Sabtu, 20 September 2014

Liburan Yang Salah


Setiap libur lebaran, kami pasti merencanakan ikut liburan. Pertama, karena di rumah tidak ada sopir dan tidak ada pembantu. Tidak ada pembantu juga tidak ada yang masak, apalagi warung makan dan pasar sebagian besar tutup. Jadi, jika di rumah selama libur itu, judulnya cuma penderitaan semata. Sekarang tinggal pilihannya, mau pergi ke mana. 

Waktu itu kami janjian dengan adik yang tinggal di Bandung untuk naik mobil beriringan dua hari di Jakarta dan dua hari di Puncak. Pilihan ini sengaja kami tentukan dengan pertimbangan, saya harus menyetir sendiri karena tidak ada sopir, maka melawan arus mudik tentu pilihan yang cerdas. Sesuai dengan dugaan, kami dapat melenggang dengan santai ke Jakarta.

Setelah dua hari di Jakarta, baru terpikirkan persoalan bagaimana menuju Puncak. Pada hari libur seperti ini, bisa dibayangkan bagaimana macetnya jalan ke sana. Pikir punya pikir, kami akhirnya memutuskan jalan memutar keluar Jakarta, lalu masuk ke Puncak melalui Cianjur. Apalagi sudah lama sekali tidak pernah lewat Cianjur, yang terkenal dengan manisannya.

Kami pun berhenti di salah satu toko manisan di tengah perkotaan yang tampak ramai pengunjung. Wah, pasti mutu manisannya baik, itu sudah rumus tidak tertulis seperti setiap kali kita akan memilih restoran untuk berhenti makan ataupun pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Restoran yang laris, pasti akan semakin berjubel disinggahi pelancong, sedangkan yang sepi hanya dilalui. Demikian pula pom bensin, semakin ramai antrian, menandakan takaran yang tepat, tidak dicurangi.

Setelah cukup puas berbelanja manisan, kami pun melanjutkan perjalanan. Jalanan di tengah kota yang satu arah dengan pembatas jalan tampak amat ramai sore itu, sehingga kendaraan tidak dapat melaju cepat. Lalu tampak seorang anak perempuan usia sepuluh tahunan yang kebingungan sedang berdiri di tengah-tengah pembatas jalan seperti mau mengurungkan niatnya menyebrang.

Namun, tiba-tiba ketika mobilku melintas, ia berlari menyebrang dan tak terelakkan, tubuh kecilnya terpental dihantam mobilku, meskipun aku sudah sekuat tenaga menginjak rem dan membanting setir ke kiri. Seketika, jantungku berhenti berdetak, dicekam kepanikan, yang terlintas di benakku saat itu hanya jeruji penjara. Bagaimana kalau adik kecil itu tidak tertolong dan tewas ? 

Kendaraan segera kupinggirkan, dan seorang bapak yang cekatan memondongnya kusuruh masuk ke mobil. “ Mana rumah sakit,” tanyaku pada bapak itu. Untung tidak terlalu jauh, kami hanya perlu memutar arah balik. Sungguh liburan yang salah, semua ikut terpanggang kepanikan,tulang belulang seperti  dilolosi dan semakin menjadi-jadi saat melihat kondisi anak itu yang masih tak sadarkan diri.

Apalagi, ketika serombongan orang datang tergopoh-gopoh, orang tua serta orang sekampungnya. Jangan-jangan akan mengeroyok, membakar kendaraan kami seperti yang banyak terjadi di negara ini. Bayangan keburukan yang bakal terjadi sungguh-sungguh mencekam. Hanya dengan nyali yang kupaksakan sambil berdoa dalam hati, kutemui mereka untuk meminta maaf.

Paling tidak aku menunjukkan niat untuk bertanggung jawab. Banyak kasus tabrak lari karena takut bertanggung jawab, tapi ada lain kasus lari karena takut diamuk massa. Mutu manusia kadang diuji pada saat yang sulit. Dan saya memilih untuk bertanggung jawab apa pun resikonya, meskipun takut. Niat baik akan membawa kebaikan dan itu yang terjadi. Keluarganya yang semula kusangka akan mengamuk, malah meminta maaf karena ternyata anak itu agak terbelakang dan seharusnya dikawal.  

Tak ada pilihan lain, ketika dokter di rumah sakit itu angkat tangan, kami harus melupakan liburan, ikut ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung, ke mana anak itu dipindahkan. Punahlah kegembiraan, batal sudah semua rencana dan yang tersisa cuma kepasrahan, menunggu hidup dan mati  anak itu yang sama sekali belum begitu jelas.  

Setelah semalam menginap di Bandung, kami sekeluarga memilih pulang ke Cilacap, sambil terus memantau perkembangan anak itu. Empat hari kemudian, saya menjenguknya ke rumah sakit, tepat saat anak itu siuman dan ketika kutanya siapa namanya, dia dapat menjawab dengan benar. Dokter tersenyum lebar, orang tuanya tersenyum bahagia, saya pun ikut tersenyum bersyukur. 

Mensyukuri anak itu ternyata bisa lebih berarti daripada liburan ke seluruh dunia, karena sejujurnya saya tengah mensyukuri diri saya sendiri. 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
2 Comments

2 komentar:

  1. saya ngeri Pak baca'nya,

    ini pengalaman Pak Han yang Luar Biasa, pastinya banyak pelajaran yang bisa bapak petik,

    The experience is the best teacher,

    selagi pengalaman itu bisa menjadi guru kita yang terbaik,
    selagi dari pihak keluarga mau berdamai secara kekeluargaan,
    tentunya kita baru bisa bersyukur dan bernafas lega karena tidak semua orang pernah mengalami'nya,(◠‿◠)

    Terima-kasih Pak, ini pengalaman yang Luar Biasa,

    Salam sukses, HIDUP LUAR BIASA.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengalaman lama, mas....tetapi menjadi kenangan yang bisa menjadi refleksi hidup kita.

      Salam sukses, hidup luar biasa.

      Hapus