Sabtu, 23 Agustus 2014

Keterpaksaan


Mengenang masa lalu ada baiknya, terutama untuk merefleksi diri dan mengambil makna dari semua pengalaman yang pernah kita jalani. Saya pernah ‘terpaksa’ ikut orang, ikut saudara sekadar hanya untuk numpang tidur dan makan. Rasanya benar-benar tidak enak. Tidur tidak lelap karena mau bangun siang tidak enak hati. Makan juga tidak enak, kalau banyak disangka kebangetan.

Waktu itu, saya masih miskin tidak punya apa-apa, masih belum menemukan pekerjaan. Saudaraku juga miskin, tapi dia punya rumah walau sepetak kecil. Hidup di ibukota memang tidak mudah dan semua itu pernah kujalani. Daripada menganggur, aku mencoba berjualan apa saja. Dengan modal pinjaman teman. Karena terpaksa, maka usaha itu pun tidak berhasil, malah punya hutang sama teman.

Teman-teman pada kuliah, saya ‘terpaksa’ merantau mencari pekerjaan. Berbekal seadanya, yang jelas bukan uang karena memang tak punya. Hanya tekad untuk menderita, daripada berpangku tangan di rumah. Miskin adalah duniaku saat itu dan kebutaanku akan kesulitan dan hambatan menjadi peganganku, seolah sukses mudah direngkuh hanya bermodalkan dengkul.

Kerja paksa juga pernah, walaupun tidak suka karena tidak ada pilihan lain di perantauan. Kerjanya berat, bayarannya rendah dan sama sekali tidak bergengsi. Waktunya panjang, istirahat sedikit, mandornya kejam. Apa pun harus dijalani asalkan halal. Saking beratnya, saya hanya mampu bertahan dua hari. Lalu dengan gagahnya saya keluar. Gagah dalam arti tidak mengambil upah. Gagah tapi menderita.
  
Terpaksa keluar juga pernah. Ketika sudah mendapat kerja yang cocok, karier cepat dan posisi bagus, ternyata ayah kurang setuju. Setiap kali bertemu, selalu menekankan jangan menjadi pegawai terlalu lama, nanti malas buka usaha. Demi menuruti kemauan, pulang kampung buka usaha dan cuma bisa bertahan dua tahun, karena terpaksa.

Memaksa keluar juga pernah. Walaupun saya suka bekerja di sini setelah puluhan tahun dan cukup mapan dalam ukurannya, justru malah ambisi yang lain memicu nyaliku untuk keluar.  Keinginanku tidak bisa lagi dibendung atau dihalangi. Yang dulu tidak suka dan terpaksa, sekarang malah menjadi pilihanku yang terbaik sampai saat ini.

Memaksa orang lain juga sering, terutama memaksa kebaikan, karena kalau keburukan tidak usah dipaksakan. Tapi justru karena jarang menggunakan pemaksaan maka orang-orang cenderung akrab dan nyaman dengan keburukan. Mereka belajar beradaptasi dengannya secara alamiah. Secara alami, memang orang enggan dipaksa. 

Akhirnya, saya pun tahu bahwa keterpaksaan yang saya jalani, memberi manfaat di kemudian hari. Perlu waktu dan kedewasaan untuk menangkap dengan jelas apa yang ada dibalik keterpaksaan itu. Numpang hidup adalah bekal untuk sadar dalam bergaul dengan orang lain sampai hari ini. Ketidak- sukaan adalah pondasi untuk dapat membuat pilihan dengan bijak. Kegagalan adalah bekal untuk lebih baik, bukan menjadikannya trauma.

Tidak ada yang sia-sia keterpaksaan yang harus saya jalani selama hidup ini. Mengingat semua itu saya mengajak yang lain untuk memaksakan diri terhadap yang kita tidak suka. Apalagi terhadap orang-orang terdekat saya, tega tidak tega atau suka tidak suka, jelas ada tujuan hidup yang harus dicapai bukan untuk sesaat tapi untuk sepanjang hidup mereka. Semua itu demi kebaikan mereka.  
   

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar