Jumat, 10 April 2015

Cabang Baru


Kami syukuran dan semua bersuka cita pada hari pembukaan cabang bengkel variasi otokits yang ketiga di Wonosobo minggu kemarin. Rasanya masih terasa gema riuhnya tepukan tangan, masih terbayang puluhan bunga ucapan selamat, dan masih tersimpan kiriman pesan dari para sahabat dan handai taulan yang ikut bergembira. Tanpa terasa bengkel ini sudah berjalan sembilan tahun.


Mengawali tahun yang ke sepuluh, dengan tambahan satu cabang baru tentu saya bergembira, puas rasanya, sekalipun saya tahu bahwa ini berbahaya. Saya merasa puas karena memperoleh tantangan baru, seperti seorang anak mendapat mainan baru. Tapi sekaligus berbahaya karena setiap kali saya mengawali usaha baru seperti memasuki gelanggang pertandingan yang saya tidak pernah tahu akan berhasil atau tidak.


Namanya pertandingan, kita tentu bisa kalah, tapi saya tetap merasa gembira karena telah mencapai niatan. Niatan melahirkan sebuah cabang baru. Orang sering salah duga bahwa saya dapat menjamin setiap usaha baru yang saya lakukan akan selalu sukses. Memang ada kenaikan kelas dari dua cabang menjadi tiga. Logika kenaikan kelas ini sering dipandang sebagai kenaikan segala-galanya.

Itulah kenapa banyak orang yang syukuran jika naik jabatan, naik status dan naik golongan. Hajat ini bisa dipahami sebagai rasa syukur atas pangkat baru, pencapaian baru dan rejeki baru. Kenaikan itu tidak pernah dipahami dalam pengertian sungguh-sungguh sebagai ketertekanan baru, penderitaan baru, dan tanggung jawab baru.

Bagaimana tidak ? Setelah membuka sebuah cabang baru, maka saya punya persoalan baru, punya tanggung jawab baru untuk menyukseskannya. Saya hanya akan menderita jika bengkel cabang itu sepi pengunjung. Saya akan tertekan jika target penjualannya tidak tercapai. Apalagi jika saya harus menanggung rugi karena biaya lebih besar daripada keuntungan.

Bahkan kenaikan kelas itu jika tak disikapi dengan tepat, bisa menjatuhkan. Padahal jika jatuh dari ketinggian tentu sakit, semakin tinggi kenaikan akan membanting kita semakin keras. Kita sering melihat tentang manusia yang kemalangannya bertepatan dengan kenaikannya. Belum rampung mereka bergembira menyelenggarakan syukuran, pada saat yang sama musibah mengintip di balik jendela.

Banyak orang tidak kuat memenuhi tuntutan naik kelas itu, akhirnya menuai musibah di saat sedang menanjak hidupnya. Musibah itu bisa dikarenakan gagalnya menyangga jabatan, terbongkarnya aib sampai penyalahgunaan kekuasaan. Orang Jawa bilang, ora kuat derajat. Apakah kenaikan kelas akan selalu menimbulkan akibat-akibat yang mengerikan semacam itu ?

Sepanjang berada di tangan orang yang kuat dan tepat, tentu tidak akan berakibat demikian. Bagi orang semacam itu, kenaikan adalah kenaikan profesi. Orang itu dengan mudah akan menyesuaikan profesi barunya dengan bersikap profesional. Kelasnya meningkat, kualitasnya juga meningkat setara dengan kenaikannya.

Maka, kenaikan kelas itu selain wajib kita syukuri juga perlu kita waspadai dan kemudian kita sikapi dengan sebaik-baiknya. Karena banyak orang ingin lebih sukses, tapi tidak memantaskan diri untuk menjadi lebih sukses, ingin lebih mulia tanpa pernah benar-benar memiliki derajat kemuliaan yang sesungguhnya. Memantaskan diri itulah tugas kita.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar