Sejak di rumahku ada kucing bertambah kegembiraanku walaupun aslinya saya bukan penggemar binatang. Seperti punya suatu mainan baru, apalagi saya hanya tinggal bertiga di rumah sebesar ini. Tinggal hanya bersama istri dan seorang anak yang sudah dewasa dan mau menikah tahun depan. Setelah menikah rencananya juga akan pindah ke rumahnya sendiri, sehingga bakalan tambah sepi.
Kucing
ini entah jenis apa, anggora atau persia saya sendiri tidak terlalu
memikirkannya. Yang saya tahu kucing ini jantan, sangat gagah, berwarna putih
dan tidak mau sembarang makanan. Makannya beda sama kucing kampung yang apa
saja dimakan. Bahkan makanan kesukaannya harus dibawakan dari Amerika. Maka,
adik ipar yang pulang dari sana setiap tiga bulan sekali, punya kewajiban bawa
makanan itu.
Dengan
adanya kucing ini maka saya punya kegiatan baru, dan tanggung jawab baru.
Melepaskannya keluar kandang pada jam tertentu, memberi makan dan mengajaknya
bermain. Awalnya memang sulit memahami kucing, tapi dia menangkap dengan
seksama persahabatan yang kuulurkan dengan setulus hati. Makin lama semakin
penurut, kemana saya berjalan ia selalu ingin mengikuti.
Bukankah
kami berada di bawah langit yang sama ? Dia sebatangkara di sini, sedangkan aku
memiliki keluarga. Pendek kata, dengan komunikasi dari hati itulah maka kucing
itu akhirnya menjadi anggota keluargaku. Setiap aku makan, dia akan sabar
menunggu di bawah kakiku. Setelah makan, gantian aku yang memberinya makan.
Saat aku tidur sore, dia ikut tidur di kolong bawah tempat tidurku.
Setiap
kali melihat kelebat bayanganku dia akan mengeong menyapaku kecuali kalau aku
memakai sepatu akan ke kantor. Seolah dia mengerti dengan kesibukanku. Saat aku
berada di rumah sering kubiarkan bebas di halaman asalkan pintu-pintu yang
punya akses ke jalan ditutup. Maka dia pun hanya berkeliaran di sekitar itu
tidak kemana-mana sehingga membuat hatiku tenang.
Tapi
kebiasaan melepaskannya bebas di halaman ternyata tidak selalu menenangkan.
Suatu ketika ada kucing kampung liar yang masuk dan kepergok dengan kucingku.
Keduanya diam berhadapan kemudian saling menggeram. Aku sendiri tidak mengerti
kenapa mereka bertengkar, apakah karena jenis mereka berbeda atau mungkin
naluri kucingku sebagai pemilik wilayah ?
Yang
pasti, ketika kucing-kucing bertengkar kita akan kerepotan dibuatnya. Jangankan
dipisahkan dengan hardikan, disiram air pun tidak akan peduli apabila mereka
sudah dibalut oleh kemurkaan. Mungkin perlu sedikit tendangan keras, atau
sebuah batu untuk membubarkannya. Tapi aku sedikit bangga karena kucing liar
itu dibuatnya tunggang langgang. Kucingku selalu jadi pemenangnya.
Sejak
itu, aku lebih memasang mata bila ada kucing liar yang memasuki halaman
rumahku, agar kejadian itu tidak terulang. Tapi dasar kucing, sudah kuawasi
sedemikian rupa suatu hari kudapati kucing itu sedang mendekapi seekor burung
gereja yang sudah sekarat karena digigitnya. Kucing itu ternyata mampu
menangkap burung-burung itu ketika mereka lengah di tanah mencari makan.
Meskipun
kucing itu sudah memakai kalung kliningan yang sengaja kupasang agar mudah
kupantau gerakannya, sama sekali tidak menghalangi kehebatannya dalam menangkap
mangsa. Bahkan, aku sudah memergoki kucing itu menangkap burung gereja sebanyak
tiga kali. Sama sekali bukan untuk dimakan, seolah hanya untuk menunjukkan
kepadaku bahwa dirinya adalah seekor pemenang walau dengan hambatan kliningan
di lehernya.
Jadi,
sejatinya tak ada pihak yang benar-benar lemah kalau ada umpan melintas di
depan mata. Jika kucing saja mampu mengeluarkan potensi terbaiknya ketika umpan
tiba, apalagi manusia. Tapi, ada manusia yang justru hanya berdiam diri saja
walaupun disodori umpan setiap kali di depan hidung mereka. Termasuk diriku,
pada suatu ketika ada sebuah keadaan dimana kedudukanku lebih rendah daripada
kucing.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Mengamati ...
BalasHapusMencermati ...
Dan ...
Aku harus jadi pemenang sejati ...
Salam Hidup Luar Biasa .