Senin, 15 September 2014

Sebuah Mata Pelajaran


Ada yang bilang bahwa derita itu bisa diibaratkan seperti makhluk. Ia bisa disapa, diajak berdialog dan dijinakkan. Penjinakkannya bukan meniadakan, tapi hanya menyembunyikan agar orang lain tidak melihat atau merasakan penderitaan kita. Ini yang sedang kucoba untuk mempelajarinya, tentang bagaimana berperan jadi orang yang matang dan bijaksana meskipun sedang menderita.

Saya termasuk jenis orang yang sulit menyembunyikan perasaan. Sedih atau senang akan tampak jelas terlihat. Setiap ada persoalan yang memerlukan perhatian, selalu menyita seluruh kehidupan. Suasana hati langsung terusik, kening berkerut dan tanggallah senyum dari wajahku, hingga orang mudah membacanya. Apalagi kalau persoalan yang cukup penting.

Ketika aku sedang diburu-buru untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan agar bisa selesai tepat waktu, biasanya malah menjadi persoalan. Ketegangan dan kekhawatiran membayangiku hingga penyakit pun ikut mengganggu. Sikapku jadi sangat serius tampak tak mau diganggu sehingga tidak ada yang berani menyapaku, kecuali kucingku yang tak tahu kalau yang empunya sedang dihinggapi persoalan.

Membiarkan suasana terbaca secara terbuka sebenarnya hanyalah kemanjaan, sikap yang kekanak-kanakan. Mana mungkin aku mengumumkan, “ Hai, hari ini aku sedang tidak enak hati, jadi jangan nyalakan tv keras-keras, jangan bicarakan soal remeh, jangan memancing kemarahan.” Permintaan yang enggan kuucapkan, tapi aku menuntut orang lain tahu keinginanku, bukankah ini kekonyolan ? Orang lain dituntut mengerti tanpa pemberitahuan.

Tapi memendam persoalan sesungguhnya juga merupakan derita tersendiri. Banyak orang gagal menyimpan deritanya, bahkan tak sedikit yang mengumbar deritanya pada orang lain, sehingga orang lain ikut menderita karenanya. Cara ini betul-betul berbahaya, karena orang semacam ini akan menimbulkan masalah bagi orang di sekitarnya. Kedatangannya bisa dianggap sumber persoalan, sehingga akan dijauhi dan disingkiri.

Maka, aku benar-benar kagum pada orang yang pembawaanya dewasa, tenang, kuat dan terjaga. Menunjukkan kematangan jiwanya. Kita tak pernah bisa menebak apakah ia sedang bersedih atau bahagia. Jika tengah bersedih, wajahnya tak pernah berubah kusut atau muram. Jika tengah bergembira tampak wajar, kegembiraannya tidak meluap-luap. Kegemparan tidak membuatnya kaget, kekacauan juga tidak pernah membuatnya panik.

Orang semacam ini bukan berarti lebih bahagia dari kita, tapi lebih karena ia telah berusaha keras untuk menjinakkan makhluk derita. Ia sama seperti kita penuh persoalan, hanya ia tidak sibuk untuk mengurusnya, sehingga persoalan itu menjauh darinya. Karena tidak diurusi, persoalan itu akhirnya pergi sia-sia. Itulah kenapa aku sangat kagum bahkan iri kepada kemampuannya.

Sama seperti saat aku iri melihat temanku selalu dapat nilai sempurna di sekolah, mengungguliku. Kepadanyalah orang-orang takjub dan terpana. Padahal ia sama seperti kita, hanya mungkin saja ia telah bekerja keras untuk itu. Jadi, pujian dan kekaguman selalu jadi miliknya. Aku cuma bisa malu pada diriku sendiri, dan berjanji untuk memperbaiki nilaiku.

Tapi janji memang janji. Janji yang jarang bisa kupenuhi. Bayangkan, jika para anggota DPR saja selalu berjanji tapi jarang menepati, apalagi diriku. Demikian pula ketika aku belum bisa menjadi orang yang matang dan bijaksana. Dalam mata pelajaran yang satu ini, aku malu karena nilainya pasti merah dalam rapor kehidupan. Dan khawatirnya aku juga cuma bisa berjanji. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
4 Comments

4 komentar:

  1. Apakah dengan kita pintar menyembunyikan perasaan kita, semisal ketika sedih tidak tampak kesedihan, ketika senang terlihat tampak cool cool saja, apa tidak sama halnya dengan kita pandai bersandiwara?


    Sukses, salam hidup luar biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Anto, hidup ini memang panggung sandiwara di mana kita adalah para pemerannya. Dalam hidup kerap diperlukan kemampuan seperti itu asalkan membawa kebaikan untuk orang lain, bukan sebaliknya. Bahkan berbohong, menipu pun sering kita lakukan walaupun mungkin kita tak menyadarinya.

      Betapa sering kita mengatakan 'ya', untuk sesuatu yang sebenarnya 'tidak'. Kita juga pasti pernah pura-pura mendengar untuk sesuatu yang sebenarnya membosankan kita. Kita juga pasti pernah pura-pura senang pada apa yang kita tidak suka. Jadi, menurut saya lebih baik bersandiwara yang membawa kebaikan, daripada apa adanya tapi menyusahkan orang lain. Terlalu naif, rasanya kalau kita ingin menjadi manusia yang apa adanya tanpa mempertimbangkan segala sesuatunya.

      Salam sukses, hidup luar biasa.

      Hapus
  2. Luar Biasa Pak, terima-kasih,

    Manusia adalah Makhluk ALLAH yang Luar Biasa,
    bahkan dia diberi kebebasan untuk memilih,

    kita bisa juga memilih didalam melihat,
    to see as it is or to see better than it is, or whatever...

    didalam saya menyikapi sesuatu saya dituntut untuk bisa melihat dari sisi HAKIKAT'nya,

    derita dan bahagia adalah pilihan saya,

    jika derita mampu menghebatkan,
    kenapa saya inginkan bahagia,

    jika bahagia akan mengkerdilkan,
    kenapa saya tidak inginkan derita,

    aku tidak meminta masalah yang mudah,
    tetapi aku meminta diriku yang hebat,

    inilah jalan hidupku,(◠‿◠)


    Luar Biasa Pak,tulisan bapak sangat menginspirasi saya...

    Salam Sukses, Hidup Luar Biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sharingkan mas Nuzul, banyak pahalanya.

      Salam sukses, hidup luar biasa.

      Hapus