Selasa, 27 Januari 2015

Soal Kerupuk


Entah bagaimana awal mulanya, ramah tamah saya dengan seorang pendeta yang memimpin acara pemakaman ibu dari salah satu staf saya kemarin, berujung pada kerupuk. Selain berprofesi sebagai pendeta, ternyata ia juga ahli dalam membuat krupuk. Ia sangat membanggakan kerupuk buatannya yang resepnya ia dapatkan dari almarhum ibunya.

Topik ini jadi menarik buat saya, karena hampir setiap hari saya makan kerupuk meskipun tak selalu beruntung mendapat kerupuk yang enak. Enak yang saya syaratkan sebenarnya hanya sekadar enak dengan standar paling rendah untuk ukuran rasa kerupuk. Kerupuk kesukaan saya pun cuma sekadar kerupuk umum biasa, berbungkus plastik, berisi sepuluh setiap kantongnya.

Namanya kerupuk pada umumnya, tentu murah dan cuma diproduksi ala rumahan sehingga tidak punya standar yang jelas soal mutu dan rasanya. Tapi anehnya, sekalipun tidak bermutu, ia mampu mempedayai dan menipu lidah dengan kemeriahannya. Menu paling sederhana sekali pun akan ramai jika bersanding dengan kerupuk.

Kerupuk dan sambal adalah kombinasi yang sempurna, sama-sama gegap gempita di mulut. Yang satu karena suaranya yang riuh ketika dikunyah, sedangkan yang satunya lagi bisa membuat mulut berdesah dan nafas tersengal karena kepedasan. Itulah kenapa bagi para penggemarnya, gabungan antara kerupuk dan pedas adalah duet yang menggemparkan.


Kerupuk sesungguhnya bukan jenis makanan penting, apalagi jika kita bicara soal kandungan gizinya. Tetapi di rumah saya keberadaannya sangat dipentingkan. Nyaris setiap hari saya mengharuskan ada kerupuk sebagai teman makan. Karena harus ada, jadilah kerupuk sebagai menu penting yang harus  tersedia sebagai penambah sensasi makan saya. 

Tradisi mendahulukan sensasi ala makan kerupuk ini mungkin memang sudah ada di dalam diri kita. Di dalam kenyataan, betapa sering kita mementingkan persoalan yang tidak penting. Lalu terjadilah kekacauan urutan prioritas antara yang tidak penting, penting dan mendesak. Pertukaran tempat di antara ketiganya tinggi sekali di negeri ini. Maka, ketika salah urutan ini telah menjadi kebiasaan, ia akan menjadi budaya yang keliru.

Oleh karena itu, mudah sekali kita menjumpai kekeliruan prioritas. Itulah kenapa ada aparat negara yang lebih mengutamakan kepentingan politiknya sendiri daripada kepentingan negara. Kekeliruan ini sudah menjadi fenomena sosial bangsa ini. Sebagai diri pribadi, kita pun sudah sedemikian keliru menganggap penting soal yang tidak penting.

Betapa bahayanya, jika seorang ayah lebih mendahulukan rokoknya ketimbang membeli beras atau membiayai pendidikan anaknya. Mengatakan tidak punya uang untuk membayar sekolah anak tapi mampu membeli rokok bagi diri sendiri setiap hari. Bahkan, ada yang lebih memilih menahan lapar daripada tidak merokok.

Mungkin kerupuk ini hanya sekadar makanan pendamping yang sensasional dan sama sekali tidak jelas manfaatnya. Ia bukan makanan pokok, sehingga kita tidak akan kenyang jika memakannya. Ia cuma ramai di mulut, tetapi rendah gizinya. Ia juga mudah melempem kalau terkena udara, seperti semangat kita. Jadi, terima kasih kerupuk, yang darinya mengingatkan saya untuk selalu semangat dan lebih bermanfaat.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar