Sebelum
menjadi seorang pemimpin, saya pernah menjadi orang yang dipimpin. Sebelum
menjadi pemilik perusahaan, puluhan tahun silam saya pernah bekerja sebagai
seorang karyawan. Sebelum saya memerintah, saya pernah diperintah-perintah. Jadi,
saya pernah menjadi bawahan sebelum menjadi atasan.
Sebetulnya,
di manapun posisi kita berada rasanya bisa sama saja. Menjadi bawahan stres,
menjadi atasan juga bisa stres. Mencari lowongan pekerjaan sulit, mencari
karyawan juga tidak mudah. Saat menjadi bawahan saya tertekan,setelah menjadi
atasan saya menekan. Itulah saat kedudukan saya naik tetapi mental saya
menetap, tidak ikut naik.
Idealnya,
menjadi bawahan saya gembira, menjadi atasan pun saya gembira. Saya masih ingat
ketika menjadi bawahan dan merasa tertekan, tapi setelah saya teliti, ternyata
bukan karena ditekan tetapi saya sendirilah yang merasa tertekan. Konsekuensi
logis ketika berada dibawah adalah menganggap semua yang datang dari atas
cenderung sebagai suatu tekanan.
Maka,
saat saya bisa memahami konsekuensi itu, pelan-pelan tumbuh kekuatan menghadapi
kondisi ini. Semakin lama saya makin kuat, sehingga makin terasa bahwa
konsekuensi menjadi bawahan itu adalah sebatas kewajaran saja. Kemudian setelah
segala sesuatunya terasa wajar, sebelum ditekan-tekan, saya mencoba menekankan
diri karena sadar kedudukan.
Jika
seorang atasan membutuhkan kertas dan pena, saya bergegas mengambil sebelum
disuruh. Jika seseorang butuh informasi, saya harus paling cepat menyediakan
kebutuhan. Jika seseorang perlu bantuan, saya harus jadi orang pertama yang
siaga. Bahkan, jikalau ada atasan lembur butuh teman, saya tergerak untuk
menawarkan diri. Itulah reflek bawahan yang membuat gembira.
Sudah
tentu kegembiraan semacam itu tidak serta merta. Butuh ujian, butuh kekuatan
menanggung penderitaan, tapi yang paling utama adalah butuh kesadaran. Karena
saya sadar dengan kedudukan sedang di bawah itulah, maka kepada diri sendiri
saya menetapkan sejumlah keharusan. Saat sudah menjadi keharusan, maka menjadi
kewajiban. Dan kewajiban, harus dilakukan dengan gembira.
Demikian
pula sesudah menjadi atasan, bekal ujian dan kekuatan saat menjadi bawahan itu
terbawa dengan baik ketika menjadi atasan. Karena tempat saya di atas, maka
seluruh pandangan mengarah ke atas. Saya gembira terhadap pandangan itu.
Meskipun gembira, saya menerimanya sebagai suatu kewajaran bukan karena gila
hormat.
Soal-soal
yang tidak wajar adalah ketika menjadi atasan tapi mengusung sikap bawahan,
atau ketika menjadi bawahan mengusung sikap atasan. Ini berbahaya, pasti sumber
persoalan. Mentang-mentang atasan lalu memecat bawahan cuma demi memamerkan
kekuasaan, juga ketidakwajaran. Ketika ada karyawan yang layak pecat
tetapi tidak dipecat, ini seperti menernak hama di sekujur perusahaan pasti
ketidakwajaran.
Maka,
ketika menjadi seorang atasan, saya berusaha selalu menjalankan sikap
sewajarnya pemimpin termasuk kewajiban memecat tapi juga bercanda dan
mentraktir bawahan. Mentraktir bawahan pun bukan pamer kekayaan tapi sudah
selayaknya sebagai atasan yang berpenghasilan lebih besar. Tidak wajar jika
saya kikir kepada mereka yang membantu saya mencari penghasilan.
Jadi,
pertemuan atasan dan bawahan yang sama-sama dalam kewajaran dan sadar kedudukan
pasti akan menciptakan iklim kepemimpinan.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.