Menulis itu gampang-gampang susah, kalau sedang datang ide sepuluh menit juga selesai, tapi saat kebuntuan tiba, bisa berhari-hari satu tulisan tidak selesai menuangkannya. Seperti malam ini, saya kesulitan mencari ide untuk menulis. Apa jadinya kalau saya tidak bisa menulis untuk besok ? Tiba-tiba kepala terasa kencang dan leher tegang serta perut mual, ada apa gerangan ?
Dari
semua perkiraan, yang paling saya curigai adalah karena terlalu keras berpikir.
Mudah saja saya menyalahkan angin dan cuaca yang memang sedang buruk, tapi
setelah saya pikir, penyebab paling kuat adalah beban pikiran. Kata teman saya,
hati-hati dengan pikiran karena itu yang paling jahat terhadap kondisi tubuh.
Makin
tua, bukannya makin tenang malah semakin tegang, itulah hidup saya. Teman
sebaya sudah pada pensiun, santai dan momong cucu, sedangkan saya rasanya baru
saja memulai bekerja yang benar-benar sesuai dengan keinginan saya. Kesuksesan
karier menjadi tanggung jawab saya, menjadi tumpuan bukan hanya keluarga, tapi
orang-orang yang ikut saya, saudara, teman dan lingkungan sosial saya.
Karena
hidup sejatinyanya bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain
dan kalau perlu untuk bangsa dan negara atau bahkan untuk seluruh isi jagat
raya. Percuma saja kita rajin ke gereja, ke masjid, atau ke kuil kalau tidak ada
manfaatnya untuk orang lain. Percuma saja kita berdoa berjam-jam setiap hari,
kalau hanya memikirkan diri sendiri.
Seseorang
menjadi semakin tua sejatinya hanya untuk hidup semakin mandiri dan sendiri.
Menjadi semakin terkenal sesungguhnya hanya agar lebih mudah diketahui baik
buruknya kelakuan. Menjadi semakin kuat sejatinya hanya agar lebih banyak
menerima beban. Jadi, dari sudut kemudahan, tidak ada enaknya menjadi semakin
tua, terkenal dan kuat itu. Seluruhnya hanya tambahan persoalan dan makin
banyak beban.
Semakin
tegang ? Jelas. Seharusnya berasa plong bila sudah menyelesaikan sebuah
pekerjaan yang makan energi bikin pencernaan terganggu. Tapi bukan rasa lega
yang saya peroleh, sebab sudah ada lagi pekerjaan berikutnya yang seharusnya
masih jauh di sana, malah saya angkut memenuhi kepala. Bahkan di dalam tidur pun
otak terus bekerja, mata terpejam namun jiwa meronta-ronta.
Kekhawatiran
selalu menghampiri setiap orang, saat bekerja sebagai seorang karyawan yang
dipikir adalah bagaimana melunasi hutang. Apa jadinya jika anak-anak tidak
memeperoleh pendidikan yang baik ? Apa jadinya jika saya hanya mampu
menyekolahkan anak sampai SMA saja ? Apa jadinya jika rumah kreditan tidak bisa
saya lunasi ?
Saat
perusahaanku membesar dan
karyawan bertambah banyak, yang pertama melintas di benak bukanlah kesuksesan
melainkan beban. Apa jadinya jika bahan baku naik ? Apa jadinya jika laba
menurun ? Apa jadinya jika kalah dari pesaing ? Apa jadinya jika perusahaan
tidak jalan ? Semakin besar dan kuat kedudukan kita, semakin panjang daftar
‘apa jadinya’ menjadi penghuni hidup kita.
Akibatnya
tahu sendiri, kepala dan pundak sering kencang, perut menjadi mual karena
banyaknya pikiran yang menjadi beban. Walaupun hasil cek darah ke laboratorium
juga tidak jelek-jelek amat, dan seharusnya tidak sakit kepala. Kalau ‘apa jadinya’ menghilang dari
kamusku, mungkin saja saya tak perlu sering sakit kepala seperti malam ini.
Sungguh jahat kata-kata itu.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.