Ketergantungan saya sama listrik luar biasa, terutama setelah menjelang malam ketika listrik benar-benar sangat dibutuhkan. Maka, ketika tiba-tiba listrik di rumah padam, saya kebingungan setengah mati. Reaksi pertama saya adalah menghubungi pihak gangguan PLN, mau padam berapa lama. Tapi, biasanya tidak terlalu mudah dihubungi, sering cuma nada sibuk belaka.
Jadi,
kalau mati listrik yang mendadak seperti malam ini tanpa kepastian berapa
lamanya, cuma bisa kesal saja. Mau bertanya tak ada yang menjawab, mau menunggu
entah sampai jam berapa. Bahkan mau mandi juga tidak bisa, karena air tak
mengalir melalui sistim yang ada di rumah saya. Sistim ini bagus, pancaran air
merata di setiap titik selama ada listrik. Tanpa listrik, air pun tiada.
Gelapnya
malam tak jadi soal, masih ada lampu led pakai batere yang tahan berjam-jam.
Sayangnya, kalau gelap nyamuk semakin meraja lela. Padahal, saya paling anti
nyamuk. Sudah gelap, belum bisa mandi, gatal karena nyamuk, lengkap sudah
penderitaan saya. O, masih ada yang terlupa, tidak bisa juga buat kopi, karena
kompor gas tidak berfungsi jika tanpa listrik.
Jika
sudah begini baru ingat genset yang tidak terpasang lagi sejak rumah saya
direnovasi tiga tahun lalu. Karena menambah daya listrik, kapasitas genset yang
lalu terlampau kecil sehingga harus ganti yang lebih besar. Karena dianggap tidak
penting, maka terabaikan. Persis seperti ingat ke dokter gigi hanya ketika gigi
terasa sakit. Begitu sakitnya hilang, lenyap pula keinginan mencabut gigi.
Jelas
sekali watak saya yang suka meremehkan soal penting. Jelas pula kelakuan saya
yang suka kesal dan tidak sabaran karena soal remeh. Pekerjaan menunggu memang
menguji kesabaran, apalagi jika menunggu tanpa kepastian. Kita harus bisa
berdamai dengan keadaan, sebab di situ mutu watak kita diuji. Itulah mengapa
saya kagum dengan orang-orang yang sabar menunggu.
Saya
pernah kagum pada seorang tukang tambal ban. Ketika dia tidak ada kerjaan,
kegiatannya tak ada selain memandang kejauhan, pikirannya kosong dan
menerawang. Mungkin banyak yang sedang dia pikirkan, tapi satu yang pasti,
datangnya ban bocor adalah soal yang paling dibayangkan. Kalau faktanya orang
ini sudah bertahun-tahun menjalani profesinya, berarti setiap hari selalu ada
ban yang dibocorkan keadaan hanya untuk memberi rejeki padanya.
Tapi
kalau dalam menunggu, tukang tambal ini menabur-naburkan paku di jalan untuk
mendapatkan rejeki, lain lagi persoalannya. Sama dengan kaum pedagang yang
sambil menunggu dagangannya laku menjatuhkan saingannya atau bahkan menyabotase
usahanya. Atau seorang calon kandidat yang melakukan kampanye hitam terhadap
pesaingnya. Mereka adalah orang-orang yang rendah mutunya.
Demikian
pula saya, tak ubahnya dengan mereka jika dalam menunggu listrik nyala kembali,
rendah dalam berperilaku. Sebaiknya situasi listrik padam ini saya sambut
dengan gembira, karena ternyata saya jadi dapat menerawang kegelapan dalam
menunggu. Kegelapan yang seringkali saya butuhkan ketika berdialog secara
merdeka antara manusia dengan keterbatasannya.
Ternyata,
dalam listrik padam pun tersedia ujian bagi mutu kita sebagai manusia.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.