Selasa, 26 Mei 2015

Wajib Hadir


Jujur saya terkejut ketika mengetahui bahwa tim saya membuat pengumuman dengan embel-embel wajib hadir untuk acara motivasi karyawan sendiri yang berlangsung hari Rabu malam di hotel Tiga Intan Cilacap. Tim mungkin khawatir acara di malam itu kurang sukses kalau karyawan tidak banyak yang datang, padahal kantor sudah mengeluarkan biaya besar untuk sewa gedung dan konsumsi. 

Sebagai pimpinan tentu saya menginginkan seluruh karyawan mempunyai kesadaran diri untuk hadir demi kebaikan dan kemajuan. Jadi, soal wajib hadir itu jelas berlawanan dengan kehendak saya yang menginginkan mereka bersedia datang dengan suka rela bukan karena terpaksa. Meskipun acara itu sendiri berlangsung sukses, karena peserta yang hadir ternyata melebihi jumlah kursi yang tersedia.

Itu jika saya lihat dari sudut seorang pimpinan. Tapi jika saya lihat dari sudut sebagai motivator, soal jumlah peserta yang membludak, merupakan soal yang menggembirakan. Apalagi jika acara itu tidak gratis alias berbayar. Bayangkan saja jika harga tiket lima ratus ribu rupiah per orang dan pesertanya malam itu sekitar seratus delapan puluh orang.

Maka membayangkan penghasilan motivator yang sudah terkenal dan harga tiketnya sampai jutaan rupiah hanya menimbulkan rasa iri. Bukan iri karena jumlah uang yang dihasilkannya, tapi iri karena sudah memasang harga mahal pun masih berjubel peminatnya. Artinya memang banyak sekali orang yang bersedia membayar mahal hanya untuk mendengarkan mereka berbicara.

Sedangkan ketika saya yang berbicara sebagai motivator seperti malam itu, harus mewajibkan orang lain untuk mendengarkan padahal tak perlu bayar dan mendapatkan makan malam gratis. Jadi, saya tidak dapat membayangkan jika saya memungut bayaran, jangan-jangan tidak ada seorang pun yang  datang. Itulah kenapa saya tak mau berprofesi sebagai motivator yang memasang tarif karena takut gagal.
  
Tetapi di antara yang hadir pada malam itu juga ada beberapa yang bukan karyawan saya. Mereka menggembirakan saya, mereka datang pasti karena suka rela. Mereka bukan karyawan sendiri dan saya juga tidak berkepentingan karena saya juga tidak dibayar oleh mereka. Hubungan seperti inilah yang saya sukai karena yang mempertemukan kami adalah soal kebutuhan.

Kebutuhan itu dinamakan mendengar dan didengar. Sebagai pembicara saya senang didengarkan, dan mereka mendengarkan.Memang saya suka bicara tapi sebenarnya saya juga suka mendengar. Keduanya adalah pekerjaan yang mengasyikan. Mendengar orang lain yang berbicara, tentu dengan kualitas bicara yang saya harapkan, sungguh kenikmatan. Kenikmatannya hampir menyerupai ketika saya bicara dan diterima oleh penonton dengan penuh minat dan kesungguhan.

Saya pernah mengalami kekecewaan tidak didengar justru ketika sedang ingin didengarkan. Situasi semacam itu sungguh membuat harga diri berada pada titik terendah. Ternyata cuma dengan cara tidak didengar saja kita bisa membuat seseorang kehilangan semangatnya. Namun sebaliknya kita bisa menumbuhkan semangat hidup orang lain hanya dengan mendengarkan.

Karena itu marilah kita belajar menjadi pendengar yang baik agar dapat menyemangati orang lain. Sementara jika kita ingin didengar, jangan paksakan orang lain untuk mendengar apalagi didengar karena orang iba pada kita. Berupaya keraslah agar orang lain mendengar karena kita memang layak didengar.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar