Sudah menjadi ritual di rumahku setiap sore selalu tersedia beraneka macam jajanan di meja. Setiap hari penyajiannya berbeda kombinasi jenisnya agar tidak bosan ketika memakannya. Hampir semua jajanan yang ada di sini pernah didatangkan ke mejaku. Dari mulai kue basah yang jenisnya banyak sekali sampai aneka gorengan, bubur, kolak dan sebagainya.
Di
antara jajanan itu, ada yang ingin saya bahas yaitu es pisang ijo. Kebetulan
sore ini jatah makanan ini, tapi batal tersedia di hadapanku, karena penjualnya
tutup. Makanan ini sebetulnya khas kota Makasar, namun sudah hampir sepuluh
tahun ada di kotaku. Rasanya pun dijamin tidak kalah enak dengan yang aslinya,
bahkan menurut lidahku lebih mantap yang satu ini.
Disajikan
campur dengan bubur sumsum yang gurih membuat rasanya manis-manis asin.
Pisangnya berasal dari pisang ambon yang dipotong-potong seruas jempol lalu
dibungkus dengan adonan dari terigu warna hijau, sehingga dinamakan pisang ijo.
Entah bagaimana mereka punya ide menjual ini, karena ibu penjualnya asli orang
Cilacap dan sedangkan suaminya bukan pula orang Makasar.
Setiap
makan es pisang ijo ini, saya selalu teringat cerita dari teman asal Makasar
tentang makna pisang dalam kehidupan. Itulah kenapa saya segera menuliskannya
mumpung sedang teringat. Ketika kami bertemu, ia bercerita tentang kisah seru
perjalanannya ke luar negeri, diantaranya ke negara Nepal yang menghabiskan
beberapa minggu di sebuah biara.
Suatu
hari, ia berjalan-jalan di dekat biara tersebut bersama salah seorang biksu.
Biksu itu membuka tas yang selalu dibawa-bawanya, kemudian berkata kepadanya. “
Tahukah kau bahwa pisang dapat mengajarimu makna kehidupan ?” Biksu itu
mengeluarkan pisang yang sudah busuk dari dalam tas dan membuangnya.
“ Ini
kehidupan yang sudah lewat dan berlalu, dan tidak dimanfaatkan sepenuhnya,
sehingga sekarang sudah terlambat.”
Kemudian
biksu itu mengeluarkan sebutir pisang lain, tapi masih hijau dan mentah.
Diperlihatkannya pisang itu kepada teman itu kemudian dimasukkan kembali ke
dalam tasnya.
“ Ini
kehidupan yang belum terjadi, dan harus kita tunggu sampai tepat pada
waktunya.”
Akhirnya
si biksu mengeluarkan sebutir pisang yang benar-benar sudah masak, lalu
mengupas dan membaginya dengan teman itu.
“ Ini
kehidupan saat ini. Belajarlah untuk memakannya sampai habis tanpa rasa takut
atau bersalah.”
Bertolak
dari diri saya sendiri, dua persoalan yang melelahkan pikiran adalah datang
dari masa silam dan masa datang, bukan masa kini. Pengalaman buruk, walaupun
saya tidak menulisnya di kolom ini, tapi ingatan saya terus menulisnya dan
imajinasi saya terus merawatnya. Itulah kenapa, masa lalu sering memenjara
kita.
Lalu,
pada masa depan , kita sibuk merangkai aneka bayangan yang serba menakutkan.
Masa depan itu penting dibayangkan tapi tidak untuk ditakutkan. Hidup saya hari
ini, adalah masa depan yang dulu saya takutkan. Ternyata, tidak semenakutkan
yang kita dulu bayangkan. Karena sibuk mengurus masa lalu dan masa depan, saya
sampai lupa menikmati hari ini, apalagi mensyukuri.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.