Hujan
bisa mengingatkan pada kegembiraan masa kecil, saat berlari-lari mengejar bola
sambil basah kuyup hujan-hujanan. Yang ditendang bukan hanya bola, tapi sengaja
menendang genangan air agar muncrat ke wajah lawan main kita. Betapa
gembiranya, tak peduli pada kerikil menghadang dan kaki tergenang, usia kecil
pun tidak jadi penghalang. Berhujan-hujanan adalah sumber kegembiraan.
Tapi
hujan di usia remaja memiliki arti lain lagi. Di sini mulai ada sendu dan
kesedihan, karena mulai belajar jatuh cinta dan patah hati. Menulis surat cinta
dia tak membalas, bahkan selalu menghindar seperti takut kepadaku. Aku menyerah
ketika memergokinya bersama pria lain, kejadiannya tepat saat hujan dan
berteduh di sebuah rumah kosong. Ternyata ia sudah punya pacar, pantesan.
Di
usiaku kini, hujan kupandang sebagai musuh yang kutakuti karena berhubungan
dengan penyakit. Menyadari usia yang bertolak belakang dengan tingkat
kebugaran, aku lebih suka menghindarinya. Tidak akan pernah kubiarkan air hujan
membasahi kepalaku, karena pasti langsung pusing kepala. Padahal, bagi manusia
yang sedang pusing, di dalam dirinya seperti ada bara dalam sekam.
Karena
gampang meledak, ketika disulut soal-soal sepele. Godaan kejengkelan dapat
merubah apa saja dalam sekejap. Gara-gara kucing kesayangan lepas karena
pembantu lupa tidak menutup pintu, membuat keruh wajahku dan mengepul uap
sampai ke ubun-ubun. Andai sedang tertawa gembira pun bisa berubah seketika,
sungguh perubahan cuaca yang mencemaskan.
Beda
lagi jika saatnya bangun pagi, hari sedang hujan, rasanya malas untuk bergerak
apalagi bangun. Justru enaknya untuk tidur, sehingga menggoda untuk menarik
selimut dan memejamkan mata lagi. Sambil mendengarkan gemericik hujan, menuruti
rasa malas terasa nikmatnya asal tidak kebablasan jadi malas sungguhan.
Jika
hujan tak juga mereda dan terus menerus sampai berhari-hari lamanya, perasaanku
mulai sedih karena yang terdengar dan terlihat adalah bencana belaka. Media
televisi cuma berisi pemandangan yang mengenaskan tentang ratusan orang hilang
ketika tanah longsor jadi bencana. Tentang banjir di mana-mana yang jadi
penderitaan bagi saudara-saudara kita dalam pengungsian.
Melihat
para relawan dari berbagai kalangan bahu membahu tak kenal lelah menolong saat
bencana terjadi, sungguh mengundang ketakjuban. Karena mereka adalah
orang-orang yang memperlihatkan derma kebaikan secara nyata dengan peduli
terhadap penderitaan sesama. Sungguh kehidupan yang bermakna. Sementara hidup
yang bermakna bagiku masih berupa cita-cita dan wacana.
Banyak
pribadi yang menakjubkan justru datang dari orang-orang biasa yang menjalani
kehidupan sesuai dengan panggilan hidupnya. Hidup bermakna tidak harus menjadi
relawan seperti mereka, tetapi kita bisa memposisikan diri sesuai dengan
kemampuan dan bakat kita. Seorang kyai cukup berderma dengan dakwahnya, seorang
penulis dengan tulisannya, orang kaya dengan hartanya untuk kebaikan sesama.
Hujan
itu ternyata juga mengingatkan tentang hidup bermakna yang belum benar-benar
kukerjakan.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.