Awalnya, pengalaman naik onta saya pikir akan membawa kegembiraan semata. Kapan lagi saya bisa naik onta karena di negeri sendiri hewan itu tidak ada, itu alasan yang pertama. Alasan yang kedua, ada misi sakral dalam perjalanan naik onta kali ini, yaitu mendaki bukit Sinai di Mesir tempat di mana nabi Musa mendapatkan sepuluh perintah Allah.
Dua
alasan itu saja sudah cukup membuat saya bersemangat untuk gembira, apalagi
jika nanti sepanjang jalan yang dilalui ternyata indah pemandangannya, bisa
untuk foto-foto. Tujuan wisata, selain melihat tempat indah yang belum pernah
didatangi, belanja cendera mata, ya berfoto-foto, termasuk selfie untuk update
status. Tidak terkecuali dalam wisata rohani, hanya mungkin ibadah di sini
lebih diutamakan.
Tapi,
ketika sore itu kami sampai di kaki bukit Sinai, semangat yang tadinya tinggi,
turun drastis. Apa yang saya lihat, tidak sesuai dengan apa yang saya
bayangkan. Bukit Sinai yang ada di hadapan saya ternyata bukit tinggi berbatu
yang terjal dan tandus, semuanya batu. Bau kencing dan kotoran onta juga begitu
menyengat menyambut kami, mengurangi jumah kegembiraan saya.
Ini
baru permulaan pengurang kegembiraan. Saya sebut pengurang saja, agar tidak
keterlaluan kalau menganggapnya penderitaan untuk tujuan yang sakral. Pelana
onta yang terdiri dari tumpukan kain kumal yang cukup tebal dengan tonggak kayu
kecil di bagian depan dan belakang sebagai penahan punggung, sangat jauh dari
aman, apalagi nyaman.
Walaupun
pelananya sudah dibuat berukuran hanya muat untuk satu orang dan membuat kita
yang duduk di atasnya sulit bergeser, tapi pegangan kayu itu sungguh
mengkhawatirkan. Apalagi berbeda dengan naik kuda yang mempunyai injakan pedal
untuk kaki kita. Kaki akan mengangkangi punggung onta tanpa pijakan.
Dan ketika onta mulai
melangkahkan kakinya, saya langsung kesakitan. Punggung saya rasanya mau patah
terbentur kayu penahan di pelana onta itu, karena goncangan onta akibat jalan
yang tidak rata dan berbatu. Baru berjalan tiga langkah dari tujuh setengah
kilometer yang harus saya tempuh saja sudah menyakitkan. Padahal, lama perjalanan
naik onta menempuh jarak itu sekitar satu setengah sampai dua jam.
Membayangkan
derita yang harus saya rasakan selama dua jam, rasanya saya ingin menyerah
kalau saja tidak melihat istri yang tampak santai naik onta yang lain. Itulah
kenapa akhirnya saya memilih bertahan, tangan yang satu memegang penahan kayu
di belakang agar supaya tidak langsung kena punggung dan tangan yang lain di
penahan kayu depan sebagai pegangan.
Semakin
naik ke bukit, ternyata semakin mengerikan, melihat ke kanan dan kiri cuma
jurang berbatu yang terjal. Tidak hanya sekali saya menyebut Tuhan, bahkan
sepanjang jalan saya hanya bisa berdoa tanpa henti. Saya berdoa bukan karena
layaknya orang saleh dan mulia, tapi semata-mata karena takut kaki onta
tergelincir terjatuh ke jurang.
Di
dalam ketakutan semacam ini, anak istri, saudara, tetangga benar-benar tak
berdaya, karena saya hanya berdua bersama onta. Mustahil saya berbagi ketakutan
dengan mereka. Jarak onta yang satu dengan yang lain cukup jauh, sehingga saya
benar-benar merasa sendirian, maka apa salahnya jika Tuhan saya dekati dengan
cara tidak sengaja seperti ini.
Hanya
soal naik onta saja, ternyata hanya Tuhan yang bisa sebagai sandaran. Maka,
ketika sampai di puncak bukit dan saya turun dari onta, saya benar-benar gembira.
Bukan karena saya telah berhasil menyelesaikan perjalanan naik onta tapi karena
sepanjang perjalanan itu dekat dengan-Nya. Sebuah kebersamaan yang jarang saya
lakukan dalam keseharian.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.