Selasa, 17 Maret 2015

Perjalanan Naik Onta


Awalnya, pengalaman naik onta saya pikir akan membawa kegembiraan semata. Kapan lagi saya bisa naik onta karena di negeri sendiri hewan itu tidak ada, itu alasan yang pertama. Alasan yang kedua, ada misi sakral dalam perjalanan naik onta kali ini, yaitu mendaki bukit Sinai di Mesir tempat di mana nabi Musa mendapatkan sepuluh perintah Allah.

Dua alasan itu saja sudah cukup membuat saya bersemangat untuk gembira, apalagi jika nanti sepanjang jalan yang dilalui ternyata indah pemandangannya, bisa untuk foto-foto. Tujuan wisata, selain melihat tempat indah yang belum pernah didatangi, belanja cendera mata, ya berfoto-foto, termasuk selfie untuk update status. Tidak terkecuali dalam wisata rohani, hanya mungkin ibadah di sini lebih diutamakan.

Tapi, ketika sore itu kami sampai di kaki bukit Sinai, semangat yang tadinya tinggi, turun drastis. Apa yang saya lihat, tidak sesuai dengan apa yang saya bayangkan. Bukit Sinai yang ada di hadapan saya ternyata bukit tinggi berbatu yang terjal dan tandus, semuanya batu. Bau kencing dan kotoran onta juga begitu menyengat menyambut kami, mengurangi jumah kegembiraan saya.

Ini baru permulaan pengurang kegembiraan. Saya sebut pengurang saja, agar tidak keterlaluan kalau menganggapnya penderitaan untuk tujuan yang sakral. Pelana onta yang terdiri dari tumpukan kain kumal yang cukup tebal dengan tonggak kayu kecil di bagian depan dan belakang sebagai penahan punggung, sangat jauh dari aman, apalagi nyaman. 

Walaupun pelananya sudah dibuat berukuran hanya muat untuk satu orang dan membuat kita yang duduk di atasnya sulit bergeser, tapi pegangan kayu itu sungguh mengkhawatirkan. Apalagi berbeda dengan naik kuda yang mempunyai injakan pedal untuk kaki kita. Kaki akan mengangkangi punggung onta tanpa pijakan.


Dan ketika onta mulai melangkahkan kakinya, saya langsung kesakitan. Punggung saya rasanya mau patah terbentur kayu penahan di pelana onta itu, karena goncangan onta akibat jalan yang tidak rata dan berbatu. Baru berjalan tiga langkah dari tujuh setengah kilometer yang harus saya tempuh saja sudah menyakitkan. Padahal, lama perjalanan naik onta menempuh jarak itu sekitar satu setengah sampai dua jam.


Membayangkan derita yang harus saya rasakan selama dua jam, rasanya saya ingin menyerah kalau saja tidak melihat istri yang tampak santai naik onta yang lain. Itulah kenapa akhirnya saya memilih bertahan, tangan yang satu memegang penahan kayu di belakang agar supaya tidak langsung kena punggung dan tangan yang lain di penahan kayu depan sebagai pegangan.

Semakin naik ke bukit, ternyata semakin mengerikan, melihat ke kanan dan kiri cuma jurang berbatu yang terjal. Tidak hanya sekali saya menyebut Tuhan, bahkan sepanjang jalan saya hanya bisa berdoa tanpa henti. Saya berdoa bukan karena layaknya orang saleh dan mulia, tapi semata-mata karena takut kaki onta tergelincir terjatuh ke jurang.

Di dalam ketakutan semacam ini, anak istri, saudara, tetangga benar-benar tak berdaya, karena saya hanya berdua bersama onta. Mustahil saya berbagi ketakutan dengan mereka. Jarak onta yang satu dengan yang lain cukup jauh, sehingga saya benar-benar merasa sendirian, maka apa salahnya jika Tuhan saya dekati dengan cara tidak sengaja seperti ini.

Hanya soal naik onta saja, ternyata hanya Tuhan yang bisa sebagai sandaran. Maka, ketika sampai di puncak bukit dan saya turun dari onta, saya benar-benar gembira. Bukan karena saya telah berhasil menyelesaikan perjalanan naik onta tapi karena sepanjang perjalanan itu dekat dengan-Nya. Sebuah kebersamaan yang jarang saya lakukan dalam keseharian.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar