Pada suatu pagi, turun dari pesawat di Halim, aku naik taksi di depan pintu keluar kedatangan, lalu engkau mengatakan baru hari ini datang dari Bandung menjadi sopir taksi dan belum tahu jalan. Aku tahu engkau berniat menipuku dan mudah saja bagiku untuk turun dan ganti taksi lain. Tapi, tak ada salahnya kita saling memberi manfaat, engkau punya taksi dan aku penumpangmu. Kedengarannya mulia sekali.
Sekali
waktu memang manusia suka tergerak untuk berbaik hati walaupun betapa remehnya.
Engkau pura-pura tidak tahu jalan tentu akan memperlama dan memperjauh jarak ke
tujuan, sepantasnya aku kecewa juga. Tapi saat itu aku rela memberimu tarikan
karena aku punya GPS di hapeku yang tidak bisa ditipu. Hapeku akan memberi
perintah suara untuk kau ikuti sampai ke tujuan.
Penipuan
itu sebenarnya cuma mengingatkan kekuranganku. Kebaikan tanpa ujian adalah
sebuah kekurangan. Kebaikan yang telah melewati ujian adalah kesempurnaan.
Tipuan itu kumaklumi karena aku sendiri juga pasti pernah menjadi seorang
penipu. Mungkin bukan penipu besar, tapi pasti pernah menipu kecil-kecilan.
Menipu teman, tetangga, istri dan bahkan anak-anakku sendiri. Kalau toh bukan
mereka, pasti aku pernah menipu diriku sendiri.
Aku
pasti pernah mengatakan ya untuk soal yang mestinya ingin kukatakan tidak, dan
sebaliknya. Aku juga pasti pernah melakukan satu hal yang aku sendiri tidak
setuju. Aku pasti pernah menyetujui satu hal yang tak kusukai. Aku tentu pernah
berbaik hati karena terpaksa ketimbang rela melakukannya. Semua ini apa
namanya, jika bukan menipu ?
Kalau
yang menipu orang yang asing bagi kita, tentu mudah buat kita memakluminya.
Beda lagi jika yang menipu kita adalah orang yang kita kenal dengan baik.
Seorang teman pernah mengeluhkan tentang sahabat baiknya, “ Siapa yang menipu
itulah yang amat menyakitkan,” katanya. Semakin dekat seseorang dengan kita,
semakin banyak syarat yang kita tetapkan kepadanya. Harus selalu baik dan dapat
dipercaya, itulah harapan kita terhadapnya.
Itulah
kenapa ditipu teman dekat akan berlipat kesakitannya. Tertipu dan kehilangan
memang suatu jenis penderitaan, tetapi ketika ternyata teman baik itu penipunya
maka seperti ditambahkan menu ekstra terhadap penderitaan itu. Kalau boleh
diibaratkan sambal yang sudah pedas, menjadi sambal super pedas. Itu semua
gara-gara ada banyak syarat yang kita tetapkan terhadap sesuatu, termasuk
kepada para teman baik, teman dekat dan kepada para penipu itu.
Kepada teman
dekat itu misalnya, kita tetapkan syarat bahwa yang dekat itu harus baik,
terpercaya dan tidak boleh menipu. Padahal kedekatan dan kepercayaan itu, soal
yang sama sekali berbeda. Bagaimana mungkin soal yang berbeda bisa dianggap
sama dan satu, sungguh merupakan bias anggapan. Anggapan itulah yang kemudian
menjadi berbagai macam persoalan dalam hidup.
Jika
rumus anggapannya diubah, teman dekat juga boleh menipu, teman baik juga boleh
menjadi jahat, dan kebaikan juga boleh dibalas dengan keburukan, pasti akan
berbeda pula perasaan kita kepadanya. Karena ternyata, semua itu juga bisa
terjadi sesuai dengan hukum kemungkinan yang berlaku. Kepada sesuatu yang
mungkin, manusia hanya diberi ruang untuk kompromi, tergantung pilihan selera
dan kemampuan kita.
Kita
boleh menderita sambil mengutuk kanan-kiri, boleh pula sambil mengobrol
seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Sesuatu yang mungkin terjadi, tetap
akan terjadi jika memang harus terjadi.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.