Jumat, 06 Februari 2015

Karyawan Saya Bukan Saya


Menjadi seorang karyawan, menurut saya lebih banyak dukanya ketimbang sukanya. Berbuat salah sedikit bisa dimarahi atasan atau paling tidak kena teguran, apalagi jika salahnya banyak. Itu adalah pengalaman saya selama bertahun-tahun, sebelum memberanikan diri ambil pensiun dini kemudian beralih haluan menjadi pengusaha.

Karena itulah sebagai pengusaha mantan karyawan, saya berusaha sedapat mungkin mengendalikan diri untuk tidak sering memberikan teguran apalagi marah-marah atau pun berkata kasar terhadap karyawan. Tetapi namanya manusia berusaha, ada kalanya saya gagal ada kalanya sukses. Jika gagal, setidaknya ia memberi pelajaran. Jika sukses, tentu membawa kegembiraan.

Jika akhirnya saya tak tahan dan terpaksa melakukannya, teguran saya jadi terukur dan secukupnya saja, karena ada faktor usaha di dalamnya. Kalau pun pertahanan saya jebol, tidak jebol seluruhnya. Kalau usaha saya berhasil untuk tidak menegur walaupun sebenarnya ingin menegur, saya sungguh gembira, berarti saya telah memiliki kesabaran. Itulah inti dari usaha pengendalian diri.

Saat saya gagal mengendalikan diri, saya belajar dan bertanya kenapa. Saat sukses saya juga belajar dan bertanya kenapa. Gagal atau sukses ternyata ada polanya. Lalu saya identifikasi polanya sampai ketemu. Ternyata, semua berawal dari pemahaman saya atas diri sendiri dan mereka. Kemungkinan saya kurang memahami mereka.

Banyak sekali soal yang membuat saya ingin memberikan teguran, dari mulai soal remeh sampai soal yang serius. Dari soal absensi, kebersihan, seragam, sampai soal target yang tidak tercapai. Menahan diri untuk tidak memberikan teguran secara pribadi, jelas menjadi persoalan yang tidak mudah saat mendapati banyaknya pelanggaran.

Dari sudut saya jelas, visi misi perusahaan tertuang dalam kalimat yang indah, terpampang terang benderang menjadi suatu kebanggaan. Peraturan perusahaan harus ditegakkan, kedisiplinan kerja selalu terjaga, hak dan kewajiban karyawan juga terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Itulah mengapa saya memiliki daftar panjang keinginan saya terhadap mereka.

Semakin panjang daftar keinginan saya, semakin panjang pula daftar kemarahan saya kalau bertemu dengan kesalahan. Kita memang seumur hidup telah dilatih sedemikan rupa untuk memergoki orang sedang melakukan sesuatu yang salah. Orang tua kita, guru, atasan kita, selalu memberikan teguran atas sesuatu yang telah kita lakukan, sehingga kita cenderung berpikir sama dengan mereka.

Tapi, ketika saya tak cuma paham diri sendiri tapi juga paham mereka, segera saya menyadari bahwa keinginan saya bukan keinginan mereka. Daftar saya juga bukan daftar mereka. Mereka juga punya daftar panjang sendiri, yang banyak berbeda dengan daftar saya. Memang ada beberapa yang sama. Tapi ketika keinginan mereka berbeda, ternyata itu yang tidak saya sukai.

Padahal, saya yang tidak suka itu, dulu juga mempunyai daftar keinginan yang sama dengan mereka. Bukan saya yang sekarang, tapi saya yang dulu ketika masih berstatus seorang karyawan. Menuntut hak lebih saya pentingkan ketimbang kewajiban. Sudut pandang saya sebagai karyawan, tidak sama dengan sudut pandang pemilik perusahaan. Menyamakan persepsi, adalah tugas saya sekarang.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar