Jujur saya terkejut ketika mengetahui bahwa tim saya membuat pengumuman dengan embel-embel wajib hadir untuk acara motivasi karyawan sendiri yang berlangsung hari Rabu malam di hotel Tiga Intan Cilacap. Tim mungkin khawatir acara di malam itu kurang sukses kalau karyawan tidak banyak yang datang, padahal kantor sudah mengeluarkan biaya besar untuk sewa gedung dan konsumsi.
Sebagai
pimpinan tentu saya menginginkan seluruh karyawan mempunyai kesadaran diri
untuk hadir demi kebaikan dan kemajuan. Jadi, soal wajib hadir itu jelas
berlawanan dengan kehendak saya yang menginginkan mereka bersedia datang dengan
suka rela bukan karena terpaksa. Meskipun acara itu sendiri berlangsung sukses,
karena peserta yang hadir ternyata melebihi jumlah kursi yang tersedia.
Itu
jika saya lihat dari sudut seorang pimpinan. Tapi jika saya lihat dari sudut
sebagai motivator, soal jumlah peserta yang membludak, merupakan soal yang
menggembirakan. Apalagi jika acara itu tidak gratis alias berbayar. Bayangkan
saja jika harga tiket lima ratus ribu rupiah per orang dan pesertanya malam itu
sekitar seratus delapan puluh orang.
Maka
membayangkan penghasilan motivator yang sudah terkenal dan harga tiketnya
sampai jutaan rupiah hanya menimbulkan rasa iri. Bukan iri karena jumlah uang
yang dihasilkannya, tapi iri karena sudah memasang harga mahal pun masih
berjubel peminatnya. Artinya memang banyak sekali orang yang bersedia membayar
mahal hanya untuk mendengarkan mereka berbicara.
Sedangkan
ketika saya yang berbicara sebagai motivator seperti malam itu, harus
mewajibkan orang lain untuk mendengarkan padahal tak perlu bayar dan
mendapatkan makan malam gratis. Jadi, saya tidak dapat membayangkan jika saya
memungut bayaran, jangan-jangan tidak ada seorang pun yang datang. Itulah kenapa saya tak
mau berprofesi sebagai motivator yang memasang tarif karena takut gagal.
Tetapi
di antara yang hadir pada malam itu juga ada beberapa yang bukan karyawan saya.
Mereka menggembirakan saya, mereka datang pasti karena suka rela. Mereka bukan
karyawan sendiri dan saya juga tidak berkepentingan karena saya juga tidak
dibayar oleh mereka. Hubungan seperti inilah yang saya sukai karena yang
mempertemukan kami adalah soal kebutuhan.
Kebutuhan
itu dinamakan mendengar dan didengar. Sebagai pembicara saya senang
didengarkan, dan mereka mendengarkan.Memang saya suka bicara tapi sebenarnya
saya juga suka mendengar. Keduanya adalah pekerjaan yang mengasyikan. Mendengar
orang lain yang berbicara, tentu dengan kualitas bicara yang saya harapkan,
sungguh kenikmatan. Kenikmatannya hampir menyerupai ketika saya bicara dan
diterima oleh penonton dengan penuh minat dan kesungguhan.
Saya
pernah mengalami kekecewaan tidak didengar justru ketika sedang ingin
didengarkan. Situasi semacam itu sungguh membuat harga diri berada pada titik
terendah. Ternyata cuma dengan cara tidak didengar saja kita bisa membuat
seseorang kehilangan semangatnya. Namun sebaliknya kita bisa menumbuhkan
semangat hidup orang lain hanya dengan mendengarkan.
Karena
itu marilah kita belajar menjadi pendengar yang baik agar dapat menyemangati
orang lain. Sementara jika kita ingin didengar, jangan paksakan orang lain untuk
mendengar apalagi didengar karena orang iba pada kita. Berupaya keraslah agar
orang lain mendengar karena kita memang layak didengar.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.