Setiap libur lebaran, kami pasti merencanakan ikut liburan. Pertama, karena di rumah tidak ada sopir dan tidak ada pembantu. Tidak ada pembantu juga tidak ada yang masak, apalagi warung makan dan pasar sebagian besar tutup. Jadi, jika di rumah selama libur itu, judulnya cuma penderitaan semata. Sekarang tinggal pilihannya, mau pergi ke mana.
Waktu
itu kami janjian dengan adik yang tinggal di Bandung untuk naik mobil
beriringan dua hari di Jakarta dan dua hari di Puncak. Pilihan ini sengaja kami
tentukan dengan pertimbangan, saya harus menyetir sendiri karena tidak ada
sopir, maka melawan arus mudik tentu pilihan yang cerdas. Sesuai dengan dugaan,
kami dapat melenggang dengan santai ke Jakarta.
Setelah
dua hari di Jakarta, baru terpikirkan persoalan bagaimana menuju Puncak. Pada
hari libur seperti ini, bisa dibayangkan bagaimana macetnya jalan ke sana.
Pikir punya pikir, kami akhirnya memutuskan jalan memutar keluar Jakarta, lalu
masuk ke Puncak melalui Cianjur. Apalagi sudah lama sekali tidak pernah lewat
Cianjur, yang terkenal dengan manisannya.
Kami
pun berhenti di salah satu toko manisan di tengah perkotaan yang tampak ramai
pengunjung. Wah, pasti mutu manisannya baik, itu sudah rumus tidak tertulis
seperti setiap kali kita akan memilih restoran untuk berhenti makan ataupun pom
bensin untuk mengisi bahan bakar. Restoran yang laris, pasti akan semakin
berjubel disinggahi pelancong, sedangkan yang sepi hanya dilalui. Demikian pula
pom bensin, semakin ramai antrian, menandakan takaran yang tepat, tidak
dicurangi.
Setelah
cukup puas berbelanja manisan, kami pun melanjutkan perjalanan. Jalanan di
tengah kota yang satu arah dengan pembatas jalan tampak amat ramai sore itu,
sehingga kendaraan tidak dapat melaju cepat. Lalu tampak seorang anak perempuan
usia sepuluh tahunan yang kebingungan sedang berdiri di tengah-tengah pembatas
jalan seperti mau mengurungkan niatnya menyebrang.
Namun,
tiba-tiba ketika mobilku melintas, ia berlari menyebrang dan tak terelakkan,
tubuh kecilnya terpental dihantam mobilku, meskipun aku sudah sekuat tenaga
menginjak rem dan membanting setir ke kiri. Seketika, jantungku berhenti
berdetak, dicekam kepanikan, yang terlintas di benakku saat itu hanya jeruji
penjara. Bagaimana kalau adik kecil itu tidak tertolong dan tewas ?
Kendaraan
segera kupinggirkan, dan seorang bapak yang cekatan memondongnya kusuruh masuk
ke mobil. “ Mana rumah sakit,” tanyaku pada bapak itu. Untung tidak terlalu
jauh, kami hanya perlu memutar arah balik. Sungguh liburan yang salah, semua
ikut terpanggang kepanikan,tulang belulang seperti dilolosi dan semakin menjadi-jadi saat
melihat kondisi anak itu yang masih tak sadarkan diri.
Apalagi,
ketika serombongan orang datang tergopoh-gopoh, orang tua serta orang
sekampungnya. Jangan-jangan akan mengeroyok, membakar kendaraan kami seperti
yang banyak terjadi di negara ini. Bayangan keburukan yang bakal terjadi
sungguh-sungguh mencekam. Hanya dengan nyali yang kupaksakan sambil berdoa
dalam hati, kutemui mereka untuk meminta maaf.
Paling
tidak aku menunjukkan niat untuk bertanggung jawab. Banyak kasus tabrak lari
karena takut bertanggung jawab, tapi ada lain kasus lari karena takut diamuk
massa. Mutu manusia kadang diuji pada saat yang sulit. Dan saya memilih untuk
bertanggung jawab apa pun resikonya, meskipun takut. Niat baik akan membawa
kebaikan dan itu yang terjadi. Keluarganya yang semula kusangka akan mengamuk,
malah meminta maaf karena ternyata anak itu agak terbelakang dan seharusnya
dikawal.
Tak ada
pilihan lain, ketika dokter di rumah sakit itu angkat tangan, kami harus
melupakan liburan, ikut ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung, ke mana anak itu
dipindahkan. Punahlah kegembiraan, batal sudah semua rencana dan yang tersisa
cuma kepasrahan, menunggu hidup dan mati anak
itu yang sama sekali belum begitu jelas.
Setelah
semalam menginap di Bandung, kami sekeluarga memilih pulang ke Cilacap, sambil
terus memantau perkembangan anak itu. Empat hari kemudian, saya menjenguknya ke
rumah sakit, tepat saat anak itu siuman dan ketika kutanya siapa namanya, dia
dapat menjawab dengan benar. Dokter tersenyum lebar, orang tuanya tersenyum
bahagia, saya pun ikut tersenyum bersyukur.
Mensyukuri
anak itu ternyata bisa lebih berarti daripada liburan ke seluruh dunia, karena
sejujurnya saya tengah mensyukuri diri saya sendiri.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
saya ngeri Pak baca'nya,
BalasHapusini pengalaman Pak Han yang Luar Biasa, pastinya banyak pelajaran yang bisa bapak petik,
The experience is the best teacher,
selagi pengalaman itu bisa menjadi guru kita yang terbaik,
selagi dari pihak keluarga mau berdamai secara kekeluargaan,
tentunya kita baru bisa bersyukur dan bernafas lega karena tidak semua orang pernah mengalami'nya,(◠‿◠)
Terima-kasih Pak, ini pengalaman yang Luar Biasa,
Salam sukses, HIDUP LUAR BIASA.
Pengalaman lama, mas....tetapi menjadi kenangan yang bisa menjadi refleksi hidup kita.
HapusSalam sukses, hidup luar biasa.