Bukan kepalang sakitnya telapak kakiku ketika tiba-tiba menginjak paku hingga
tembus cukup dalam meski telah beralaskan sandal tebal. Seketika tubuhku
tumbang ke tanah, dunia serasa berputar dan terasa gelap dan hanya bisa
mengaduh kesakitan. Tak mampu kubayangkan jika aku tidak bersandal. Bisa-bisa
tembus dari telapak sampai ke atas seperti disate karena pakunya panjang
sekali.
Namun, sebelum tumbang
aku sempat melihat tiga buah paku yang melubangi kakiku benar-benar berwarna
hitam dan berkarat sempurna. Jadi, selain sakit yang harus kutanggung, cemas
dan takut juga menjadi tanggungan tersendiri. Bahkan, sempat kubayangkan tubuhku
kejang-kejang karena tetanus, kalau tidak segera diobati dengan benar.
Maka, segera kurelakan
diriku menjadi orang yang tak berdaya ketika diangkut ke rumah sakit dan
telapak kakiku entah diapakan oleh perawat itu. Ketika perawat itu mengatakan
harus disuntik dua kali, yang satu untuk anti tetanus dan satunya lagi untuk
penghilang rasa sakit, kusetujui tanpa basa basi. Demi tidak mati konyol karena
tetanus, puluhan kali disuntik pun aku bersedia, batinku.
Bahkan, saking sakit dan
kacaunya pikiranku, menangis keras di depan orang tidak malu kulakukan. Tapi,
sambil menangis dan terbaring di ruang UGD, aku tetap berusaha mengendalikan
pikiranku. Sempat terlintas, kesialan ini kuperoleh akibat suatu perbuatan
buruk yang telah kulakukan. Naluriku untuk membuat kalkulasi semacam itu entah
kenapa sering muncul sebagai godaan.
Ketika aku tiba-tiba
mendapat kejutan rejeki, aku pun mulai menimbang-nimbang perbuatan baik yang
pernah kulakukan. Barangkali karena aku jarang berbuat jahat kepada tetangga.
Barangkali karena aku selalu menyisihkan penghasilan untuk kegiatan sosial,
membantu saudara-saudara yang kesulitan. Terus menduga-duga perbuatan-perbuatan
mulia yang kutengarai kenapa Tuhan begitu menyayangiku.
Pendapat teman juga
berbeda-beda ketika kuceritakan kalkulasiku tentang musibah paku sialan itu.
Sebagian mengatakan kalau aku ceroboh, tidak hati-hati atau kurang tidur karena
kejadiannya juga ketika matahari belum menampakkan sinarnya. Bahkan ada yang
cuma bercanda, kalau tidak keliru baca mantra pasti pakunya yang bengkok semua.
Tapi ada pula yang serius, kalau itu urusan yang di atas, katanya.
Jika dipikir-pikir
memang benar, jelas hanya yang di atas yang memiliki kewenangan penuh untuk
menimbang salah benar, baik buruk, dosa atau pahala, bukan kewenangan kita,
manusia. Tidak hanya soal itu, kita pun tidak punya kemampuan untuk menyingkap
rahasia alam semesta yang serba misterius. Tapi, ketiadaan wewenang atau
kemampuan itu, tak membuat manusia berhenti berkalkulasi.
Karena ternyata watak
dasar manusia adalah memang berpikir seperti itu. Kita senang melakukan
identifikasi, bandingan-bandingan dan selalu bercermin pada fenomena yang
terjadi di sekitar kita. Tulisan-tulisan ini juga dibuat untuk tujuan bercermin
tentang siapa diri kita dan siapa diri orang lain, sebagai pelajaran sehingga
kita bisa meningkatkan mutu kita sebagai manusia.
Pelajaran yang tak
pernah ada habisnya, termasuk belajar dari musibah paku itu. Mari kita sepakat
dengan segenap kebodohan kita sebagai manusia bahwa itu adalah benar-benar
murni kecelakaan. Maka, paling tidak aku belajar untuk mensyukuri apapun
yang terjadi. Untung sandalnya tebal !