Kamis, 25 September 2014

Rasa Iri


Ada yang mengatakan bahwa ‘rasa iri’ berakar dari masa lalu kita pada jaman purba. Ketika manusia purba di gua sebelah mendapatkan bagian daging gajah dalam porsi yang lebih besar, berarti yang lain mendapatkan lebih sedikit. Yang satu berpesta, yang lain menderita. Namun, rasa iri pada masa sekarang berbeda. Jika tetangga saya membeli Lamborghini, itu tidak  berarti mengambil milik saya.

Rasa iri sering menimbulkan kejengkelan, tapi anehnya mengarah kepada orang yang paling serupa atau punya kemiripan dengan kita. Kita tidak iri terhadap hewan atau tumbuhan. Kita juga tidak iri terhadap orang kaya di belahan dunia lain, hanya mereka yang se kota dengan kita. Sebagai seorang pengusaha, saya tidak iri terhadap musisi, pengacara, politikus, namun terhadap pengusaha lain, iya.

Sumber keirian bisa datang dari mana-mana. Salah satunya adalah soal gaji. Jika ada tiga skenario, manakah yang paling membuat Anda kesal, A) Gaji teman-teman Anda naik, gaji Anda masih sama, B) Gaji mereka tetap sama, demikian juga gaji Anda, C) Gaji mereka rata-rata dipangkas, gaji Anda juga. Jika Anda menjawab A, jangan cemas karena itu sepenuhnya normal, hanya korban monster bermata hijau atau perasaan iri.

Kemudahan pun kadang kita irikan seperti seorang teman yang mengeluhkan segolongan orang yang menurutnya amat enak hidupnya. Pekerjaannya cuma begitu, gajinya sebesar itu. Sudah gaji sebesar itu, masih mendapat sabetan ini itu. Sudah begitu, masih pula punya kesempatan untuk me-mark up anggaran. “ Sementara aku, harus bekerja keras banting tulang dan memeras keringat sepanjang hidupku,” katanya.

Saya pun pernah merasakan hal seperti itu saat masih berstatus pegawai, sehingga saya memahami kejengkelannya. Soal yang mudah baginya itu adalah soal yang harus saya capai dengan susah payah. Iri kepada kemudahan orang lain dan marah kepada kemalangan diri sendiri. Lebih-lebih, ketika kita menilai kemudahan yang dimilikinya, didapat dengan cara yang salah di mata kita. 

Maka, iri dapat berubah menjadi amarah, melihat bagaimana mungkin orang yang salah bisa hidup mewah, sementara yang benar malah hidupnya susah. Begitu sengitnya kemarahanku, sampai keliru menyamakan bahwa mudah itu selalu berarti gembira, sedangkan susah itu selalu berarti sengsara. Padahal, seharusnya tidak sama karena faktanya ada pihak yang digembirakan dengan kesusahannya dan ada orang yang disengsarakan oleh kemudahannya.

Ada orang yang karena mudahnya, mudah berbuat apa saja termasuk mudah berbuat salah sampai masuk ke penjara. Sebaliknya, di dalam kesusahan, manusia juga susah berbuat apa saja termasuk susah berbuat salah. Sulit berbuat salah karena kesempatannya tidak ada. Bagaimana mau korupsi jika lahannya pun tidak ada ? Bagaimana mau membuat mark up anggaran, jika jabatan ia tidak punya ?

Jadi, yang sedang susah seharusnya gembira karena selalu makan dari uang hasil kerja kerasnya yang pasti halal. Namun, jika kita iri pada kemudahan yang salah, begitu ada kesempatan kita pun pasti tergoda untuk korupsi. Hidup dalam sebuah keadaan yang tidak memungkinkan korupsi, memang rawan jadi iri. Keadaan inilah yang saya lihat sedang menjengkelkan teman saya, bukan karena dia miskin, cuma rejekinya diperoleh dari hasil kerja keras.

Dan ketika saya mendapati diri saya sedang terbakar rasa iri sesaat, saya ingatkan diri sendiri, “ Sah-sah saja menjadi iri tetapi hanya kepada mereka yang telah berhasil menjadi orang yang seperti saya cita-citakan.” 


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar