Saya
memang selalu tertarik mengoleksi buku, walau kadang tak seimbang dengan
kemampuan saya membaca, sehingga sering jadi tumpukan belaka. Tapi, untuk
melengkapi buku sejenis yang sudah saya miliki sebelumnya The Wisdom of
Confusius, maka saya harus medapatkannya. Lao Zi memang tidak setenar
Konfusius, tapi ditengarai sebagai filsuf lebih senior yang hidup antara tahun
600 SM.
Ternyata,
bukan cuma saya yang tertarik terhadap buku falsafah Lao Zi ini. Konon pada masa dahulu
seorang biksu Jepang pun mengagumi isi Dao De Jing, sehingga memutuskan untuk
menerjemahkan dan menerbitkan buku itu ke dalam bahasanya sendiri. Namun karena
ia tidak punya uang, maka ia harus bersabar dengan mengumpulkan dana terlebih
dahulu agar dapat mewujudkan impiannya itu.
Mengumpulkan
dana pada masa itu juga bukanlah persoalan mudah bahkan boleh dibilang sangat
sulit sekali. Apalagi bagi seorang biksu yang hanya mengandalkan derma dan
sumbangan kebaikan hati para pengunjung biaranya. Karena dana yang dibutuhkan
cukup besar, maka ia membutuhkan waktu sepuluh tahun dengan cara
mengumpulkannya sedikit demi sedikit.
Sepuluh
tahun bukanlah waktu yang singkat dan mudah dijalani. Membutuhkan kesabaran
ekstra, keuletan ekstra dan keinginan kuat bagi biksu ini untuk dapat
mewujudkannya cita-citanya. Namun, ketika uang itu sudah terkumpul, ternyata
malah terjadi musibah, penyakit sampar yang menyerang negerinya membuat rakyat
banyak menderita.
Melihat
rakyat menderita, sang biksu mengurungkan niat semula. Uang yang sudah
dikumpulkannya selama itu, digunakan untuk membantu meringankan penderitaan
orang-orang yang sakit. Setelah situasi kembali normal, dia mencoba
mengumpulkan dana lagi demi untuk menerbitkan keseluruhan isi dari buku Dao De
Jing itu.
Tanpa
terasa sepuluh tahun pun berlalu. Tapi naas, ketika uang sudah terkumpul dan
siap mencetak buku tersebut, terjadi musibah gempa laut yang menyebabkan
rumah-rumah penduduk pada roboh dan hancur. Lagi-lagi biksu ini merelakan
seluruh uang tabungannya untuk menolong memperbaiki rumah-rumah yang terkena
musibah.
Sepuluh
tahun lagi berlalu, dia mengumpulkan uang lagi dan akhirnya bangsa Jepang bisa
juga ikut membaca Dao De Jing ini. Orang-orang bijak mengatakan bahwa sang
biksu telah menerbitkan tiga buku Dao De Jing, dua dalam versi yang tidak kasat
mata dan satu dalam bentuk tercetak. Kadang-kadang buku ‘tidak kasat mata’ yang
muncul dari kemurahan hati terhadap sesama sama pentingnya dengan buku-buku
yang mengisi perpustakaan kita.
Biksu
ini telah mengajarkan kepada kita, untuk menjadi orang yang meyakini mimpi
kita, tetap setia dengan tujuan kita, dan terus berjuang mewujudkannya,
sekaligus tidak boleh mengabaikan sesama.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.