Selama ini saya selalu tinggal di kota, walaupun di kota yang tidak terlalu besar tapi tetap namanya kota. Hidup di kota semua serba ada dan serba dimudahkan jika dibandingkan hidup di desa. Ketika desa masih gelap belum ada listrik, di kota sudah terang benderang karena lampu yang berpendar di malam hari. Tetapi, saya pernah cukup lama mengalami kehidupan berteman gelap di tengah kota.
Karena
usaha ayah saya bangkrut, maka kami harus menjual rumah dan pindah ke rumah
kontrakan yang murah. Rumah yang semula berdinding tembok, kokoh dan kuat,
berubah hanya dinding papan yang sederhana. Yang semula selalu terang karena
ada listrik, berubah jadi remang-remang karena cuma mengandalkan lampu minyak.
Hanya rumah para tetangga saja yang terang benderang.
Lampu
ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Di dalam penutup kaca, ada
sumbu yang dapat dinaikturunkan untuk mengatur nyala apinya. Di bawah lampu
minyak itulah saya melakukan kegiatan belajar setiap malam. Kadang harus rajin
mengatur sumbunya agar dapat penerangan yang sempurna. Kalau terlalu besar akan
mengeluarkan jelaga dan mengotori kemana-mana.
Menjelang
tidur, lampu ini juga yang akan menemani. Sumbunya kukecilkan, lalu diberi
penghalang kertas tebal yang diselipkan di kacanya. Jadi, sama sekali tidak
harus dimatikan, masih terang tapi tidak menyilaukan mata. Saya jarang
mematikan lampu ini selama tidur, karena takut kegelapan di rumah yang masih
asing seperti ini.
Pernah
saat bangun tidur, saya ditertawakan karena keluar kamar dengan wajah seperti
pantat kuali, terutama di seputar hidung yang menghisap jelaga. Rupanya, sumbu
lampu lupa dikecilkan sehingga jelaga memenuhi seluruh ruangan kamar, sepanjang
malam. Semua barang di kamarpun jadi serba hitam perlu segera dibersihkan.
Bertahun-tahun
akrab dengan lampu minyak, saya pun akrab sekali dengan kegiatan membesarkan
dan mengecilkan sumbu di masa lalu. Tidak diperlukan keahlian, cuma perasaan
ikut berperan dalam mengatur besaran api di dalam lampu agar nyalanya sesuai
dengan yang kita inginkan. Dalam hidup, kegiatan layaknya mengatur lampu minyak
ternyata masih kuperlukan, terutama untuk mengendalikan diri sendiri.
Mengendalikan
diri terhadap kemarahan atau kekecewaan yang besar kecilnya, tergantung apakah
ia dibesarkan atau dikecilkan. Pernah suatu hari istri saya lupa memasukkan
obat yang setiap pagi harus saya konsumsi ke dalam tas bepergian ke luar kota,
lalu saya marah besar. Yang penting saja lupa, apalagi kalau hanya sekedar
sikat, odol, sisir dan barang-barang kecil lainnya.
Perasaan
diabaikan dan diremehkan itulah yang kemudian saya pikirkan. Dan semakin saya
pikirkan semakin menjadi sumber persoalan. Saat ini saja saya sudah punya
alasan kuat untuk marah habis-habisan karena obat itu penting, obat penurun
darah tinggi. Padahal cukup hanya dengan masakan kurang garam, bisa menjadi
alasan saya untuk marah dan kecewa.
Seperti
teknik membesarkan dan mengecilkan lampu minyak, sebesar apapun alasannya,
kemarahan tetap bisa dikecilkan. Akan dapat diselesaikan dengan cara sederhana
yaitu dengan menganggapnya persoalan kecil. Persoalan obat tadi bisa diatasi
dengan beli obat lagi di apotik, apa susahnya. Ketika masakan istri kurang
garam, juga cuma tinggal ditambah garam lagi, apa sulitnya.
Jadi,
semua kemarahan atau kekecewaan yang kita hadapi setiap hari sesungguhnya dapat
kita atur, persis seperti mengatur lampu minyak. Untung saya dulu biasa
memakainya.
Salam SUKSES,
HIDUP LUAR BIASA.