Kamis, 18 Desember 2014

Listrik Padam


Ketergantungan saya sama listrik luar biasa, terutama setelah menjelang malam ketika listrik benar-benar sangat dibutuhkan. Maka, ketika tiba-tiba listrik di rumah padam, saya kebingungan setengah mati. Reaksi pertama saya adalah menghubungi pihak gangguan PLN, mau padam berapa lama. Tapi, biasanya tidak terlalu mudah dihubungi, sering cuma nada sibuk belaka.

Jadi, kalau mati listrik yang mendadak seperti malam ini tanpa kepastian berapa lamanya, cuma bisa kesal saja. Mau bertanya tak ada yang menjawab, mau menunggu entah sampai jam berapa. Bahkan mau mandi juga tidak bisa, karena air tak mengalir melalui sistim yang ada di rumah saya. Sistim ini bagus, pancaran air merata di setiap titik selama ada listrik. Tanpa listrik, air pun tiada.

Gelapnya malam tak jadi soal, masih ada lampu led pakai batere yang tahan berjam-jam. Sayangnya, kalau gelap nyamuk semakin meraja lela. Padahal, saya paling anti nyamuk. Sudah gelap, belum bisa mandi, gatal karena nyamuk, lengkap sudah penderitaan saya. O, masih ada yang terlupa, tidak bisa juga buat kopi, karena kompor gas tidak berfungsi jika tanpa listrik.

Jika sudah begini baru ingat genset yang tidak terpasang lagi sejak rumah saya direnovasi tiga tahun lalu. Karena menambah daya listrik, kapasitas genset yang lalu terlampau kecil sehingga harus ganti yang  lebih besar. Karena dianggap tidak penting, maka terabaikan. Persis seperti ingat ke dokter gigi hanya ketika gigi terasa sakit. Begitu sakitnya hilang, lenyap pula keinginan mencabut gigi.

Jelas sekali watak saya yang suka meremehkan soal penting. Jelas pula kelakuan saya yang suka kesal dan tidak sabaran karena soal remeh. Pekerjaan menunggu memang menguji kesabaran, apalagi jika menunggu tanpa kepastian. Kita harus bisa berdamai dengan keadaan, sebab di situ mutu watak kita diuji. Itulah mengapa saya kagum dengan orang-orang yang sabar menunggu. 

Saya pernah kagum pada seorang tukang tambal ban. Ketika dia tidak ada kerjaan, kegiatannya tak ada selain memandang kejauhan, pikirannya kosong dan menerawang. Mungkin banyak yang sedang dia pikirkan, tapi satu yang pasti, datangnya ban bocor adalah soal yang paling dibayangkan. Kalau faktanya orang ini sudah bertahun-tahun menjalani profesinya, berarti setiap hari selalu ada ban yang dibocorkan keadaan hanya untuk memberi rejeki padanya.

Tapi kalau dalam menunggu, tukang tambal ini menabur-naburkan paku di jalan untuk mendapatkan rejeki, lain lagi persoalannya. Sama dengan kaum pedagang yang sambil menunggu dagangannya laku menjatuhkan saingannya atau bahkan menyabotase usahanya. Atau seorang calon kandidat yang melakukan kampanye hitam terhadap pesaingnya. Mereka adalah orang-orang yang rendah mutunya.

Demikian pula saya, tak ubahnya dengan mereka jika dalam menunggu listrik nyala kembali, rendah dalam berperilaku. Sebaiknya situasi listrik padam ini saya sambut dengan gembira, karena ternyata saya jadi dapat menerawang kegelapan dalam menunggu. Kegelapan yang seringkali saya butuhkan ketika berdialog secara merdeka antara manusia dengan keterbatasannya.

Ternyata, dalam listrik padam pun tersedia ujian bagi mutu kita sebagai manusia.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar