Senin, 02 Februari 2015

Es Pisang Ijo


Sudah menjadi ritual di rumahku setiap sore selalu tersedia beraneka macam jajanan di meja. Setiap hari penyajiannya berbeda kombinasi jenisnya agar tidak bosan ketika memakannya. Hampir semua jajanan yang ada di sini pernah didatangkan ke mejaku. Dari mulai kue basah yang jenisnya banyak sekali sampai aneka gorengan, bubur, kolak dan sebagainya. 

Di antara jajanan itu, ada yang ingin saya bahas yaitu es pisang ijo. Kebetulan sore ini jatah makanan ini, tapi batal tersedia di hadapanku, karena penjualnya tutup. Makanan ini sebetulnya khas kota Makasar, namun sudah hampir sepuluh tahun ada di kotaku. Rasanya pun dijamin tidak kalah enak dengan yang aslinya, bahkan menurut lidahku lebih mantap yang satu ini.

Disajikan campur dengan bubur sumsum yang gurih membuat rasanya manis-manis asin. Pisangnya berasal dari pisang ambon yang dipotong-potong seruas jempol lalu dibungkus dengan adonan dari terigu warna hijau, sehingga dinamakan pisang ijo. Entah bagaimana mereka punya ide menjual ini, karena ibu penjualnya asli orang Cilacap dan sedangkan suaminya bukan pula orang Makasar.

Setiap makan es pisang ijo ini, saya selalu teringat cerita dari teman asal Makasar tentang makna pisang dalam kehidupan. Itulah kenapa saya segera menuliskannya mumpung sedang teringat. Ketika kami bertemu, ia bercerita tentang kisah seru perjalanannya ke luar negeri, diantaranya ke negara Nepal yang menghabiskan beberapa minggu di sebuah biara. 

Suatu hari, ia berjalan-jalan di dekat biara tersebut bersama salah seorang biksu. Biksu itu membuka tas yang selalu dibawa-bawanya, kemudian berkata kepadanya. “ Tahukah kau bahwa pisang dapat mengajarimu makna kehidupan ?” Biksu itu mengeluarkan pisang yang sudah busuk dari dalam tas dan membuangnya.

“ Ini kehidupan yang sudah lewat dan berlalu, dan tidak dimanfaatkan sepenuhnya, sehingga sekarang sudah terlambat.” 

Kemudian biksu itu mengeluarkan sebutir pisang lain, tapi masih hijau dan mentah. Diperlihatkannya pisang itu kepada teman itu kemudian dimasukkan kembali ke dalam tasnya.

“ Ini kehidupan yang belum terjadi, dan harus kita tunggu sampai tepat pada waktunya.”

Akhirnya si biksu mengeluarkan sebutir pisang yang benar-benar sudah masak, lalu mengupas dan membaginya dengan teman itu.

“ Ini kehidupan saat ini. Belajarlah untuk memakannya sampai habis tanpa rasa takut atau bersalah.”

Bertolak dari diri saya sendiri, dua persoalan yang melelahkan pikiran adalah datang dari masa silam dan masa datang, bukan masa kini. Pengalaman buruk, walaupun saya tidak menulisnya di kolom ini, tapi ingatan saya terus menulisnya dan imajinasi saya terus merawatnya. Itulah kenapa, masa lalu sering memenjara kita.

Lalu, pada masa depan , kita sibuk merangkai aneka bayangan yang serba menakutkan. Masa depan itu penting dibayangkan tapi tidak untuk ditakutkan. Hidup saya hari ini, adalah masa depan yang dulu saya takutkan. Ternyata, tidak semenakutkan yang kita dulu bayangkan. Karena sibuk mengurus masa lalu dan masa depan, saya sampai lupa menikmati hari ini, apalagi mensyukuri.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar