Rabu, 31 Desember 2014

Hujan Itu ....


Hampir setiap hari kotaku diguyur hujan. Boleh mendung, boleh gerimis sepanjang hari, boleh hujan lebat asal tidak keterlaluan, batinku. Sepanjang hujan masih dalam batas kewajaran, pertanda alam sedang memberi kebaikan. Jika hujan sudah keterlaluan dan berlebihan, barulah diwaspadai sebagai bencana. Maka, ketika sedang memandang hujan, boleh juga kita pandang sebagai kesedihan atau kegembiraan.


Hujan bisa mengingatkan pada kegembiraan masa kecil, saat berlari-lari mengejar bola sambil basah kuyup hujan-hujanan. Yang ditendang bukan hanya bola, tapi sengaja menendang genangan air agar muncrat ke wajah lawan main kita. Betapa gembiranya, tak peduli pada kerikil menghadang dan kaki tergenang, usia kecil pun tidak jadi penghalang. Berhujan-hujanan adalah sumber kegembiraan.

Tapi hujan di usia remaja memiliki arti lain lagi. Di sini mulai ada sendu dan kesedihan, karena mulai belajar jatuh cinta dan patah hati. Menulis surat cinta dia tak membalas, bahkan selalu menghindar seperti takut kepadaku. Aku menyerah ketika memergokinya bersama pria lain, kejadiannya tepat saat hujan dan berteduh di sebuah rumah kosong. Ternyata ia sudah punya pacar, pantesan.

Di usiaku kini, hujan kupandang sebagai musuh yang kutakuti karena berhubungan dengan penyakit. Menyadari usia yang bertolak belakang dengan tingkat kebugaran, aku lebih suka menghindarinya. Tidak akan pernah kubiarkan air hujan membasahi kepalaku, karena pasti langsung pusing kepala. Padahal, bagi manusia yang sedang pusing, di dalam dirinya seperti ada bara dalam sekam.

Karena gampang meledak, ketika disulut soal-soal sepele. Godaan kejengkelan dapat merubah apa saja dalam sekejap. Gara-gara kucing kesayangan lepas karena pembantu lupa tidak menutup pintu, membuat keruh wajahku dan mengepul uap sampai ke ubun-ubun. Andai sedang tertawa gembira pun bisa berubah seketika, sungguh perubahan cuaca yang mencemaskan.

Beda lagi jika saatnya bangun pagi, hari sedang hujan, rasanya malas untuk bergerak apalagi bangun. Justru enaknya untuk tidur, sehingga menggoda untuk menarik selimut dan memejamkan mata lagi. Sambil mendengarkan gemericik hujan, menuruti rasa malas terasa nikmatnya asal tidak kebablasan jadi malas sungguhan.

Jika hujan tak juga mereda dan terus menerus sampai berhari-hari lamanya, perasaanku mulai sedih karena yang terdengar dan terlihat adalah bencana belaka. Media televisi cuma berisi pemandangan yang mengenaskan tentang ratusan orang hilang ketika tanah longsor jadi bencana. Tentang banjir di mana-mana yang jadi penderitaan bagi saudara-saudara kita dalam pengungsian.

Melihat para relawan dari berbagai kalangan bahu membahu tak kenal lelah menolong saat bencana terjadi, sungguh mengundang ketakjuban. Karena mereka adalah orang-orang yang memperlihatkan derma kebaikan secara nyata dengan peduli terhadap penderitaan sesama. Sungguh kehidupan yang bermakna. Sementara hidup yang bermakna bagiku masih berupa cita-cita dan wacana.

Banyak pribadi yang menakjubkan justru datang dari orang-orang biasa yang menjalani kehidupan sesuai dengan panggilan hidupnya. Hidup bermakna tidak harus menjadi relawan seperti mereka, tetapi kita bisa memposisikan diri sesuai dengan kemampuan dan bakat kita. Seorang kyai cukup berderma dengan dakwahnya, seorang penulis dengan tulisannya, orang kaya dengan hartanya untuk kebaikan sesama.

Hujan itu ternyata juga mengingatkan tentang hidup bermakna yang belum benar-benar kukerjakan.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar