Menemukan kekeliruan, tidak pernah ada habisnya. Sumber kekeliruan rasanya ada di mana-mana. Banyaknya kekeliruan membuat saya terpaku kepadanya hingga lupa dengan kekeliruan saya sendiri. Jika dituruti, mengamati kekeliruan yang terjadi menggoda saya untuk terpancing menjadi kesal hati. Jika kesal hati dituruti, bisa memancing yang lainnya lagi, misalnya mengomel atau bahkan marah.
Saya
sendiri belum bisa membebaskan diri dari soal-soal semacam itu. Cenderung
terganggu ketika melihat
kekeliruan-kekeliruan itu terjadi, meski tak berhubungan langsung terhadap
saya. Melihat saja sudah terganggu, apalagi terlibat dengannya. Di jalanan, di
pekerjaan, bahkan di rumah sendiri, amat mudah menemukan soal-soal yang membuat
kesal.
Semakin
banyak sumber kekeliruan, semakin banyak pula sumber kekesalan saya. Tapi,
setelah saya amati, kekesalan saya sia-sia, tidak merubah apa pun. Ketika
pembantu lupa mengembalikan barang-barang pada tempatnya, sekalipun saya
marah-marah tidak membuat barang itu balik ke tempatnya. Siapa yang marah malah
cenderung tidak melakukan tindakan apa-apa.
Daripada
cuma marah tanpa tindakan, pasti lebih baik marah sambil tetap bertindak, walau
hasilnya belum tentu maksimal. Bertindak sambil marah atau mengomel juga akan
menguras enerji kita lebih banyak. Lebih baik enerji untuk marah dipakai untuk
menambah tindakan, tentu hasilnya akan lebih baik.
Maka,
ketika mobil saya mau ke luar tidak tampak satpam yang membukakan pintu
gerbang, saya buka sendiri, apa susahnya. Melihat sampah yang tercecer di
lantai kantor, saya memungut sendiri dan menyingkirkannya ketika berjalan
melewatinya, apa sulitnya. Hal ini membuat karyawan yang melihatnya sungkan dan
makin rajin dalam menjaga kebersihan.
Awal
ketika saya menginginkan para karyawan konsisten melakukan senyum salam sapa
terhadap pelanggan, hawanya kesal belaka karena mereka belum terbiasa. Hampir
hilang seluruh akal saya dan cuma uring-uringan saat sudah mencoba berbagai
cara agar mereka bisa, tapi tidak membawa hasil. Sampai suatu saat saya
menemukan ide, yaitu ‘dengan bertindak’ memberikan salam terlebih dahulu
terhadap mereka.
Salam
duluan dari saya sebagai pimpinan tentu mengejutkan mereka. Pada mulanya mereka
kaget dan canggung sampai diam kebingungan terlambat bereaksi, tetapi kemudian
memberi hasil yang memuaskan. Akhirnya mereka menjadi tidak enak hati didahului
oleh pimpinan, sehingga berusaha memberikan salam setiap bertemu saya.
Kini,
setiap ada dorongan untuk mengomel atau marah, segera saya ubah menjadi
tindakan. Agak berat pada mulanya, tetapi saya yakini bahwa berat itu hanya
suatu awalan. Setelah ia menjadi kebiasaan, maka yang berat itu menjadi
biasa-biasa saja. Dari hari ke hari, saya makin yakin bahwa bukan omelan atau
marah yang dapat memperbaiki keadaan, tetapi hanya tindakan.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.