Sepanjang
bicara soal anak, tentu kita memiliki keinginan yang sama, yaitu ingin anak
kita sukses dan bahagia melebihi kita. Soal sekolah misalnya, anak-anak saya
harus sekolah setinggi-tingginya, tidak boleh bodoh seperti bapaknya yang cuma
lulus sma. Kalau ada yang melihat embel-embel gelar MP di belakang nama saya,
itu cuma gelar catur singkatan dari master percasi, sama sekali bukan karena
kepandaian di sekolah.
Dalam
soal beribadah, anak-anak juga harus mendapatkan pelajaran agama sedari kecil
agar rajin dan taat beribadah. Orang tuanya sudah kepalang rusak dan nakal
selagi muda, anak jangan sampai mengikuti jejaknya. Jika kita bicara masa
depan, cukup bapaknya saja yang boleh hidup miskin dan sengsara, sedangkan
anak-anak harus terjamin masa depannya.
Membayangkan
anak harus menderita seperti yang kita alami dahulu adalah bayangan mengerikan.
Membiarkan anak mengalami kebodohan yang sama dengan kebodohan yang menimpa
kita adalah tindakan jahat. Pendek kata, generasi penerus harus jadi generasi
yang baru, bebas dari semua penderitaan yang pernah kita alami. Bahkan, kalau
bisa meneruskan cita-cita bapaknya yang belum tercapai. Termasuk soal kegemaran
atau hobi orang tuanya.
Maka
tidak heran jika seorang bapak yang gemar main bola menginginkan anaknya dapat
menjadi pemain bola yang sukses dan terkenal. Saya sendiri juga tertulari
keinginan yang sama. Karena saya mencintai olah raga catur, maka ketika anak
sulung saya berusia tiga tahun, sudah mulai saya ajari main catur. Namun,
ternyata saya kurang berhasil membuatnya meminati bidang itu.
Mendidik
anak sendiri ternyata tidaklah mudah. Berapa banyak guru yang sehari-hari
mengajar anak orang menjadi berbudi pekerti, tetapi anak sendiri malah bandel.
Menjadikan murid pandai, tetapi anak sendiri tetap bodoh. Jawabannya bisa
bermacam-macam, tapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini. Hanya soal
kegagalan saya membuat anak menyukai hobi bapaknya.
Bukannya
saya membuat anak suka, malah membuatnya tertekan dan terpaksa mengikuti
kemauan bapaknya main catur. Maka, akalnya seperti tertatih-tatih bekerja sama
dengan mentalnya setiap kali melakukannya. Pas giliran melangkah hanya berdiam
diri, dan ketika saya ajari untuk memakan kudanya, tampak dia melirik mengerti
dan saya tersenyum mengangguk.
Lalu
dia mengambil kuda saya dari papan dan astaga, ternyata dimasukkan ke mulutnya
yang mungil. Benar-benar dimakan, bukan dimakan dalam artian permainan catur.
Rupanya anak saya menderita dan menjadi korban tekanan kehendak bapaknya
sehingga tak lagi bisa berpikir jernih. Sejak itu saya berhenti mengajarinya
main catur, walaupun bertentangan dengan keinginan saya soal anak.
Saya
tidak tahu apakah keinginan itu sudah menjadi doa. Karena sekarang, dua puluh
delapan tahun kemudian, saya diberi amanah membina dan mengarahkan anak-anak
main catur dengan menjadi Ketua Percasi Jawa Tengah. Tuhan memberi saya banyak,
bukan cuma seorang anak, tapi anak-anak se provinsi Jawa Tengah ! Mari kita
setuju, jika keinginan itu bisa menjadi doa. Maka, berhati-hatilah dengan
keinginan kita, utamakan kebaikan karena Tuhan Maha Memberi.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.