Pinggiran jalan memang menjadi tempat yang amat strategis untuk memasang iklan, karena semakin banyaknya kendaraan yang lewat. Seperti yang kulihat di sepanjang jalan ke luar kota, ada iklan yang menawarkan menu-menu masakan yang menarik agar para pelancong mau mampir ke restonya. Tidak hanya menu, tapi juga kelebihan-kelebihan apa yang mereka sediakan, saling bersaing antar rumah makan yang semakin marak.
Pemasangan
iklan tersebut juga terbilang banyak dan teratur bak panduan, mirip petunjuk
arah ke lokasi mereka, karena dipasang setiap jarak tertentu. Tapi ada jenis
iklan yang menarik perhatian saya karena memuat hal-hal negatif seperti ayam
tiren (mati kemaren) dan lalat. Mungkin tujuan si pembuat iklan adalah
mengedukasi pelancong untuk berhati-hati dalam memilih makanan.
Dengan
mengingatkan ayam tiren, sama saja mereka mengatakan di tempatku bukan ayam
tiren, di tempat lain belum tentu. Dengan mengatakan awas lalat, juga sama
dengan mengatakan makanan kami bersih dari lalat, entah di tempat lain.
Penyerangan tidak langsung terhadap pesaing lain yang notabene masih bangsanya
sendiri. Kalau yang membaca iklan itu adalah orang asing, sama dengan memperlihatkan
boroknya negeri ini.
Tapi
itu sah-sah saja, setiap orang boleh berpendapat. Mungkin ada benarnya juga
kalau perilaku sebagian dari kita masih seperti itu, namun tidak perlu
dibesar-besarkan. Memang masih banyak warung-warung yang membiarkan makanannya
tanpa penutup sehingga para lalat bebas merdeka menjarahnya. Memang ada pihak
yang tega memakai ayam tiren ketimbang ayam segar demi meraup untung lebih
banyak.
Makanan-makanan
itu mungkin saja tidak sehat dan jadi sumber penyakit apabila dibiarkan masuk
ke perut pelanggan. Dan mereka sama sekali tidak memikirkan akibat dari
perilakunya, apalagi peduli dengan para pelanggannya. Tapi, ini bukan soal
peduli atau tidak peduli terhadap pelanggannya, tapi juga soal orang yang gagal
menghargai dirinya sendiri. Pedagang yang suka meremehkan dagangannya sendiri.
Kebiasaan-kebiasaan
seperti itulah yang membuat bangsa ini semakin tertinggal dalam persaingan
global. Betapa jamaknya, sopir bus yang mengencingi pintu busnya sendiri.
Betapa lazimnya, teknisi yang tidak mau merawat peralatannya sendiri atau
pegawai yang enggan merawat kendaraan dinasnya. Ternyata masih banyak orang
yang mencari nafkah lewat sesuatu tapi tidak pernah mau menjadikan sesuatu itu
sebagai hal yang dicintainya. Tak mau menghargai sesuatu yang menghidupinya.
Jumlah
orang-orang yang semacam ini di negara kita bisa jadi banyak sekali.
Orang-orang yang gagal memberikan rasa hormat terhadap tanggung jawab dan
miliknya sendiri. Sehingga dapat dipastikan tidak akan menghormati milik orang
lain. Jika terhadap nasibnya sendiri saja ceroboh, bagaimana bisa menghargai
nasib orang lain. Jika mengurus dirinya sendiri saja gagal, bagaimana mau
mengurus orang lain.
Terlepas
dari rasa suka dan tidak suka saya terhadap iklan tiren dan lalat, iklan itu mengingatkan
kita masih banyak orang yang belum siap mengurus dirinya sendiri. Iklan itu
tidak akan berarti apa-apa, kalau memang sudah tidak banyak lagi orang yang
berperilaku seperti itu. Dengan cerminan mental seperti itu, sangat layak kalau
kita menjadi bangsa yang kurang mampu bersaing.
Mental
tiren dan lalat ternyata sudah menyebar kemana-mana, bukan tidak mungkin telah
menyebar pula ke tubuh kita.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.