Kamis, 11 September 2014

Menerima Kekalahan


Menerima kekalahan itu tidak mudah bagiku. Bukan perkara besar, tetapi soal kalah main catur di perusahaan. Pada awal kerja di Pertamina, belum ada orang yang tahu kalau saya termasuk pemain catur yang cukup kuat. Pertama kali saya ikut lomba catur adalah lomba catur antar karyawan yang diadakan setiap tahun dalam rangka memeriahkan perayaan ulang tahun perusahaan. 

Babak-babak awal saya melaju dengan kemenangan mudah, sehingga saya hampir sepenuhnya yakin akan memenangkan lomba itu. Menjelang babak akhir, saya ketemu lawan yang menyebalkan sebab berpikirnya lama dan tidak mau melangkahkan buahnya, padahal saat itu belum lazim menggunakan jam catur. Kalau sekarang setiap pemain wajib menggunakan jam catur, agar tidak merugikan waktu lawan.

Singka kata, permainan belum selesai sampai waktu yang ditentukan itu habis, sehingga permainan harus dilanjutkan dengan sistim gong atau aba-aba dari wasit dengan ketentuan waku berpikir hanya sepuluh detik untuk setiap langkahnya. Karena emosi, saya tidak dengar aba-aba untuk melangkah sehingga akhirnya malah saya dinyatakan kalah. 

Saya pulang dengan marah dan kecewa, rasanya langit seperti mau runtuh. Karena catur merupakan bagian penting dalam hidup saya, bahkan boleh dibilang nomor satu saat itu. Tidak ada kebanggaan lain yang saya punya selain unggul dalam bermain catur. Maka, kekalahan dari seorang pemain abal-abal, benar-benar sangat memukul. Hampir membuat saya menggantungkan papan catur.

Saya sempat mogok main catur. Menyalahkan orang itu, keadaan itu, merasa tercurangi karena cara mainnya tidak fair dan lain-lain. Butuh waktu setahun, untuk menghapus sakit hati dan melupakan kekalahan pahit itu. Sementara saya mengeluh dan menyalahkan, ternyata dunia baik-baik saja. Tak peduli saya menangis atau tertawa, bakul-bakul di pasar tetap berjualan seperti biasa. Mereka sama sekali tidak tahu kekalahan saya.

Sebetulnya, tak ada yang peduli dengan urusan kita, termasuk kekalahan, kemarahan, kekecewaan, kedengkian kecuali diri kita sendiri. Ketika kita merasa langit kita runtuh, ternyata langit aslinya juga masih utuh. Coba kalau langit aslinya ikut runtuh, pasti seluruh penduduk dunia ikut membela mati-matian dan berharap dengan sangat saya tidak menelan kekalahan itu.

Saya saja yang merasa orang-orang menertawakan kekalahan saya. Padahal tidak, siapa yang punya waktu untuk mengurusi hal remeh orang lain. Kalau pun ada tentu bisa dihitung dengan jari, apalagi saat itu saya belum dikenal sebagai pemain catur nomor satu di perusahaan. Jadi, menyangka orang lain sibuk dengan urusanku adalah suatu kekeliruan. Justru yang sibuk dengan kekalahan itu, cuma diriku sendiri.

Ketika sebuah partai atau caleg kalah kemudian mengobrak-abrik kantor KPU, menyalahkan daftar pemilih atau kecurangan-kecurangan lainnya, lebih karena mereka tidak mau mengakui kemenangan lawan. Mirip dengan kekalahan yang saya alami saat itu, yang tidak dapat saya terima dengan ikhlas dan besar hati. Alih-alih menyalahkan diri sendiri, malahan menyalahkan orang lain atau menuding kemana-mana.

Menjadi pihak yang kalah akan jadi lebih mudah bila kita bisa menghentikan sumber kekalahan pada satu soal saja. Jika partai saya kalah atau saya caleg yang kalah adalah karena memang saya kurang disukai oleh massa. Jika pertandingan saya kalah, karena memang saya belum punya mental juara atau sedang bermain buruk. Karena menerima kekalahan, sejatinya adalah menerima diri kita sendiri.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar