Mengenang
masa lalu ada baiknya, terutama untuk merefleksi diri dan mengambil makna dari
semua pengalaman yang pernah kita jalani. Saya pernah ‘terpaksa’ ikut orang,
ikut saudara sekadar hanya untuk numpang tidur dan makan. Rasanya benar-benar
tidak enak. Tidur tidak lelap karena mau bangun siang tidak enak hati. Makan
juga tidak enak, kalau banyak disangka kebangetan.
Waktu
itu, saya masih miskin tidak punya apa-apa, masih belum menemukan pekerjaan.
Saudaraku juga miskin, tapi dia punya rumah walau sepetak kecil. Hidup di
ibukota memang tidak mudah dan semua itu pernah kujalani. Daripada menganggur,
aku mencoba berjualan apa saja. Dengan modal pinjaman teman. Karena terpaksa,
maka usaha itu pun tidak berhasil, malah punya hutang sama teman.
Teman-teman
pada kuliah, saya ‘terpaksa’ merantau mencari pekerjaan. Berbekal seadanya,
yang jelas bukan uang karena memang tak punya. Hanya tekad untuk menderita,
daripada berpangku tangan di rumah. Miskin adalah duniaku saat itu dan
kebutaanku akan kesulitan dan hambatan menjadi peganganku, seolah sukses mudah
direngkuh hanya bermodalkan dengkul.
Kerja
paksa juga pernah, walaupun tidak suka karena tidak ada pilihan lain di
perantauan. Kerjanya berat, bayarannya rendah dan sama sekali tidak bergengsi.
Waktunya panjang, istirahat sedikit, mandornya kejam. Apa pun harus dijalani
asalkan halal. Saking beratnya, saya hanya mampu bertahan dua hari. Lalu dengan
gagahnya saya keluar. Gagah dalam arti tidak mengambil upah. Gagah tapi
menderita.
Terpaksa
keluar juga pernah. Ketika sudah mendapat kerja yang cocok, karier cepat dan
posisi bagus, ternyata ayah kurang setuju. Setiap kali bertemu, selalu
menekankan jangan menjadi pegawai terlalu lama, nanti malas buka usaha. Demi
menuruti kemauan, pulang kampung buka usaha dan cuma bisa bertahan dua tahun,
karena terpaksa.
Memaksa
keluar juga pernah. Walaupun saya suka bekerja di sini setelah puluhan tahun
dan cukup mapan dalam ukurannya, justru malah ambisi yang lain memicu nyaliku
untuk keluar. Keinginanku
tidak bisa lagi dibendung atau dihalangi. Yang dulu tidak suka dan terpaksa,
sekarang malah menjadi pilihanku yang terbaik sampai saat ini.
Memaksa
orang lain juga sering, terutama memaksa kebaikan, karena kalau keburukan tidak
usah dipaksakan. Tapi justru karena jarang menggunakan pemaksaan maka
orang-orang cenderung akrab dan nyaman dengan keburukan. Mereka belajar
beradaptasi dengannya secara alamiah. Secara alami, memang orang enggan
dipaksa.
Akhirnya,
saya pun tahu bahwa keterpaksaan yang saya jalani, memberi manfaat di kemudian
hari. Perlu waktu dan kedewasaan untuk menangkap dengan jelas apa yang ada
dibalik keterpaksaan itu. Numpang hidup adalah bekal untuk sadar dalam bergaul
dengan orang lain sampai hari ini. Ketidak- sukaan adalah pondasi untuk dapat
membuat pilihan dengan bijak. Kegagalan adalah bekal untuk lebih baik, bukan
menjadikannya trauma.
Tidak
ada yang sia-sia keterpaksaan yang harus saya jalani selama hidup ini.
Mengingat semua itu saya mengajak yang lain untuk memaksakan diri terhadap yang
kita tidak suka. Apalagi terhadap orang-orang terdekat saya, tega tidak tega
atau suka tidak suka, jelas ada tujuan hidup yang harus dicapai bukan untuk
sesaat tapi untuk sepanjang hidup mereka. Semua itu demi kebaikan mereka.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.