Kamis, 28 Agustus 2014

Garasi Sebelah Rumah


Sudah sepuluh tahun lebih sejak tinggal di rumah ini suara deru mesin bus selalu dekat dengan hidupku. Bagaimana tidak, karena persis sebelah rumahku adalah garasi untuk bus-bus besar yang pulang malam dan berangkat pagi dini hari. Apalagi bus-bus yang berjumlah belasan itu, bukan bus baru yang suaranya halus, tapi bus-bus yang suaranya kasar dan keras karena sudah dimakan usia. Kalau ‘baru akan’ membangun garasi bus, tentu takkan kuberi ijin lingkungan.

Yang paling meneror adalah suaranya. Jika malam hari, campuran gerungan mesin dan getaran keras tentu semakin jelas kedengaran. Terutama saat pulang kandang menjelang tengah malam dan bus mau berangkat, jam dua pagi. Jika tidurku sudah terlampau pulas karena kerja siangnya terlalu berat mungkin dapat kuabaikan. Petir menyambar pun bisa tak kugubris.

Sesungguhnya perusahaan bus itu sudah hampir bangkrut karena tidak diurus. Maka, pernah saya mengajukan penawaran untuk membeli lahan itu agar tidur tidak lagi terganggu. Bahkan saya pernah mendoakan yang jelek, agar lebih cepat bangkrut. Doa yang jelek ternyata tidak manjur, malah sekarang bertambah banyak jumlahnya setelah merger dengan perusahaan lain.

Sekarang bukan hanya garasinya yang bertambah penuh, bahkan jalan depan rumah dijadikan lahan parkir. Berderet bus shuttle setiap sore dan malam di sepanjang jalan depan rumahku. Tapi karena jalan umum, aku hanya bisa menghimbau jangan parkir depan pintu persis. Sayangnya, mereka juga membuang sampah sembarangan, bikin geram sampai rahangku gemeretak kalau mengingatnya, karena bukan hanya sekali sudah kuperingatkan.

Malam-malamku yang berhiaskan gerungan mesin mustahil akan berkurang. Jika sedang banyak pikiran, persoalan sepele bisa jadi ancaman. Keburukan di siang hari bisa berlanjut, jadi malam yang melelahkan. Yang pasti akan merusak kualitas tidurku dengan segala akibatnya. Mungkin besoknya uring-uringan, leher kaku atau minimal pusing.

Saya tidak dapat membayangkan orang yang tinggal di pinggir jalur rel kereta api yang hampir setiap jam dilewati. Mungkin karena terbiasa, mereka tidak lagi mendengar. Atau barangkali mereka lebih tahan daripadaku yang menuntut ketenangan. Atau jangan-jangan mereka malah merindukan suara berisik kereta yang mengisyaratkan bahwa mereka ada di sekitar rumah.

Tidak baik, rasanya mengeluh. Katanya hidup adalah pilihan. Kalau garasi itu tidak dapat diusir, satu-satunya jalan aku yang pindah. Tetapi pasti tidak mungkin, keluargaku pasti semua keberatan karena tempat ini merupakan peninggalan. Tuntutanku mungkin dianggap tak masuk akal, karena semuanya baik-baik saja kecuali aku yang merasa terganggu pada saat tertentu.

Malam ini, mata terpejam setengah mengantuk ketika terdengar bus pulang masuk ke kandangnya, sejenak memancing insting kejengkelanku. Hidup bersama orang lain di masyarakat memang ada ongkosnya, yang harus kubayar dengan kesabaran. Sejatinya, hidup tak mungkin tanpa gangguan. Kenapa aku manusia yang sudah diberi banyak kemuliaan tidak bisa berbaik hati dengan tetangga ?

Maka, setiap gerungan mesin bus yang keras kubayangkan sebagai tarikan pedal gas mobil Mazdaku di sebuah sirkuit dengan aku sebagai pembalapnya. Semakin keras suaranya , semakin kencang jalan Mazdaku. Hasilnya ajaib, seterusnya aku berdamai  dengan perasaanku dan tertidur sambil balapan. Enak sekali !


Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar