Kamis, 15 Januari 2015

Buku Tidak Kasat Mata


Sudah lama saya tertarik ingin memiliki buku berjudul ‘Dao De jing’ The Wisdom of Lao Zi sebagai salah satu koleksi buku-buku di almari saya, tetapi selalu lupa membelinya. Baru beberapa minggu lalu saya ingat dan segera memesannya. Buku yang berisi 81 bab ini merupakan edisi cetak bahasa Indonesia dan sudah dicetak ulang selama enam kali sejak awal terbit tahun 2009. 


Saya memang selalu tertarik mengoleksi buku, walau kadang tak seimbang dengan kemampuan saya membaca, sehingga sering jadi tumpukan belaka. Tapi, untuk melengkapi buku sejenis yang sudah saya miliki sebelumnya The Wisdom of Confusius, maka saya harus medapatkannya. Lao Zi memang tidak setenar Konfusius, tapi ditengarai sebagai filsuf lebih senior yang hidup antara tahun 600 SM. 

Ternyata, bukan cuma saya yang tertarik terhadap buku falsafah Lao Zi  ini. Konon pada masa dahulu seorang biksu Jepang pun mengagumi isi Dao De Jing, sehingga memutuskan untuk menerjemahkan dan menerbitkan buku itu ke dalam bahasanya sendiri. Namun karena ia tidak punya uang, maka ia harus bersabar dengan mengumpulkan dana terlebih dahulu agar dapat mewujudkan impiannya itu.

Mengumpulkan dana pada masa itu juga bukanlah persoalan mudah bahkan boleh dibilang sangat sulit sekali. Apalagi bagi seorang biksu yang hanya mengandalkan derma dan sumbangan kebaikan hati para pengunjung biaranya. Karena dana yang dibutuhkan cukup besar, maka ia membutuhkan waktu sepuluh tahun dengan cara mengumpulkannya sedikit demi sedikit. 

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat dan mudah dijalani. Membutuhkan kesabaran ekstra, keuletan ekstra dan keinginan kuat bagi biksu ini untuk dapat mewujudkannya cita-citanya. Namun, ketika uang itu sudah terkumpul, ternyata malah terjadi musibah, penyakit sampar yang menyerang negerinya membuat rakyat banyak menderita.

Melihat rakyat menderita, sang biksu mengurungkan niat semula. Uang yang sudah dikumpulkannya selama itu, digunakan untuk membantu meringankan penderitaan orang-orang yang sakit. Setelah situasi kembali normal, dia mencoba mengumpulkan dana lagi demi untuk menerbitkan keseluruhan isi dari buku Dao De Jing itu. 

Tanpa terasa sepuluh tahun pun berlalu. Tapi naas, ketika uang sudah terkumpul dan siap mencetak buku tersebut, terjadi musibah gempa laut yang menyebabkan rumah-rumah penduduk pada roboh dan hancur. Lagi-lagi biksu ini merelakan seluruh uang tabungannya untuk menolong memperbaiki rumah-rumah yang terkena musibah.

Sepuluh tahun lagi berlalu, dia mengumpulkan uang lagi dan akhirnya bangsa Jepang bisa juga ikut membaca Dao De Jing ini. Orang-orang bijak mengatakan bahwa sang biksu telah menerbitkan tiga buku Dao De Jing, dua dalam versi yang tidak kasat mata dan satu dalam bentuk tercetak. Kadang-kadang buku ‘tidak kasat mata’ yang muncul dari kemurahan hati terhadap sesama sama pentingnya dengan buku-buku yang mengisi perpustakaan kita. 

Biksu ini telah mengajarkan kepada kita, untuk menjadi orang yang meyakini mimpi kita, tetap setia dengan tujuan kita, dan terus berjuang mewujudkannya, sekaligus tidak boleh mengabaikan sesama. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar