Senin, 08 September 2014

Lampu Minyak


Selama ini saya selalu tinggal di kota, walaupun di kota yang tidak terlalu besar tapi tetap namanya kota. Hidup di kota semua serba ada dan serba dimudahkan jika dibandingkan hidup di desa. Ketika desa masih gelap belum ada listrik, di kota sudah terang benderang karena lampu yang berpendar di malam hari. Tetapi, saya pernah cukup lama mengalami kehidupan berteman gelap di tengah kota.

Karena usaha ayah saya bangkrut, maka kami harus menjual rumah dan pindah ke rumah kontrakan yang murah. Rumah yang semula berdinding tembok, kokoh dan kuat, berubah hanya dinding papan yang sederhana. Yang semula selalu terang karena ada listrik, berubah jadi remang-remang karena cuma mengandalkan lampu minyak. Hanya rumah para tetangga saja yang terang benderang.

Lampu ini menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Di dalam penutup kaca, ada sumbu yang dapat dinaikturunkan untuk mengatur nyala apinya. Di bawah lampu minyak itulah saya melakukan kegiatan belajar setiap malam. Kadang harus rajin mengatur sumbunya agar dapat penerangan yang sempurna. Kalau terlalu besar akan mengeluarkan jelaga dan mengotori kemana-mana.

Menjelang tidur, lampu ini juga yang akan menemani. Sumbunya kukecilkan, lalu diberi penghalang kertas tebal yang diselipkan di kacanya. Jadi, sama sekali tidak harus dimatikan, masih terang tapi tidak menyilaukan mata. Saya jarang mematikan lampu ini selama tidur, karena takut kegelapan di rumah yang masih asing seperti ini. 

Pernah saat bangun tidur, saya ditertawakan karena keluar kamar dengan wajah seperti pantat kuali, terutama di seputar hidung yang menghisap jelaga. Rupanya, sumbu lampu lupa dikecilkan sehingga jelaga memenuhi seluruh ruangan kamar, sepanjang malam. Semua barang di kamarpun jadi serba hitam perlu segera dibersihkan.

Bertahun-tahun akrab dengan lampu minyak, saya pun akrab sekali dengan kegiatan membesarkan dan mengecilkan sumbu di masa lalu. Tidak diperlukan keahlian, cuma perasaan ikut berperan dalam mengatur besaran api di dalam lampu agar nyalanya sesuai dengan yang kita inginkan. Dalam hidup, kegiatan layaknya mengatur lampu minyak ternyata masih kuperlukan, terutama untuk mengendalikan diri sendiri.

Mengendalikan diri terhadap kemarahan atau kekecewaan yang besar kecilnya, tergantung apakah ia dibesarkan atau dikecilkan. Pernah suatu hari istri saya lupa memasukkan obat yang setiap pagi harus saya konsumsi ke dalam tas bepergian ke luar kota, lalu saya marah besar. Yang penting saja lupa, apalagi kalau hanya sekedar sikat, odol, sisir dan barang-barang kecil lainnya.

Perasaan diabaikan dan diremehkan itulah yang kemudian saya pikirkan. Dan semakin saya pikirkan semakin menjadi sumber persoalan. Saat ini saja saya sudah punya alasan kuat untuk marah habis-habisan karena obat itu penting, obat penurun darah tinggi. Padahal cukup hanya dengan masakan kurang garam, bisa menjadi alasan saya untuk marah dan kecewa.

Seperti teknik membesarkan dan mengecilkan lampu minyak, sebesar apapun alasannya, kemarahan tetap bisa dikecilkan. Akan dapat diselesaikan dengan cara sederhana yaitu dengan menganggapnya persoalan kecil. Persoalan obat tadi bisa diatasi dengan beli obat lagi di apotik, apa susahnya. Ketika masakan istri kurang garam, juga cuma tinggal ditambah garam lagi, apa sulitnya.

Jadi, semua kemarahan atau kekecewaan yang kita hadapi setiap hari sesungguhnya dapat kita atur, persis seperti mengatur lampu minyak. Untung saya dulu biasa memakainya.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar