Mungkin kurang bermutu, kalau saya mengatakan bahwa setiap kali melihat oseng kangkung selalu terbersit perasaan tertentu. Tapi itulah kenyataan yang saya hadapi. Padahal, paling tidak seminggu sekali atau dua kali oseng ini juga tersedia di meja makan. Maka, sebanyak itu pula saya mengalami perasaan itu. Walau pun kejadiannya sudah puluhan tahun yang lalu, namun kisah soal oseng tetap menjadi kenangan tersendiri.
Saya
pernah merantau jauh dari rumah, tak punya uang dan pekerjaan waktu itu, dan
hanya bisa makan nasi ditemani oseng kangkung. Itupun berkat kebaikan seorang
sahabat yang bersedia menampung dan memberi makan selama beberapa waktu. Namun
sayang, orang itu telah pergi sebelum saya sempat membalas budi
kebaikannya.
Teman
saya tidak kaya, kerjanya cuma sopir, tinggal di rumah kontrakan yang kecil
sehingga wajar saja jika setiap hari hanya menyediakan oseng kangkung sebagai
lauk. Namun oseng buatan istrinya bukan sembarang oseng. Selain enak sekali
karena lengkap dengan petai dan tempe bosok, juga ada ketulusan pertemanan di
dalamnya.
Baginya,
perbuatan seperti itu mungkin tak pernah diingatnya. Apalah artinya memberi
makan satu orang dan tempat bernaung sekadarnya, tapi tidak bagi seseorang yang
sedang terpuruk. Tidak mudah melupakan peristiwa itu. Maka, memandang oseng itu
selalu membawa sensasi tertentu. Ada
kepahitan dan penderitaan di situ tapi ada rasa bersyukur karena saya telah
bisa melewatinya.
Kita
pasti sepakat soal makan akan lebih nikmat ketika lapar atau minum akan terasa
melegakan saat kita haus. Maka, bagi orang yang tidak pernah menderita,
sebenarnya bagaikan orang yang telah kehilangan separuh kebahagiaannya. Mari
kita percayai bahwa segala kepahitan dan penderitaan hidup adalah awal dari
sebuah kebahagiaan. Ini pendapat saya bukan mengada-ada, tetapi sesuai dengan
pepatah, berakit-rakit dahulu berenang ke tepian.
Ternyata
seluruh penderitaan itu cuma modal bagi saya agar bisa membeli makanan apa saja
yang saya inginkan. Karena punya uang, maka saya bisa membeli dengan bebas
kapan saja. Perasaan bebas itu luar biasa. Dan bebas itu baru terasa berharga
di dalam benak orang yang pernah terjajah hidupnya. Itu baru soal makan, belum
soal-soal yang lain.
Dulu
tinggal di rumah kontrakan, sekarang punya rumah sendiri. Di rumah kita sendiri
tentu bebas mau berbuat apa saja. Dulu cuma bisa nebeng atau naik angkot, kini
punya kendaraan sendiri. Kita bebas pergi kapan dan kemana saja. Jadi, pengalaman
yang pernah saya alami ternyata hanya bekal untuk menatap kepahitan hidup
secara berbeda.
Karena
itulah syarat yang dibutuhkan untuk dapat menikmati kebahagiaan secara lengkap
bila kelak tiba waktunya. Tak perlu merisaukan apakah bayangan yang di sana
akan sampai ke pada kita atau tidak. Selama bayangan itu ada, pasti
menghadirkan harapan. Maka, jika kita selalu berpengharapan dalam hidup, kita
tidak akan keliru.
Dulu
saya pernah keliru, memandang oseng kangkung sebagai salah satu musibah terbesar
dalam kehidupan saya. Berpuluh tahun kemudian, pandangan saya berubah.
Ternyata, musibah itu tidak lebih cuma kebahagiaan yang tertunda.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.