Kamis, 04 Desember 2014

Barang Pinjaman


Manusia memang sering salah menganggap barang pinjaman sebagai miliknya. Ketika pinjaman itu diambil kembali oleh pemiliknya, yang tersisa hanyalah rasa kehilangan. Yang sering membuat luka di hati kita, bahkan di jiwa kita. Kita acap kali lupa bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah barang titipan atau barang pinjaman dan semuanya itu milik Sang Maha Pencipta belaka.


Demikian pula ketika adik kandung saya dipanggil olehNya hari Senin yang lalu, ada rasa marah, rasa sesal bahkan luka yang mendalam karena merasa kehilangan. Perasaan kehilangan saya sebagai kakak saja telah sedemikian hebatnya, apalagi perasaan ibu saya yang terluka kehilangan putranya. Mungkin, kalau saja boleh, bertukar nyawa pun pasti akan dilakukannya.

Mungkin terlalu serius jika yang kita bicara soal nyawa. Dalam soal barang lain, begitu kita dipinjami dalam jangka waktu yang lama maka barang itu rasanya telah menjadi milik kita. Contoh, ketika kita membiarkan orang lain menempati lahan kita tanpa menyewa karena iba, akan jadi persoalan yang rumit setelah mereka lama menempati. Karena untuk mengusirnya, pemilik tanah harus membayar ganti rugi, atau malah berseteru sebagai musuh melalui pengacara.

Dalam kasus pinjam meminjam, betapa banyak yang berakhir dengan luka. Seorang teman penulis yang biasa mengisi suatu kolom di sebuah media selama bertahun-tahun, kepalanya mengepulkan uap kejengkelan ketika tiba-tiba kolom itu diisi oleh tulisan orang lain. Kalau sudah tak memakaiku lagi, bukan begini caranya, keluhnya sambil bersungut-sungut. Kolom itu seakan-akan sudah menjadi miliknya.

Mungkin media itu mulai bosan dan menginginkan perubahan tetapi lebih memilih cara itu daripada terang-terangan memecatnya. Demikian juga dalam dunia kerja, betapa beratnya menggunakan kata ‘pecat’ bagi karyawan yang sudah tidak diinginkan oleh perusahaan entah karena penyakit tua, atau tergusurnya keahlian, kebutuhan dan sebagainya.

Jangan dikira memberhentikan sopir pribadi yang sudah lama itu mudah. Ketika matanya mulai tidak awas dan fisiknya mulai renta, tentu refleknya berkurang. Keterampilannya juga terancam dengan keluarnya mobil-mobil baru berteknologi canggih yang membutuhkan kemampuan lebih. Jika kita masih mengijinkannya mengemudi jelas sebuah tindakan berbahaya.
  
Ketika dipinjami secara teratur, kita merasa mendapatkan kepastian hidup. Semakin lama kita semakin menikmati perasaan ini, sehingga yang awalnya hanya ‘merasa pasti’ menjadi benar-benar ‘pasti’. Lalu mulai berani mengambil skala prioritas. Tapi, ketika kenyataan melempar kita kembali sebagai peminjam, yang muncul adalah kemarahan, kekecewaan. Perasaan memiliki memang bisa menjadi biang persoalan dan sumber keangkuhan.

Keangkuhan yang membuat kita lupa pada hakikat kehidupan bahwa semua yang kita miliki hanya barang pinjaman yang sifatnya sementara, yang tak pernah akan kita bawa mati. Tapi kenapa kadang kita dipinjami begitu lama ? Saya juga tidak tahu jawabannya. Tapi, konon katanya hanya orang yang kehilangan yang akan mendapatkan ganti. Katanya.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.


Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar