Judul tulisan ini sebenarnya tidak kurencanakan sama sekali karena kupikir episode musibah paku itu sudah selesai setelah pertolongan dokter rumah sakit waktu itu. Namun, setelah dua minggu kakiku ternyata masih bengkak tak kunjung sembuh juga, maka aku mulai menaruh curiga. Curiga kalau luka luarnya bagus, tapi di dalamnya terjadi infeksi.
Maka,
ketika keluhanku ditanggapi oleh dokter itu dengan mengatakan tidak apa-apa,
aku pun tetap curiga. Karena curigaku sudah menjelma menjadi rasa takut. Takut
membayangkan akibat infeksi jika diabaikan. Soal keahlianku membayangkan sudah
tidak perlu diragukan, mulai bayangan yang paling sepele, sampai yang paling
mengerikan. Dari mulai amputasi pergelangan kaki hingga infeksi sampai ke
jantung.
Karena
itulah aku menurut saja ketika dokter lain yang kudatangi, menganjurkan
sebaiknya telapak kakiku dioperasi saja untuk memastikan lukanya benar-benar
bersih. Sesungguhnya pilihan ini sama sekali tidak kuinginkan, karena nyaliku
juga tak seberapa. Membayangkan tiga lubang di kaki dibelek kemudian dikurek,
sakitnya sudah sampai ke ubun-ubunku.
Selain
sakit yang harus kuhadapi, aku pun harus mau menginap di rumah sakit, tempat
yang sedari dulu ingin kuhindari. Baunya rumah sakit saja sudah memualkanku,
apalagi harus terkapar di kamar itu. Jadi, meskipun sudah memilih ruangan yang
terbaik di situ tidak melenyapkan kemualanku. Tidur di kamar hotel paling mewah
pun tidak senyaman tidur di kamar rumah sendiri.
Memandang
rumah sendiri, seperti memandang diri sendiri. Sebagaimana diriku, lengkap
dengan kelebihan dan kekuranganku. Ia menggambarkan betul bagaimana watakku.
Rumahku yang tidak pernah rapi, barang-barang yang letaknya serba sembarangan.
Itu baru barang-barangku padahal di rumah ini tidak cuma barang pribadi, ada pula
barang istri dan anakku.
Tidak
usah melihat ke seluruh penjuru rumahku, di mejaku saja sudah berantakan
sedemikian rupa. Ada puluhan tumpukan buku, karena buku yang satu belum rampung
kubaca, sudah kubeli buku-buku yang baru. Baru soal buku saja sudah jadi barang
yang mengganggu pemandangan. Saat ada tamu datang tiba-tiba, harus kalang kabut
merapikannya.
Padahal
tidak cuma tata letak, ada dinding tembok yang berpanu karena jamur. Ada pula
kaca yang setiap hujan juga bocor melulu. Persis seperti dokter yang pertama
mengobati lukaku, pemborong rumahku juga mungkin kurang ilmu sehingga hasilnya
seperti itu. Sudah kupanggilkan beberapa ahli tetap tidak teratasi. Daripada
senewen memikirkannya, kunikmati saja kenyataan itu.
Begitulah
kenyataan hidupku. Kuhadapi kenyataan ini dengan gembira, karena konon katanya
hidup yang sempurna adalah hidup yang lengkap dengan kesalahan. Di situ, tak
hanya kesalahan-kesalahan hidupku saja, tetapi juga ada anak-istriku. Di dalam
rumah yang tidak sempurna itulah, aku bersama mereka menjalani hidup ini dengan
tentram dan gembira.
Itulah
kenapa semalam di rumah sakit rasanya begitu lama. Ingin segera pulang ke
rumah, melihat tembok yang berpanu, barang yang berserakan, bocoran ketika
hujan deras dan wc yang tak cukup digontor sekali karena kurang lancar. Tempat
yang paling menentramkan buatku, selain di surga.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.