Siang itu panas sekali, ketika aku berniat memasuki kedai kopi Starbuck di halaman tower BNI 1946 sebelah hotel Shangri la, Jakarta sambil menunggu istri yang sedang ketemu temannya di gedung itu. Ketika aku mencoba mau masuk lewat pintu samping, ada kertas tertempel di kaca yang bertuliskan kalau pintu itu rusak, sehingga hanya bisa akses keluar masuk melalui pintu utama.
Tapi
sempat juga aku mencoba mendorongnya, ternyata memang terkunci. Kadang kita
suka berlaku bodoh, sudah tahu rusak masih mencoba. Lalu aku memilih minum kopi
di luar, di area smoking yang memang disediakan oleh kedai kopi itu meskipun
panas, ketimbang minum di dalam ruangan ber ac tapi tidak bisa merokok. Pilihan
yang tahu diri.
Tak
lama kemudian ada dua orang pemuda datang dan mau masuk lewat pintu samping
itu, segera aku berbaik hati memberi tahu kalau pintu itu rusak dan menunjukkan
pintu yang lain. Kedua orang tadi segera pergi pindah pintu tanpa menoleh
apalagi mengucapkan terima kasih. Hampir mengepul uap di kepalaku, karena
keramahan dan kepedulian yang kuberikan dianggap angin lalu.
Kuperhatikan
mereka berjalan keluar dengan membawa minumannya dan memilih duduk di luar di
sebelah pintu rusak itu, rupanya mereka juga sebangsaku kaum perokok.
Kenikmatan ngopiku nyaris terganggu melihat wajah mereka lagi kalau saja
menuruti watak asliku yang selalu mudah terganggu oleh soal-soal sepele.
Tak
berapa lama, kembali ada seorang bapak yang mau mencoba masuk lewat pintu rusak
tadi. Aku sengaja berdiam diri dulu, karena ada dua orang yang lebih dekat
dengan bapak itu. Tapi rupanya mereka memang jenis orang-orang yang tidak mau
berderma sedikit pun dalam bentuk memberi tahu. Jadi, aku segera beri tahu
bapak itu untuk menggunakan pintu yang lain.
Di
negara ini ternyata banyak sekali orang yang tidak peduli terhadap orang lain
seperti itu. Maka, daripada harus tersinggung setiap saat, lebih baik
menganggap pemandangan itu adalah soal yang jamak saja. Karena ada saja
perusahaan angkutan yang nekad tidak punya garasi yang cukup, lalu menutupi
pemandangan depan rumahku dengan menderetkan kendaraan mereka setiap hari.
Jangan
ditanya pula, sopir angkutan yang menunggu penumpang sambil tak merasa
mengangkangi jalan orang lain. Jadi, kalau cuma soal tidak mau berderma dengan
memberitahu, seharusnya kita maafkan saja, bahkan boleh saja kita sambut dengan
gembira karena toh tidak merugikan orang lain seperti sopir atau perusahaan
angkutan itu.
Hidup
di negara ini memang harus memiliki cadangan maaf yang besar, sebab jumlah
pelanggaran dan kesalahan sudah di atas jumlah maaf yang tersedia. Apa yang
kita lihat sehari-hari bukan lagi soal memaafkan, tapi lebih menyerupai sikap
putus asa. Putus asa kepada pelanggaran yang sudah jauh di atas takaran,
sehingga kita lebih memilih diam dan akhirnya masa bodoh terhadapnya.
Padahal
masa bodoh adalah sungguh suatu sikap yang berbahaya. Karena ketika kita
melakukan pembiaran terhadap suatu pelanggaran, dapat berdampak lebih buruk
daripada pelanggaran itu sendiri. Satu-satunya hal yang diperlukan agar
pelanggaran atau kejahatan bisa menang, jika orang baik tidak berbuat apa-apa.
Nasihat Konfusius lebih jelas lagi, ‘ Mengetahui sesuatu yang baik, tetapi
tidak melakukannya adalah sikap pengecut yang paling buruk.’
Itulah
kenapa aku akan terus memberitahukan pintu rusak itu selama masih duduk di situ
kepada siapa saja yang salah pintu.
Salam SUKSES, HIDUP LUAR
BIASA.