Jumat, 22 Agustus 2014

Apa Jadinya


Menulis itu gampang-gampang susah, kalau sedang datang ide sepuluh menit juga selesai, tapi saat kebuntuan tiba, bisa berhari-hari satu tulisan tidak selesai menuangkannya. Seperti malam ini, saya kesulitan mencari ide untuk menulis. Apa jadinya kalau saya tidak bisa menulis untuk besok ? Tiba-tiba kepala terasa kencang dan leher tegang serta perut mual, ada apa gerangan ?

Dari semua perkiraan, yang paling saya curigai adalah karena terlalu keras berpikir. Mudah saja saya menyalahkan angin dan cuaca yang memang sedang buruk, tapi setelah saya pikir, penyebab paling kuat adalah beban pikiran. Kata teman saya, hati-hati dengan pikiran karena itu yang paling jahat terhadap kondisi tubuh.

Makin tua, bukannya makin tenang malah semakin tegang, itulah hidup saya. Teman sebaya sudah pada pensiun, santai dan momong cucu, sedangkan saya rasanya baru saja memulai bekerja yang benar-benar sesuai dengan keinginan saya. Kesuksesan karier menjadi tanggung jawab saya, menjadi tumpuan bukan hanya keluarga, tapi orang-orang yang ikut saya, saudara, teman dan lingkungan sosial saya. 

Karena hidup sejatinyanya bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain dan kalau perlu untuk bangsa dan negara atau bahkan untuk seluruh isi jagat raya. Percuma saja kita rajin ke gereja, ke masjid, atau  ke kuil kalau tidak ada manfaatnya untuk orang lain. Percuma saja kita berdoa berjam-jam setiap hari, kalau hanya memikirkan diri sendiri. 

Seseorang menjadi semakin tua sejatinya hanya untuk hidup semakin mandiri dan sendiri. Menjadi semakin terkenal sesungguhnya hanya agar lebih mudah diketahui baik buruknya kelakuan. Menjadi semakin kuat sejatinya hanya agar lebih banyak menerima beban. Jadi, dari sudut kemudahan, tidak ada enaknya menjadi semakin tua, terkenal dan kuat itu. Seluruhnya hanya tambahan persoalan dan makin banyak beban.

Semakin tegang ? Jelas. Seharusnya berasa plong bila sudah menyelesaikan sebuah pekerjaan yang makan energi bikin pencernaan terganggu. Tapi bukan rasa lega yang saya peroleh, sebab sudah ada lagi pekerjaan berikutnya yang seharusnya masih jauh di sana, malah saya angkut memenuhi kepala. Bahkan di dalam tidur pun otak terus bekerja, mata terpejam namun jiwa meronta-ronta.

Kekhawatiran selalu menghampiri setiap orang, saat bekerja sebagai seorang karyawan yang dipikir adalah bagaimana melunasi hutang. Apa jadinya jika anak-anak tidak memeperoleh pendidikan yang baik ? Apa jadinya jika saya hanya mampu menyekolahkan anak sampai SMA saja ? Apa jadinya jika rumah kreditan tidak bisa saya lunasi ? 

Saat perusahaanku  membesar dan karyawan bertambah banyak, yang pertama melintas di benak bukanlah kesuksesan melainkan beban. Apa jadinya jika bahan baku naik ? Apa jadinya jika laba menurun ? Apa jadinya jika kalah dari pesaing ? Apa jadinya jika perusahaan tidak jalan ? Semakin besar dan kuat kedudukan kita, semakin panjang daftar ‘apa jadinya’ menjadi penghuni hidup kita.

Akibatnya tahu sendiri, kepala dan pundak sering kencang, perut menjadi mual karena banyaknya pikiran yang menjadi beban. Walaupun hasil cek darah ke laboratorium juga tidak jelek-jelek amat, dan seharusnya tidak sakit kepala. Kalau  ‘apa jadinya’ menghilang dari kamusku, mungkin saja saya tak perlu sering sakit kepala seperti malam ini. Sungguh jahat kata-kata itu.


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar