Sudah sepuluh tahun lebih sejak tinggal di rumah ini suara deru mesin bus selalu dekat dengan hidupku. Bagaimana tidak, karena persis sebelah rumahku adalah garasi untuk bus-bus besar yang pulang malam dan berangkat pagi dini hari. Apalagi bus-bus yang berjumlah belasan itu, bukan bus baru yang suaranya halus, tapi bus-bus yang suaranya kasar dan keras karena sudah dimakan usia. Kalau ‘baru akan’ membangun garasi bus, tentu takkan kuberi ijin lingkungan.
Yang
paling meneror adalah suaranya. Jika malam hari, campuran gerungan mesin dan
getaran keras tentu semakin jelas kedengaran. Terutama saat pulang kandang
menjelang tengah malam dan bus mau berangkat, jam dua pagi. Jika tidurku sudah
terlampau pulas karena kerja siangnya terlalu berat mungkin dapat kuabaikan.
Petir menyambar pun bisa tak kugubris.
Sesungguhnya
perusahaan bus itu sudah hampir bangkrut karena tidak diurus. Maka, pernah saya
mengajukan penawaran untuk membeli lahan itu agar tidur tidak lagi terganggu.
Bahkan saya pernah mendoakan yang jelek, agar lebih cepat bangkrut. Doa yang
jelek ternyata tidak manjur, malah sekarang bertambah banyak jumlahnya setelah
merger dengan perusahaan lain.
Sekarang
bukan hanya garasinya yang bertambah penuh, bahkan jalan depan rumah dijadikan
lahan parkir. Berderet bus shuttle setiap sore dan malam di sepanjang jalan
depan rumahku. Tapi karena jalan umum, aku hanya bisa menghimbau jangan parkir
depan pintu persis. Sayangnya, mereka juga membuang sampah sembarangan, bikin
geram sampai rahangku gemeretak kalau mengingatnya, karena bukan hanya sekali
sudah kuperingatkan.
Malam-malamku
yang berhiaskan gerungan mesin mustahil akan berkurang. Jika sedang banyak
pikiran, persoalan sepele bisa jadi ancaman. Keburukan di siang hari bisa
berlanjut, jadi malam yang melelahkan. Yang pasti akan merusak kualitas tidurku
dengan segala akibatnya. Mungkin besoknya uring-uringan, leher kaku atau
minimal pusing.
Saya
tidak dapat membayangkan orang yang tinggal di pinggir jalur rel kereta api
yang hampir setiap jam dilewati. Mungkin karena terbiasa, mereka tidak lagi
mendengar. Atau barangkali mereka lebih tahan daripadaku yang menuntut
ketenangan. Atau jangan-jangan mereka malah merindukan suara berisik kereta
yang mengisyaratkan bahwa mereka ada di sekitar rumah.
Tidak
baik, rasanya mengeluh. Katanya hidup adalah pilihan. Kalau garasi itu tidak
dapat diusir, satu-satunya jalan aku yang pindah. Tetapi pasti tidak mungkin,
keluargaku pasti semua keberatan karena tempat ini merupakan peninggalan.
Tuntutanku mungkin dianggap tak masuk akal, karena semuanya baik-baik saja
kecuali aku yang merasa terganggu pada saat tertentu.
Malam
ini, mata terpejam setengah mengantuk ketika terdengar bus pulang masuk ke
kandangnya, sejenak memancing insting kejengkelanku. Hidup bersama orang lain
di masyarakat memang ada ongkosnya, yang harus kubayar dengan kesabaran.
Sejatinya, hidup tak mungkin tanpa gangguan. Kenapa aku manusia yang sudah
diberi banyak kemuliaan tidak bisa berbaik hati dengan tetangga ?
Maka,
setiap gerungan mesin bus yang keras kubayangkan sebagai tarikan pedal gas
mobil Mazdaku di sebuah sirkuit dengan aku sebagai pembalapnya. Semakin keras
suaranya , semakin kencang jalan Mazdaku. Hasilnya ajaib, seterusnya aku
berdamai dengan perasaanku
dan tertidur sambil balapan. Enak sekali !
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.