat keluarga dengan cara berbeda. Ketika kita tak berdaya, hanya ada mereka. Selama ini, keberadaan, kebaikan dan tanggung jawabnya sebagai istri, sering saya anggap soal biasa dan sudah sewajarnya begitu. Itu sudah menjadi tugasnya. 

Padahal itu bukan soal biasa, namun soal-soal luar biasa yang saya terlambat melihatnya.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar