Saya bukan penggemar film serial drama di tv, karena itulah saya heran ketika melihat istri pada jam-jam tertentu sudah melotot di depan tv sambil memegangi remote tv seolah-olah takut channelnya bergeser. Celakanya, film seri harus ditonton berurutan tidak bisa sepotong-sepotong jika ingin utuh mengikuti ceritanya. Maka, kegemaran ini pasti akan menyita waktu kita cukup lama.
Bagaimana
tidak lama, satu seri bisa sampai ratusan episode. Lebih menyita waktu lagi
jika menyukai film sinetron Indonesia yang entah kapan tamatnya. Sudah
aktingnya kurang, jalan ceritanya mudah ditebak dan bertele-tele, kata seorang
teman. Saya tidak bermaksud menghina karya bangsa sendiri, tapi itulah komentar
pada umumnya atau yang sudah dibikin umum oleh kita.
Memang
istri belum sampai kecanduan sedemikian rupa, tapi yang pasti selalu ada rasa
ingin tahu lanjutannya setiap kali satu episode selesai. Penasaran saja maunya.
Itu yang saya rasakan saat usia SD kecanduan buku cerita silat bersambung.
Padahal, membaca buku silat sangat dilarang oleh ibu. Jika sampai ketahuan,
berat hukumannya. Tapi namanya sudah kecanduan, melanggar saja maunya.
Kesenangan
yang melanggar, jelas tindakan berbahaya. Waktu itu saya tidak pernah menyadari
jika kecanduan buku silat
pun ternyata ada resiko dan ongkosnya. Resikonya dihukum karena pelajaran
sekolah terganggu, sedang ongkosnya adalah membayar sewa buku setiap hari. Itu
baru soal sepele, apalagi soal narkoba. Mendekam di penjara resikonya dan
terkuras harta ongkosnya, sungguh amat berbahaya.
Tapi
soal kegemaran istri nonton film seri ini tidak berani saya kategorikan
berbahaya karena sebagai seorang istri belum sampai merosot mutunya. Malah
mungkin kegemaran saya membaca buku dan menulis yang nyaris setiap malam saya
lakukan telah menurunkan mutu saya sebagai seorang suami. Oleh karena itu,
sudah sepantasnya saya hormati kegemarannya itu, supaya kegemaran saya juga
dihormati.
Yang
menggemari film serial drama asing ternyata bukan cuma istri saya saja tapi
cukup banyak di negeri ini. Itulah kenapa banyak saluran tv kita yang berebut
memutarnya. Karena ternyata banyak orang kita yang haus akan film bermutu tapi
kecewa dengan mutu film bangsanya sendiri. Jadilah film-film seperti drama
Korea menghiasi acara tv kita.
Bahkan
gara-gara film seri korea, banyak orang Indonesia berbondong-bondong pergi
berwisata ke Korea. Demikian hebat pengaruhnya terhadap kita para penontonnya
sehingga sampai mau keluar biaya menghamburkan devisa. Maka, ketika film-film
serial asing itu sedang ditayangkan di tv kita, saya hanya bisa berfantasi,
mestinya film sinetron kita juga ditayangkan di seluruh dunia.
Saya
pikir karena betapa banyak dari kita ini yang berkonsentrasi pada prestasi
orang lain dan suka menjadi penonton. Orang lain yang balapan, kita yang
teriak-teriak di pinggir jalan. Orang lain yang lomba nyanyi, kita yang
menghabiskan pulsa mengirimkan sms. Sudah harus rugi waktu, tenaga dan biaya,
masih harus berduka ketika orang lain itu kalah. Ketika ia menang, kita ikut
gembira padahal tidak ikut dapat apa-apa.
Demikian
pula dalam kehidupan sehari-hari, jika kita hanya sibuk menjadi penonton maka
kita tidak memperoleh apa-apa. Ketika orang lain sibuk balapan, mestinya kita
juga ngebut dengan pekerjaan kita sendiri. Ketika orang lain sedang lomba,
mestinya kita juga berusaha memenangkan target kita. Jadi, sekali waktu kita
bisa menyoraki diri sendiri dan bergembira karena prestasi kita sendiri.
Pasti
tidak keliru jika kita turuti nasihat pakar sukses, “ Jadilah pemain, jangan
cuma jadi penonton.”
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.