Senin, 08 Desember 2014

Musibah Paku Itu


Bukan kepalang sakitnya telapak kakiku ketika tiba-tiba menginjak paku hingga tembus cukup dalam meski telah beralaskan sandal tebal. Seketika tubuhku tumbang ke tanah, dunia serasa berputar dan terasa gelap dan hanya bisa mengaduh kesakitan. Tak mampu kubayangkan jika aku tidak bersandal. Bisa-bisa tembus dari telapak sampai ke atas seperti disate karena pakunya panjang sekali. 

Namun, sebelum tumbang aku sempat melihat tiga buah paku yang melubangi kakiku benar-benar berwarna hitam dan berkarat sempurna. Jadi, selain sakit yang harus kutanggung, cemas dan takut juga menjadi tanggungan tersendiri. Bahkan, sempat kubayangkan tubuhku kejang-kejang karena tetanus, kalau tidak segera diobati dengan benar.

Maka, segera kurelakan diriku menjadi orang yang tak berdaya ketika diangkut ke rumah sakit dan telapak kakiku entah diapakan oleh perawat itu. Ketika perawat itu mengatakan harus disuntik dua kali, yang satu untuk anti tetanus dan satunya lagi untuk penghilang rasa sakit, kusetujui tanpa basa basi. Demi tidak mati konyol karena tetanus, puluhan kali disuntik pun aku bersedia, batinku.

Bahkan, saking sakit dan kacaunya pikiranku, menangis keras di depan orang tidak malu kulakukan. Tapi, sambil menangis dan terbaring di ruang UGD, aku tetap berusaha mengendalikan pikiranku. Sempat terlintas, kesialan ini kuperoleh akibat suatu perbuatan buruk yang telah kulakukan. Naluriku untuk membuat kalkulasi semacam itu entah kenapa sering muncul sebagai godaan. 

Ketika aku tiba-tiba mendapat kejutan rejeki, aku pun mulai menimbang-nimbang perbuatan baik yang pernah kulakukan. Barangkali karena aku jarang berbuat jahat kepada tetangga. Barangkali karena aku selalu menyisihkan penghasilan untuk kegiatan sosial, membantu saudara-saudara yang kesulitan. Terus menduga-duga perbuatan-perbuatan mulia yang kutengarai kenapa Tuhan begitu menyayangiku.

Pendapat teman juga berbeda-beda ketika kuceritakan kalkulasiku tentang musibah paku sialan itu. Sebagian mengatakan kalau aku ceroboh, tidak hati-hati atau kurang tidur karena kejadiannya juga ketika matahari belum menampakkan sinarnya. Bahkan ada yang cuma bercanda, kalau tidak keliru baca mantra pasti pakunya yang bengkok semua. Tapi ada pula yang serius, kalau itu urusan yang di atas, katanya.

Jika dipikir-pikir memang benar, jelas hanya yang di atas yang memiliki kewenangan penuh untuk menimbang salah benar, baik buruk, dosa atau pahala, bukan kewenangan kita, manusia. Tidak hanya soal itu, kita pun tidak punya kemampuan untuk menyingkap rahasia alam semesta yang serba misterius. Tapi, ketiadaan wewenang atau kemampuan itu, tak membuat manusia berhenti berkalkulasi.

Karena ternyata watak dasar manusia adalah memang berpikir seperti itu. Kita senang melakukan identifikasi, bandingan-bandingan dan selalu bercermin pada fenomena yang terjadi di sekitar kita. Tulisan-tulisan ini juga dibuat untuk tujuan bercermin tentang siapa diri kita dan siapa diri orang lain, sebagai pelajaran sehingga kita bisa meningkatkan mutu kita sebagai manusia. 

Pelajaran yang tak pernah ada habisnya, termasuk belajar dari musibah paku itu. Mari kita sepakat dengan segenap kebodohan kita sebagai manusia bahwa itu adalah benar-benar murni kecelakaan.  Maka, paling tidak aku belajar untuk mensyukuri apapun yang terjadi. Untung sandalnya tebal !

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar