Senin, 21 Oktober 2013

Empathy


Ada seorang ayah, bekas gelandang pemain bola yang karena cedera tidak dapat melanjutkan kariernya, sangat menginginkan putranya yang masih kecil bisa menjadi gelandang yang hebat. Sang ayah melatih anaknya dari kelas satu sampai kelas delapan dan ia menjadi pemain gelandang yang luar biasa. Dapat dibayangkan betapa bangganya sang ayah setiap kali melihatnya bermain, ia akan berkata, "Yang itu putra saya."

Pada saat naik kelas sembilan, tiba-tiba si anak mengatakan pada ayahnya tidak ingin bermain bola lagi. Seketika sang ayah kaget, 

"Kamu sudah gila? Tahukah kamu betapa mahirnya kamu, betapa ayah sudah menghabiskan waktu untuk melatih kamu?" Ia bersikeras tidak mau bermain.

Keinginan berhenti si anak sangat mengganggu emosi sang ayah. Selama berhari-hari ia berusaha membujuk sang anak namun tidak ada kemajuan. Sejak saat itu seperti ada jurang yang membatasi hubungan mereka.

Suatu saat sang ayah mengikuti seminar tentang cara menjadi pendengar yang lebih baik. Sepulang dari seminar, timbul pertanyaan-pertanyaan didalam benaknya, 

"Apakah saya sedang membesarkan seorang pemain bola atau membesarkan seorang putra? Apakah saya melakukan ini untuk dia atau untuk saya sendiri?"

Sang ayah memikirkan kembali matang-matang, kalau membesarkan seorang putra, maka sepak bola tidaklah teramat penting.

Tak lama kemudian sang ayah mendapat kesempatan,
"Jadi kamu sudah mantap untuk tidak mau bermain lagi tahun ini?"
"Tidak," jawab si anak. 
"Saya tidak terlalu menikmatinya tahun lalu," ujarnya melanjutkan.
"Jadi tahun lalu tidak menyenangkan, ya?" tanya sang ayah.
"Sama sekali tidak."
Sang ayah mengangguk, membenarkan pernyataanya.
"Saya kesal sekali tahun lalu, Ayah. Saya dihajar di lapangan. Ukuran badan saya kan separuh badan anak-anak lain."
"Oh..kamu dihajar tahun lalu, ya?"
Saat ini si anak mulai merasa bahwa ayahnya peduli dan mencoba memahaminya, sehingga si anak mulai membuka diri.
"Iya, maksud saya, badan anak-anak lain jauh lebih besar. Ayah berbadan besar sewaktu muda, jadi ayah tidak mengerti,"
"Kamu pikir ayah tidak akan mengerti ya?" Dan pembicaraan berlanjut, sang ayah mendengarkan, belajar banyak hal baru tentang putranya. Si anak merasa gelisah, takut, rentan. Ia merasa tertekan untuk memenuhi harapan ayahnya.
Setelah beberapa menit saat sang ayah berusaha memahami anaknya dengan sungguh-sungguh, si anak bertanya,
"Jadi menurut ayah apa yang harus saya lakukan?"
Ayahnya menjawab, "Apapun keputusanmu tidak masalah buat ayah. Yang penting buat dirimu. Bila mau bermain lagi, bagus. Bila tidak, juga bagus. Ayah akan mendukung apapun keputusanmu."
Beberapa hari kemudian si anak menghampiri ayahnya dan berkata,
"Ayah, saya ingin tetap bermain tahun ini." Mereka berdua bahagia.


Sahabat-sahabatku yang luar biasa,

Menghabiskan waktu beberapa puluh menit untuk mencoba benar-benar mendengarkan dan memahami akan menghilangkan sebuah persoalan yang mungkin bisa berlanjut selama berbulan-bulan atau mengakibatkan perselisihan yang berkepanjangan. Sungguh, emphaty adalah bentuk komunikasi yang paling cepat.
Berusahalah lebih dahulu untuk mengerti....baru kemudian dimengerti.

Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Comments
2 Comments

2 komentar:

  1. Guruh Kurniawan ERTE ne . Sampang21 Oktober 2013 pukul 18.53

    Matur Suwun Pak Han ....

    BalasHapus
  2. benar sekali Pak Han, SETUJU!

    Dalam hidup, orang tak akan peduli berapa banyak yg kita tahu hingga mereka tahu berapa banyak kita peduli pada mereka.

    Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.

    Aziz - Ngasinan

    BalasHapus