Sabtu, 17 Januari 2015

Iklim Kepemimpinan


Sebelum menjadi seorang pemimpin, saya pernah menjadi orang yang dipimpin. Sebelum menjadi pemilik perusahaan, puluhan tahun silam saya pernah bekerja sebagai seorang karyawan. Sebelum saya memerintah, saya pernah diperintah-perintah. Jadi, saya pernah menjadi bawahan sebelum menjadi atasan. 

Sebetulnya, di manapun posisi kita berada rasanya bisa sama saja. Menjadi bawahan stres, menjadi atasan juga bisa stres. Mencari lowongan pekerjaan sulit, mencari karyawan juga tidak mudah. Saat menjadi bawahan saya tertekan,setelah menjadi atasan saya menekan. Itulah saat kedudukan saya naik tetapi mental saya menetap, tidak ikut naik.

Idealnya, menjadi bawahan saya gembira, menjadi atasan pun saya gembira. Saya masih ingat ketika menjadi bawahan dan merasa tertekan, tapi setelah saya teliti, ternyata bukan karena ditekan tetapi saya sendirilah yang merasa tertekan. Konsekuensi logis ketika berada dibawah adalah menganggap semua yang datang dari atas cenderung sebagai suatu tekanan.

Maka, saat saya bisa memahami konsekuensi itu, pelan-pelan tumbuh kekuatan menghadapi kondisi ini. Semakin lama saya makin kuat, sehingga makin terasa bahwa konsekuensi menjadi bawahan itu adalah sebatas kewajaran saja. Kemudian setelah segala sesuatunya terasa wajar, sebelum ditekan-tekan, saya mencoba menekankan diri karena sadar kedudukan.

Jika seorang atasan membutuhkan kertas dan pena, saya bergegas mengambil sebelum disuruh. Jika seseorang butuh informasi, saya harus paling cepat menyediakan kebutuhan. Jika seseorang perlu bantuan, saya harus jadi orang pertama yang siaga. Bahkan, jikalau ada atasan lembur butuh teman, saya tergerak untuk menawarkan diri. Itulah reflek bawahan yang membuat gembira.

Sudah tentu kegembiraan semacam itu tidak serta merta. Butuh ujian, butuh kekuatan menanggung penderitaan, tapi yang paling utama adalah butuh kesadaran. Karena saya sadar dengan kedudukan sedang di bawah itulah, maka kepada diri sendiri saya menetapkan sejumlah keharusan. Saat sudah menjadi keharusan, maka menjadi kewajiban. Dan kewajiban, harus dilakukan dengan gembira.

Demikian pula sesudah menjadi atasan, bekal ujian dan kekuatan saat menjadi bawahan itu terbawa dengan baik ketika menjadi atasan. Karena tempat saya di atas, maka seluruh pandangan mengarah ke atas. Saya gembira terhadap pandangan itu. Meskipun gembira, saya menerimanya sebagai suatu kewajaran bukan karena gila hormat.

Soal-soal yang tidak wajar adalah ketika menjadi atasan tapi mengusung sikap bawahan, atau ketika menjadi bawahan mengusung sikap atasan. Ini berbahaya, pasti sumber persoalan. Mentang-mentang atasan lalu memecat bawahan cuma demi memamerkan kekuasaan, juga ketidakwajaran.  Ketika ada karyawan yang layak pecat tetapi tidak dipecat, ini seperti menernak hama di sekujur perusahaan pasti ketidakwajaran.

Maka, ketika menjadi seorang atasan, saya berusaha selalu menjalankan sikap sewajarnya pemimpin termasuk kewajiban memecat tapi juga bercanda dan mentraktir bawahan. Mentraktir bawahan pun bukan pamer kekayaan tapi sudah selayaknya sebagai atasan yang berpenghasilan lebih besar. Tidak wajar jika saya kikir kepada mereka yang membantu saya mencari penghasilan.

Jadi, pertemuan atasan dan bawahan yang sama-sama dalam kewajaran dan sadar kedudukan pasti akan menciptakan iklim kepemimpinan.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar