Menerima kekalahan itu tidak mudah bagiku. Bukan perkara besar, tetapi soal kalah main catur di perusahaan. Pada awal kerja di Pertamina, belum ada orang yang tahu kalau saya termasuk pemain catur yang cukup kuat. Pertama kali saya ikut lomba catur adalah lomba catur antar karyawan yang diadakan setiap tahun dalam rangka memeriahkan perayaan ulang tahun perusahaan.
Babak-babak
awal saya melaju dengan kemenangan mudah, sehingga saya hampir sepenuhnya yakin
akan memenangkan lomba itu. Menjelang babak akhir, saya ketemu lawan yang
menyebalkan sebab berpikirnya lama dan tidak mau melangkahkan buahnya, padahal
saat itu belum lazim menggunakan jam catur. Kalau sekarang setiap pemain wajib
menggunakan jam catur, agar tidak merugikan waktu lawan.
Singka
kata, permainan belum selesai sampai waktu yang ditentukan itu habis, sehingga
permainan harus dilanjutkan dengan sistim gong atau aba-aba dari wasit dengan
ketentuan waku berpikir hanya sepuluh detik untuk setiap langkahnya. Karena
emosi, saya tidak dengar aba-aba untuk melangkah sehingga akhirnya malah saya
dinyatakan kalah.
Saya
pulang dengan marah dan kecewa, rasanya langit seperti mau runtuh. Karena catur
merupakan bagian penting dalam hidup saya, bahkan boleh dibilang nomor satu
saat itu. Tidak ada kebanggaan lain yang saya punya selain unggul dalam bermain
catur. Maka, kekalahan dari seorang pemain abal-abal, benar-benar sangat
memukul. Hampir membuat saya menggantungkan papan catur.
Saya
sempat mogok main catur. Menyalahkan orang itu, keadaan itu, merasa tercurangi
karena cara mainnya tidak fair dan lain-lain. Butuh waktu setahun, untuk
menghapus sakit hati dan melupakan kekalahan pahit itu. Sementara saya mengeluh
dan menyalahkan, ternyata dunia baik-baik saja. Tak peduli saya menangis atau
tertawa, bakul-bakul di pasar tetap berjualan seperti biasa. Mereka sama sekali
tidak tahu kekalahan saya.
Sebetulnya,
tak ada yang peduli dengan urusan kita, termasuk kekalahan, kemarahan,
kekecewaan, kedengkian kecuali diri kita sendiri. Ketika kita merasa langit
kita runtuh, ternyata langit aslinya juga masih utuh. Coba kalau langit aslinya
ikut runtuh, pasti seluruh penduduk dunia ikut membela mati-matian dan berharap
dengan sangat saya tidak menelan kekalahan itu.
Saya
saja yang merasa orang-orang menertawakan kekalahan saya. Padahal tidak, siapa
yang punya waktu untuk mengurusi hal remeh orang lain. Kalau pun ada tentu bisa
dihitung dengan jari, apalagi saat itu saya belum dikenal sebagai pemain catur
nomor satu di perusahaan. Jadi, menyangka orang lain sibuk dengan urusanku
adalah suatu kekeliruan. Justru yang sibuk dengan kekalahan itu, cuma diriku
sendiri.
Ketika
sebuah partai atau caleg kalah kemudian mengobrak-abrik kantor KPU, menyalahkan
daftar pemilih atau kecurangan-kecurangan lainnya, lebih karena mereka tidak
mau mengakui kemenangan lawan. Mirip dengan kekalahan yang saya alami saat itu,
yang tidak dapat saya terima dengan ikhlas dan besar hati. Alih-alih
menyalahkan diri sendiri, malahan menyalahkan orang lain atau menuding
kemana-mana.
Menjadi
pihak yang kalah akan jadi lebih mudah bila kita bisa menghentikan sumber
kekalahan pada satu soal saja. Jika partai saya kalah atau saya caleg yang
kalah adalah karena memang saya kurang disukai oleh massa. Jika pertandingan
saya kalah, karena memang saya belum punya mental juara atau sedang bermain
buruk. Karena menerima kekalahan, sejatinya adalah menerima diri kita sendiri.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.