Entah bagaimana awal mulanya, ramah tamah saya dengan seorang pendeta yang memimpin acara pemakaman ibu dari salah satu staf saya kemarin, berujung pada kerupuk. Selain berprofesi sebagai pendeta, ternyata ia juga ahli dalam membuat krupuk. Ia sangat membanggakan kerupuk buatannya yang resepnya ia dapatkan dari almarhum ibunya.
Topik
ini jadi menarik buat saya, karena hampir setiap hari saya makan kerupuk
meskipun tak selalu beruntung mendapat kerupuk yang enak. Enak yang saya
syaratkan sebenarnya hanya sekadar enak dengan standar paling rendah untuk
ukuran rasa kerupuk. Kerupuk kesukaan saya pun cuma sekadar kerupuk umum biasa,
berbungkus plastik, berisi sepuluh setiap kantongnya.
Namanya
kerupuk pada umumnya, tentu murah dan cuma diproduksi ala rumahan sehingga
tidak punya standar yang jelas soal mutu dan rasanya. Tapi anehnya, sekalipun
tidak bermutu, ia mampu mempedayai dan menipu lidah dengan kemeriahannya. Menu
paling sederhana sekali pun akan ramai jika bersanding dengan kerupuk.
Kerupuk
dan sambal adalah kombinasi yang sempurna, sama-sama gegap gempita di mulut.
Yang satu karena suaranya yang riuh ketika dikunyah, sedangkan yang satunya
lagi bisa membuat mulut berdesah dan nafas tersengal karena kepedasan. Itulah
kenapa bagi para penggemarnya, gabungan antara kerupuk dan pedas adalah duet
yang menggemparkan.
Kerupuk
sesungguhnya bukan jenis makanan penting, apalagi jika kita bicara soal
kandungan gizinya. Tetapi di rumah saya keberadaannya sangat dipentingkan.
Nyaris setiap hari saya mengharuskan ada kerupuk sebagai teman makan. Karena
harus ada, jadilah kerupuk sebagai menu penting yang harus tersedia sebagai penambah
sensasi makan saya.
Tradisi
mendahulukan sensasi ala makan kerupuk ini mungkin memang sudah ada di dalam
diri kita. Di dalam kenyataan, betapa sering kita mementingkan persoalan yang
tidak penting. Lalu terjadilah kekacauan urutan prioritas antara yang tidak
penting, penting dan mendesak. Pertukaran tempat di antara ketiganya tinggi
sekali di negeri ini. Maka, ketika salah urutan ini telah menjadi kebiasaan, ia
akan menjadi budaya yang keliru.
Oleh karena
itu, mudah sekali kita menjumpai kekeliruan prioritas. Itulah kenapa ada aparat
negara yang lebih mengutamakan kepentingan politiknya sendiri daripada
kepentingan negara. Kekeliruan ini sudah menjadi fenomena sosial bangsa ini.
Sebagai diri pribadi, kita pun sudah sedemikian keliru menganggap penting soal
yang tidak penting.
Betapa
bahayanya, jika seorang ayah lebih mendahulukan rokoknya ketimbang membeli
beras atau membiayai pendidikan anaknya. Mengatakan tidak punya uang untuk
membayar sekolah anak tapi mampu membeli rokok bagi diri sendiri setiap hari.
Bahkan, ada yang lebih memilih menahan lapar daripada tidak merokok.
Mungkin
kerupuk ini hanya sekadar makanan pendamping yang sensasional dan sama sekali
tidak jelas manfaatnya. Ia bukan makanan pokok, sehingga kita tidak akan
kenyang jika memakannya. Ia cuma ramai di mulut, tetapi rendah gizinya. Ia juga
mudah melempem kalau terkena udara, seperti semangat kita. Jadi, terima kasih
kerupuk, yang darinya mengingatkan saya untuk selalu semangat dan lebih
bermanfaat.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.