Menjadi seorang karyawan, menurut saya lebih banyak dukanya ketimbang sukanya. Berbuat salah sedikit bisa dimarahi atasan atau paling tidak kena teguran, apalagi jika salahnya banyak. Itu adalah pengalaman saya selama bertahun-tahun, sebelum memberanikan diri ambil pensiun dini kemudian beralih haluan menjadi pengusaha.
Karena
itulah sebagai pengusaha mantan karyawan, saya berusaha sedapat mungkin
mengendalikan diri untuk tidak sering memberikan teguran apalagi marah-marah
atau pun berkata kasar terhadap karyawan. Tetapi namanya manusia berusaha, ada
kalanya saya gagal ada kalanya sukses. Jika gagal, setidaknya ia memberi
pelajaran. Jika sukses, tentu membawa kegembiraan.
Jika
akhirnya saya tak tahan dan terpaksa melakukannya, teguran saya jadi terukur
dan secukupnya saja, karena ada faktor usaha di dalamnya. Kalau pun pertahanan
saya jebol, tidak jebol seluruhnya. Kalau usaha saya berhasil untuk tidak
menegur walaupun sebenarnya ingin menegur, saya sungguh gembira, berarti saya
telah memiliki kesabaran. Itulah inti dari usaha pengendalian diri.
Saat
saya gagal mengendalikan diri, saya belajar dan bertanya kenapa. Saat sukses
saya juga belajar dan bertanya kenapa. Gagal atau sukses ternyata ada polanya.
Lalu saya identifikasi polanya sampai ketemu. Ternyata, semua berawal dari
pemahaman saya atas diri sendiri dan mereka. Kemungkinan saya kurang memahami
mereka.
Banyak
sekali soal yang membuat saya ingin memberikan teguran, dari mulai soal remeh
sampai soal yang serius. Dari soal absensi, kebersihan, seragam, sampai soal
target yang tidak tercapai. Menahan diri untuk tidak memberikan teguran secara
pribadi, jelas menjadi persoalan yang tidak mudah saat mendapati banyaknya
pelanggaran.
Dari
sudut saya jelas, visi misi perusahaan tertuang dalam kalimat yang indah,
terpampang terang benderang menjadi suatu kebanggaan. Peraturan perusahaan
harus ditegakkan, kedisiplinan kerja selalu terjaga, hak dan kewajiban karyawan
juga terpenuhi dengan sebaik-baiknya. Itulah mengapa saya memiliki daftar
panjang keinginan saya terhadap mereka.
Semakin
panjang daftar keinginan saya, semakin panjang pula daftar kemarahan saya kalau
bertemu dengan kesalahan. Kita memang seumur hidup telah dilatih sedemikan rupa
untuk memergoki orang sedang melakukan sesuatu yang salah. Orang tua kita,
guru, atasan kita, selalu memberikan teguran atas sesuatu yang telah kita
lakukan, sehingga kita cenderung berpikir sama dengan mereka.
Tapi,
ketika saya tak cuma paham diri sendiri tapi juga paham mereka, segera saya
menyadari bahwa keinginan saya bukan keinginan mereka. Daftar saya juga bukan
daftar mereka. Mereka juga punya daftar panjang sendiri, yang banyak berbeda
dengan daftar saya. Memang ada beberapa yang sama. Tapi ketika keinginan mereka
berbeda, ternyata itu yang tidak saya sukai.
Padahal,
saya yang tidak suka itu, dulu juga mempunyai daftar keinginan yang sama dengan
mereka. Bukan saya yang sekarang, tapi saya yang dulu ketika masih berstatus
seorang karyawan. Menuntut hak lebih saya pentingkan ketimbang kewajiban. Sudut
pandang saya sebagai karyawan, tidak sama dengan sudut pandang pemilik perusahaan.
Menyamakan persepsi, adalah tugas saya sekarang.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.