Sebenarnya
jumlah sumber jengkel dan iba sama banyaknya di sekitar kita, tapi saya lebih mudah
menemukan jengkel daripada iba. Seperti dalam seminggu ini misalnya, dua kali
saya ke Jakarta menggunakan jasa kereta api, dua kali pula saya mengalami
kejengkelan. Hanya karena sopir tua kami selalu salah pintu dalam menjemput.
Setiap
turun dari kereta, saya akan keluar stasiun dari pintu utara, karena pintu
itulah yang terdekat dengan gerbong yang saya tumpangi. Tapi sopir itu
menjemput di pintu selatan sehingga saya harus berjalan kaki cukup jauh dengan
beban barang bawaan. Padahal, saya sudah beritahukan berkali-kali untuk
menunggu saja di pintu utara.
Jadi,
kejengkelan itu bisa berada di balik apa saja, termasuk dalam soal yang itu-itu
saja. Mungkin ia salah dalam menerjemahkan instruksi. Mungkin ia memang perlu
ditegur berkali-kali. Tapi, jika saya lihat dari arah sebaliknya, baru saya
menemukan iba. Iba tidak begitu saja muncul, karena saya harus mencarinya. Bisa
melalui wajah sopir yang mulai tua, bisa melalui tubuhnya yang tidak segesit
dulu lagi.
Terhadap
pembantu juga demikian, kita bayar tenaganya sangat murah sehingga wajar saja
kalau ia rawan salah. Mau murah tapi tidak mau resiko salah, jelas tidak masuk
akal. Melihat dari sisi ini saja, membuat saya harus mengubur semua
kesalahan-kesalahannya. Ada banyak persoalan yang sering kita lihat cuma dari
satu arah sehingga membuat kita miskin sudut pandang.
Mengundang
rasa jengkel ke dalam diri kita begitu mudahnya karena terlalu banyak terjadi
soal-soal yang keliru menurut kita. Tetapi, mengundang rasa iba bagi saya lebih
sulit karena saya bukan orang yang terlalu lembut. Itulah kenapa saya perlu
membayangkan berbagai hal yang dapat memancing keharuan.
Misal,
kepada para pengamen dan peminta-minta, sekuat tenaga saya menepis pikiran
kalau mereka adalah gangguan. Boleh jadi, karena saya belum pada posisi yang
mendatangi mereka, itulah kenapa mereka dikirim kepada saya agar saya
tersentuh pada kesulitan sesama. Sayang sekali tidak seluruh dari mereka yang
datang mengundang keibaan saya.
Terharu
kepada orang lain mungkin memang masih sulit, maka saya mencoba berlatih dengan
yang lebih mudah. Misalnya, memandang mata kucing kami yang tampak memelas,
padahal semua mata kucing memang begitu. Maklum, karena ia kucing kesayangan
saya. Ketika ia mengeluarkan suara meong-meong di dalam kandang, saya tidak
tega dan segera mengeluarkannya.
Ketika
suatu saat ia lari ketakutan oleh sebuah suara, saya segera datang menawarkan
perlindungan. Tiba-tiba, saya merasa segala sesuatu tentang hewan ini adalah
soal-soal yang membuat saya iba. Padahal, saya yakin ia kucing yang sedang
baik-baik saja. Bahkan nasibnya jelas lebih baik dari kucing kebanyakan yang
miskin perhatian.
Belajar
menemukan sumber rasa iba sebagai pengganti jengkel di sekitar kita tentu tidak
akan sia-sia. Saya yakin jika kita kerap melakukannya ia pasti akan lebih
sering hadir, menggeser kedudukan jengkel dan menghadiahi hati ini berupa
kesabaran dan kelembutan.