Kamis, 19 Maret 2015

Mengganti Hati

Sebenarnya jumlah sumber jengkel dan iba sama banyaknya di sekitar kita, tapi saya lebih mudah menemukan jengkel daripada iba. Seperti dalam seminggu ini misalnya, dua kali saya ke Jakarta menggunakan jasa kereta api, dua kali pula saya mengalami kejengkelan. Hanya karena sopir tua kami selalu salah pintu dalam menjemput.



Setiap turun dari kereta, saya akan keluar stasiun dari pintu utara, karena pintu itulah yang terdekat dengan gerbong yang saya tumpangi. Tapi sopir itu menjemput di pintu selatan sehingga saya harus berjalan kaki cukup jauh dengan beban barang bawaan. Padahal, saya sudah beritahukan berkali-kali untuk menunggu saja di pintu utara.



Jadi, kejengkelan itu bisa berada di balik apa saja, termasuk dalam soal yang itu-itu saja. Mungkin ia salah dalam menerjemahkan instruksi. Mungkin ia memang perlu ditegur berkali-kali. Tapi, jika saya lihat dari arah sebaliknya, baru saya menemukan iba. Iba tidak begitu saja muncul, karena saya harus mencarinya. Bisa melalui wajah sopir yang mulai tua, bisa melalui tubuhnya yang tidak segesit dulu lagi.



Terhadap pembantu juga demikian, kita bayar tenaganya sangat murah sehingga wajar saja kalau ia rawan salah. Mau murah tapi tidak mau resiko salah, jelas tidak masuk akal. Melihat dari sisi ini saja, membuat saya harus mengubur semua kesalahan-kesalahannya. Ada banyak persoalan yang sering kita lihat cuma dari satu arah sehingga membuat kita miskin sudut pandang.



Mengundang rasa jengkel ke dalam diri kita begitu mudahnya karena terlalu banyak terjadi soal-soal yang keliru menurut kita. Tetapi, mengundang rasa iba bagi saya lebih sulit karena saya bukan orang yang terlalu lembut. Itulah kenapa saya perlu membayangkan berbagai hal yang dapat memancing keharuan.




Misal, kepada para pengamen dan peminta-minta, sekuat tenaga saya menepis pikiran kalau mereka adalah gangguan. Boleh jadi, karena saya belum pada posisi yang mendatangi mereka, itulah kenapa  mereka dikirim kepada saya agar saya tersentuh pada kesulitan sesama. Sayang sekali tidak seluruh dari mereka yang datang mengundang keibaan saya.
 



Terharu kepada orang lain mungkin memang masih sulit, maka saya mencoba berlatih dengan yang lebih mudah. Misalnya, memandang mata kucing kami yang tampak memelas, padahal semua mata kucing memang begitu. Maklum, karena ia kucing kesayangan saya. Ketika ia mengeluarkan suara meong-meong di dalam kandang, saya tidak tega dan segera mengeluarkannya.



Ketika suatu saat ia lari ketakutan oleh sebuah suara, saya segera datang menawarkan perlindungan. Tiba-tiba, saya merasa segala sesuatu tentang hewan ini adalah soal-soal yang membuat saya iba. Padahal, saya yakin ia kucing yang sedang baik-baik saja. Bahkan nasibnya jelas lebih baik dari kucing kebanyakan yang miskin perhatian.



Belajar menemukan sumber rasa iba sebagai pengganti jengkel di sekitar kita tentu tidak akan sia-sia. Saya yakin jika kita kerap melakukannya ia pasti akan lebih sering hadir, menggeser kedudukan jengkel dan menghadiahi hati ini berupa kesabaran dan kelembutan.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar