Rabu, 10 September 2014

Iklan Pinggir Jalan


Pinggiran jalan memang menjadi tempat yang amat strategis untuk memasang iklan, karena semakin banyaknya kendaraan yang lewat. Seperti yang kulihat di sepanjang jalan ke luar kota, ada iklan yang menawarkan menu-menu masakan yang menarik agar para pelancong mau mampir ke restonya. Tidak hanya menu, tapi juga kelebihan-kelebihan apa yang mereka sediakan, saling bersaing antar rumah makan yang semakin marak.

Pemasangan iklan tersebut juga terbilang banyak dan teratur bak panduan, mirip petunjuk arah ke lokasi mereka, karena dipasang setiap jarak tertentu. Tapi ada jenis iklan yang menarik perhatian saya karena memuat hal-hal negatif seperti ayam tiren (mati kemaren) dan lalat. Mungkin tujuan si pembuat iklan adalah mengedukasi pelancong untuk berhati-hati dalam memilih makanan.

Dengan mengingatkan ayam tiren, sama saja mereka mengatakan di tempatku bukan ayam tiren, di tempat lain belum tentu. Dengan mengatakan awas lalat, juga sama dengan mengatakan makanan kami bersih dari lalat, entah di tempat lain. Penyerangan tidak langsung terhadap pesaing lain yang notabene masih bangsanya sendiri. Kalau yang membaca iklan itu adalah orang asing, sama dengan memperlihatkan boroknya negeri ini.

Tapi itu sah-sah saja, setiap orang boleh berpendapat. Mungkin ada benarnya juga kalau perilaku sebagian dari kita masih seperti itu, namun tidak perlu dibesar-besarkan. Memang masih banyak warung-warung yang membiarkan makanannya tanpa penutup sehingga para lalat bebas merdeka menjarahnya. Memang ada pihak yang tega memakai ayam tiren ketimbang ayam segar demi meraup untung lebih banyak.

Makanan-makanan itu mungkin saja tidak sehat dan jadi sumber penyakit apabila dibiarkan masuk ke perut pelanggan. Dan mereka sama sekali tidak memikirkan akibat dari perilakunya, apalagi peduli dengan para pelanggannya. Tapi, ini bukan soal peduli atau tidak peduli terhadap pelanggannya, tapi juga soal orang yang gagal menghargai dirinya sendiri. Pedagang yang suka meremehkan dagangannya sendiri.

Kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang membuat bangsa ini semakin tertinggal dalam persaingan global. Betapa jamaknya, sopir bus yang mengencingi pintu busnya sendiri. Betapa lazimnya, teknisi yang tidak mau merawat peralatannya sendiri atau pegawai yang enggan merawat kendaraan dinasnya. Ternyata masih banyak orang yang mencari nafkah lewat sesuatu tapi tidak pernah mau menjadikan sesuatu itu sebagai hal yang dicintainya. Tak mau menghargai sesuatu yang menghidupinya.

Jumlah orang-orang yang semacam ini di negara kita bisa jadi banyak sekali. Orang-orang yang gagal memberikan rasa hormat terhadap tanggung jawab dan miliknya sendiri. Sehingga dapat dipastikan tidak akan menghormati milik orang lain. Jika terhadap nasibnya sendiri saja ceroboh, bagaimana bisa menghargai nasib orang lain. Jika mengurus dirinya sendiri saja gagal, bagaimana mau mengurus orang lain.

Terlepas dari rasa suka dan tidak suka saya terhadap iklan tiren dan lalat, iklan itu mengingatkan kita masih banyak orang yang belum siap mengurus dirinya sendiri. Iklan itu tidak akan berarti apa-apa, kalau memang sudah tidak banyak lagi orang yang berperilaku seperti itu. Dengan cerminan mental seperti itu, sangat layak kalau kita menjadi bangsa yang kurang mampu bersaing.

Mental tiren dan lalat ternyata sudah menyebar kemana-mana, bukan tidak mungkin telah menyebar pula ke tubuh kita.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar