Rabu, 05 November 2014

Pintu Rusak di Kedai Kopi


Siang itu panas sekali, ketika aku berniat memasuki kedai kopi Starbuck di halaman tower BNI 1946 sebelah hotel Shangri la, Jakarta sambil menunggu istri yang sedang ketemu temannya di gedung itu. Ketika aku mencoba mau masuk lewat pintu samping, ada kertas tertempel di kaca yang bertuliskan kalau pintu itu rusak, sehingga hanya bisa akses keluar masuk melalui pintu utama.

Tapi sempat juga aku mencoba mendorongnya, ternyata memang terkunci. Kadang kita suka berlaku bodoh, sudah tahu rusak masih mencoba. Lalu aku memilih minum kopi di luar, di area smoking yang memang disediakan oleh kedai kopi itu meskipun panas, ketimbang minum di dalam ruangan ber ac tapi tidak bisa merokok. Pilihan yang tahu diri.

Tak lama kemudian ada dua orang pemuda datang dan mau masuk lewat pintu samping itu, segera aku berbaik hati memberi tahu kalau pintu itu rusak dan menunjukkan pintu yang lain. Kedua orang tadi segera pergi pindah pintu tanpa menoleh apalagi mengucapkan terima kasih. Hampir mengepul uap di kepalaku, karena keramahan dan kepedulian yang kuberikan dianggap angin lalu.

Kuperhatikan mereka berjalan keluar dengan membawa minumannya dan memilih duduk di luar di sebelah pintu rusak itu, rupanya mereka juga sebangsaku kaum perokok. Kenikmatan ngopiku nyaris terganggu melihat wajah mereka lagi kalau saja menuruti watak asliku yang selalu mudah terganggu oleh soal-soal sepele.

Tak berapa lama, kembali ada seorang bapak yang mau mencoba masuk lewat pintu rusak tadi. Aku sengaja berdiam diri dulu, karena ada dua orang yang lebih dekat dengan bapak itu. Tapi rupanya mereka memang jenis orang-orang yang tidak mau berderma sedikit pun dalam bentuk memberi tahu. Jadi, aku segera beri tahu bapak itu untuk menggunakan pintu yang lain.

Di negara ini ternyata banyak sekali orang yang tidak peduli terhadap orang lain seperti itu. Maka, daripada harus tersinggung setiap saat, lebih baik menganggap pemandangan itu adalah soal yang jamak saja. Karena ada saja perusahaan angkutan yang nekad tidak punya garasi yang cukup, lalu menutupi pemandangan depan rumahku dengan menderetkan kendaraan mereka setiap hari.

Jangan ditanya pula, sopir angkutan yang menunggu penumpang sambil tak merasa mengangkangi jalan orang lain. Jadi, kalau cuma soal tidak mau berderma dengan memberitahu, seharusnya kita maafkan saja, bahkan boleh saja kita sambut dengan gembira karena toh tidak merugikan orang lain seperti sopir atau perusahaan angkutan itu. 

Hidup di negara ini memang harus memiliki cadangan maaf yang besar, sebab jumlah pelanggaran dan kesalahan sudah di atas jumlah maaf yang tersedia. Apa yang kita lihat sehari-hari bukan lagi soal memaafkan, tapi lebih menyerupai sikap putus asa. Putus asa kepada pelanggaran yang sudah jauh di atas takaran, sehingga kita lebih memilih diam dan akhirnya masa bodoh terhadapnya.

Padahal masa bodoh adalah sungguh suatu sikap yang berbahaya. Karena ketika kita melakukan pembiaran terhadap suatu pelanggaran, dapat berdampak lebih buruk daripada pelanggaran itu sendiri. Satu-satunya hal yang diperlukan agar pelanggaran atau kejahatan bisa menang, jika orang baik tidak berbuat apa-apa. Nasihat Konfusius lebih jelas lagi, ‘ Mengetahui sesuatu yang baik, tetapi tidak melakukannya adalah sikap pengecut yang paling buruk.’

Itulah kenapa aku akan terus memberitahukan pintu rusak itu selama masih duduk di situ kepada siapa saja yang salah pintu. 

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar