Ada seorang ayah, bekas gelandang pemain bola yang karena
cedera tidak dapat melanjutkan kariernya, sangat menginginkan putranya yang
masih kecil bisa menjadi gelandang yang hebat. Sang ayah melatih anaknya dari
kelas satu sampai kelas delapan dan ia menjadi pemain gelandang yang luar
biasa. Dapat dibayangkan betapa bangganya sang ayah setiap kali melihatnya
bermain, ia akan berkata, "Yang itu putra saya."
Pada saat naik kelas sembilan, tiba-tiba si anak mengatakan
pada ayahnya tidak ingin bermain bola lagi. Seketika sang ayah kaget,
"Kamu
sudah gila? Tahukah kamu betapa mahirnya kamu, betapa ayah sudah menghabiskan
waktu untuk melatih kamu?" Ia bersikeras tidak mau bermain.
Keinginan berhenti
si anak sangat mengganggu emosi sang ayah. Selama berhari-hari ia berusaha
membujuk sang anak namun tidak ada kemajuan. Sejak saat itu seperti ada jurang
yang membatasi hubungan mereka.
Suatu saat sang ayah mengikuti seminar tentang cara menjadi
pendengar yang lebih baik. Sepulang dari seminar, timbul pertanyaan-pertanyaan
didalam benaknya,
"Apakah saya sedang membesarkan seorang pemain bola atau
membesarkan seorang putra? Apakah saya melakukan ini untuk dia atau untuk saya
sendiri?"
Sang ayah memikirkan kembali matang-matang, kalau membesarkan
seorang putra, maka sepak bola tidaklah teramat penting.
Tak lama kemudian sang ayah mendapat kesempatan,
"Jadi kamu
sudah mantap untuk tidak mau bermain lagi tahun ini?"
"Tidak," jawab si anak.
"Saya tidak terlalu menikmatinya
tahun lalu," ujarnya melanjutkan.
"Jadi tahun lalu tidak menyenangkan, ya?" tanya sang ayah.
"Sama sekali tidak."
Sang ayah mengangguk, membenarkan pernyataanya.
"Saya kesal sekali tahun lalu, Ayah. Saya dihajar di
lapangan. Ukuran badan saya kan separuh badan anak-anak lain."
"Oh..kamu dihajar tahun lalu, ya?"
Saat ini si anak mulai
merasa bahwa ayahnya peduli dan mencoba memahaminya, sehingga si anak mulai
membuka diri.
"Iya, maksud saya, badan anak-anak lain jauh lebih besar.
Ayah berbadan besar sewaktu muda, jadi ayah tidak mengerti,"
"Kamu pikir ayah tidak akan mengerti ya?" Dan pembicaraan
berlanjut, sang ayah mendengarkan, belajar banyak hal baru tentang putranya. Si
anak merasa gelisah, takut, rentan. Ia merasa tertekan untuk memenuhi harapan
ayahnya.
Setelah beberapa menit saat sang ayah berusaha memahami
anaknya dengan sungguh-sungguh, si anak bertanya,
"Jadi menurut ayah apa yang
harus saya lakukan?"
Ayahnya menjawab, "Apapun keputusanmu tidak masalah buat
ayah. Yang penting buat dirimu. Bila mau bermain lagi, bagus. Bila tidak, juga bagus.
Ayah akan mendukung apapun keputusanmu."
Beberapa hari kemudian si anak menghampiri ayahnya dan
berkata,
"Ayah, saya ingin tetap bermain tahun ini." Mereka berdua bahagia.
Sahabat-sahabatku yang luar biasa,
Menghabiskan waktu beberapa puluh menit untuk mencoba
benar-benar mendengarkan dan memahami akan menghilangkan sebuah persoalan yang
mungkin bisa berlanjut selama berbulan-bulan atau mengakibatkan perselisihan
yang berkepanjangan. Sungguh, emphaty adalah bentuk komunikasi yang paling
cepat.
Berusahalah lebih dahulu untuk mengerti....baru kemudian dimengerti.
Salam
SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Matur Suwun Pak Han ....
BalasHapusbenar sekali Pak Han, SETUJU!
BalasHapusDalam hidup, orang tak akan peduli berapa banyak yg kita tahu hingga mereka tahu berapa banyak kita peduli pada mereka.
Salam SUKSES, HIDUP LUAR BIASA.
Aziz - Ngasinan